sejumlah perahu yang sandar di Pelabuhan Baubau |
BERITA paling
membahagiakan minggu ini adalah peluncuran terjemahan buku berjudul The Voyage
to Marege yang ditulis Campbell McKnight pada tahun 1976. Buku ini mengisahkan
pelayaran orang Makassar yang berlayar menuju tanah Marege (Australia) di abad
ke-17.
Orang Makassar ini bukan saja amat berani sebab menempuh perjalanan untuk menantang samudera, tapi juga menjalin relasi dengan orang Aborigin, membentuk kebudayaan, mencipta kata dan tradisi, lalu jejak-jejak phinisi itu digurat dalam gua-gua di Australia bagian utara.
Orang Makassar ini bukan saja amat berani sebab menempuh perjalanan untuk menantang samudera, tapi juga menjalin relasi dengan orang Aborigin, membentuk kebudayaan, mencipta kata dan tradisi, lalu jejak-jejak phinisi itu digurat dalam gua-gua di Australia bagian utara.
Saya sungguh
penasaran untuk membaca buku ini. Dalam salah satu blognya, seorang kawan
berkisah buku itu sedemikian detail menyajikan fakta, rute perjalanan, sketsa,
bahasa, budaya hingga lukisan gua. Semoga saja buku ini menjadi awal dari
banyak buku-buku bertema maritim di negeri ini. Bukankah pemerintah kita
memulai kerja dengan menyebutkan bahwa “kita terlalu lama memunggungi lautan?”
Kali ini, saya
tidak sedang membahas buku McKnight. Saya ingin berkisah tentang bagaimana
orang Australia yang datang jauh-jauh untuk menelusuri jejak para pelaut di
tanah Buton, Sulawesi Tenggara, lalu berusaha untuk memahami bagaimana napas
dan tradisi kelautan yang punya relasi kuat dengan masyarakatnya.
Lelaki itu
bernama Michael Southon. Secara fisik, saya belum pernah dengannya. Saya pernah
beberapa kali berkorespondensi melalui email. Saya membaca namanya tertera pada
sampul buku The Navel of the Perahu yang ditulisnya tahun 1995.
Buku ini adalah disertasi Southon di Australia National University, salah satu universitas terbaik di dunia. Demi keperluan disertasi itu, Southon datang ke Pulau Buton, lalu tinggal selama beberapa waktu di Lande, wilayah Buton Selatan.
Buku ini adalah disertasi Southon di Australia National University, salah satu universitas terbaik di dunia. Demi keperluan disertasi itu, Southon datang ke Pulau Buton, lalu tinggal selama beberapa waktu di Lande, wilayah Buton Selatan.
Southon menempuh
jalan berbeda dengan McKnight. Jika McKnight menelusuri jejak orang Makassar di
Australia, maka Southon mengikuti orang Buton yang berlayar ke Australia, lalu
memutuskan untuk menelusuri jejak mereka hingga ke tanah Buton.
Dalam satu percakapan melalui email, Southon bercerita kalau dirinya ingin tahu mengapa para nelayan Buton jauh-jauh pergi ke Australia, apakah gerangan misi yang hendak ditunaikan, dan apakah kepergian itu terkait dengan kondisi sosial ekonomi mereka. Ia menelusuri kampung nelayan, bergaul dengan para nelayan, ikut berlayar, lalu menuliskan narasinya dalam satu buku yang memikat.
Dalam satu percakapan melalui email, Southon bercerita kalau dirinya ingin tahu mengapa para nelayan Buton jauh-jauh pergi ke Australia, apakah gerangan misi yang hendak ditunaikan, dan apakah kepergian itu terkait dengan kondisi sosial ekonomi mereka. Ia menelusuri kampung nelayan, bergaul dengan para nelayan, ikut berlayar, lalu menuliskan narasinya dalam satu buku yang memikat.
Buku The Navel
of the Perahu menjadi monografi yang menarik. Para penjelajah dan
pelaut Buton menggunakan perahu jenis lambo yang bisa dilihat sebagai metafor atas
dialog-dalog masyarakat Buton dan semesta yang dihadapinya. Perahu itu adalah
lambang dari filosofi kehidupan, serta bagaimana pandangan atas masyarakat dan
negara.
Kata Southon, orang Buton selalu menggunakan perahu sebagai metafor untuk menjelaskan banyak hal. Misalnya, untuk menyebut sahabat atau teman dekat, orang Buton akan menggunakan kosa kata “sabangka” yang dalam bahasa Wolio bermakna seperahu.
Untuk menjelaskan sistem kesultanan, mereka juga menggunakan istilah perahu dengan empat cadiknya. Jika hendak ditelusuri dalam syair, terdapat banyak contoh yang bisa didedahkan demi memahami betapa perahu dan lautan adalah jantung bagi kebudayaan Buton.
Kata Southon, orang Buton selalu menggunakan perahu sebagai metafor untuk menjelaskan banyak hal. Misalnya, untuk menyebut sahabat atau teman dekat, orang Buton akan menggunakan kosa kata “sabangka” yang dalam bahasa Wolio bermakna seperahu.
Untuk menjelaskan sistem kesultanan, mereka juga menggunakan istilah perahu dengan empat cadiknya. Jika hendak ditelusuri dalam syair, terdapat banyak contoh yang bisa didedahkan demi memahami betapa perahu dan lautan adalah jantung bagi kebudayaan Buton.
Setiap buku
riset selalu saja menyajikan perjalanan pemikiran dari penulisnya. Saya selalu
menyukai bagian awal dan bagian akhir dari buku bertema riset. Pada bagian
awal, peneliti akan mengurai mengapa tertarik pada topik tertentu, dan pada
bagian akhir seringkali kita menemukan bagaimana peneliti berbelok dan lebih
tertarik pada topik lain, sehingga kegiatan riset menajdi perjalanan yang
berkelok. Itu hal lumrah.
sampul buku yang ditulis Michael Southon |
Pada mulanya,
Southon ingin tahu bagaimana ekonomi maritim di desa. Ia fokus pada strategi
ekonomi yang hendak digapai oleh para pemilik perahu, nakhoda, dan anak buah
kapal sebagaimana mereka menunjukkan parameter ekonomi lokal. Namun dalam
perjalananya, ia tertarik untuk melihat bagaimana hubungan simbolik antara
perahu dan rumah bisa membawa pada pemahaman tentang kelembagaan sosial dan ritual
di tingkat desa.
Buku The Navel
of the Perahu ini terdiri atas dua bahagian. Pertama, Southon menyajikan data
demografi dan ekonomi desa, yang di dalamnya terdapat para pemilik perahu. Ia
menunjukkan pola-pola kompleks antara perahu dan perdagangan sebagaimana peran
para pemilik perahu yang menjadikan perahunya sebagai pemuat kargo dan
transportasi di antara berbagai pelabuhan di kawasan timur nusantara. Kedua, ia
menyajikan refleksi atas pemahaman selama kunjungannya di desa-desa nelayan. Ia
menjelaskan dimensi simbolik yang kuat atas ekonomi perahu.
Saya suka penjelasannya
tentang hubungan antara manusia Buton dan perahunya seperti hubungan antara
suami dan istri. Perahu itu dibuat dari kayu terbaik, dirawat dengan segala
ritual, dkerjakan dengan penuh cinta. Setiap bagian perahu memiliki makna
simbolik yang menarik untuk ditelusuri. Belu lagi ritual dalam menyelesaikan
setiap bagian perahu. Tentang ritual ini, saya menemukan deskripsi yang lebih
lengkap dalam buku Tony Rudyansjah berjudul Kesepatan Tanah Wolio.
Southon
menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang ritual di sekitar pembuatan kapal
menjadi sumber status di dalam desa, memberdayakan mereka yang mendemonstrasikan
pengetahuan itu. Para pembuat perahu, nakhoda, dan penjelajah menempati posisi
khusus dalam pengorganisasian masyarakat. Mereka juga harus memiliki kecakapan
dan kesaktian tertentu untuk bisa membawa perahu berlayar hingga negeri jauh di
Australia sana.
Dalam salah satu
review yang dimuat di Journal of Royal Anthropological Institute pada September
1996, antropolog Gene Ammarell (penulis buku Navigasi Bugis) mengatakan bahwa
temuan-temuan Southon ini terasa familiar bagi para pengkaji Asia Tenggara,
khususnya topik-topik mengenai maritim.
Namun, sebagaimana dicatat Ammarell, karya Southon ini terbilang unik dikarenakan dua hal. Pertama, Southon menjelaskan banyak pemahaman yang unik atas dinamika masyarakat pelaut, sebagaimana beberapa studi tentang Bugis dan mandar. Southon menyajikan dimensi ekonomi atas transaksi di lautan.
Temuannya menampilkan bagaimana kontrak antara pemilik kapal ke nakhoda memiliki dimensi sosial yang kaya, serupa seorang anak yang hendak dinikahkan dan hendak menempuh hidup baru. Kedua, observasinya atas dinamika perahu itu menjadi jantung dari upaya memahami organisasi rumah, desa, dan masyarakat Buton di antara orang-orang maritim Asia Tenggara.
Namun, sebagaimana dicatat Ammarell, karya Southon ini terbilang unik dikarenakan dua hal. Pertama, Southon menjelaskan banyak pemahaman yang unik atas dinamika masyarakat pelaut, sebagaimana beberapa studi tentang Bugis dan mandar. Southon menyajikan dimensi ekonomi atas transaksi di lautan.
Temuannya menampilkan bagaimana kontrak antara pemilik kapal ke nakhoda memiliki dimensi sosial yang kaya, serupa seorang anak yang hendak dinikahkan dan hendak menempuh hidup baru. Kedua, observasinya atas dinamika perahu itu menjadi jantung dari upaya memahami organisasi rumah, desa, dan masyarakat Buton di antara orang-orang maritim Asia Tenggara.
Saat memberi pengantar untuk buku
ini, James J Fox menyatakan buku ini tidak hanya menjadi catatan etnografis
yang lengkap mengenai masyarakat Buton sebagai masyarakat maritim, tapi juga juga
memosisikan masyarakat Buton, juga masyarakat Bugis dan Makassar, sebagai
partisipan penting dalam “enterpreneurial explosion" atas perdagangan melalui
pelayaran skala kecil di kawasan timur Indonesia.
Sebagai orang
Buton, saya beruntung bisa membaca buku menarik ini. Di tangan para peneliti
dan ilmuwan seperti Michael Southon, hal-hal yang nampak bisa menjadi berlian
yang begitu bernilai. Riset tak hanya menyajikan temuan-temuan dan fakta, tapi
juga menjadi pelayaran yang mengasyikkan untuk menelusuri kekayaan tradisi di
masyarakat kita, menjadi jalan buat kita untuk menyelami dan memahami budaya,
lalu menemukan banyak mutiara berkilauan di situ.
Sayang, buku ini hanya terbit dalam bahasa Inggris. Belum ada yang berniat menerjemahkannya. Atau haruskah saya yang menerjemahkannya agar bisa dinikmati masyarakat Buton dan semua yang tertarik tentang maritim?
Sayang, buku ini hanya terbit dalam bahasa Inggris. Belum ada yang berniat menerjemahkannya. Atau haruskah saya yang menerjemahkannya agar bisa dinikmati masyarakat Buton dan semua yang tertarik tentang maritim?
Kendari, 21 Februari
2017
1 komentar:
halo, terima kasih sudah berbagi wawasan yang menarik dan bermanfaat
kunjungi juga website UIN Walisongo Semarang di walisongo.ac.id
Posting Komentar