Kekuatan Syair
Setiap ada ajakan ke tempat paling terpencil di Indonesia, saya menyambutnya dengan senang hati. Belum lama setelah diajak ke Merauke, Papua, saya berkunjung ke tempat jauh lainnya yakni Pulau Simeulue yang letaknya 150 kilometer dari Aceh.
Simeulue tempat yang sangat indah. Rumput di sini serupa rumput di lapangan golf. Di mata saya, , Simeulue lebih indah dari Phi Phi Island, tak jauh dari Phuket, Thailand, yang saya kunjungi beberapa waktu lalu. Saya lihat di peta, Simeulue letaknya tidak terlalu jauh dari Phuket. Andai dikemas dengan baik, pasti bisa jadi destinasi wisata.
Selain mengunjungi pulau kecil di sekitar Simeulue, saya bertemu peneliti asal Jepang bernama Yoko Takafuji. Dia sedang meneliti kesiapan warga menghadapi tsunami. Yoko menjelaskan beberapa fakta yang bikin saya tersentak.
Tahun 2004 lalu, Aceh dan sekitarnya dihantam tsunami. Di dataran Aceh, jumlah korbannya ratusan ribu orang. Namun, hanya ada tujuh warga yang ditemukan tewas di Pulau Simeulue. Itu pun ketujuh orang itu adalah pendatang.
Penelitian Yoko Takafuji sampai pada kesimpulan bahwa ribuan warga di pulau itu bisa selamat karena mereka percaya pada ujaran-ujaran atau dongeng yang disampaikan nenek moyang mereka. Kepada Yoko, warga bercerita tentang syair-syair yang didendangkan saat mereka masih kecil.
Syair itu berisikan pesan agar semua warga harus mengungsi ke tempat lebih tinggi saat melihat tanda-tanda alam. Syair itu dihafal oleh semua warga Simeulue, tua dan muda. Mereka tahu apa yang harus dilakukan saat melihat tanda-tanda alam.
Saat tsunami menerjang di tahun 2004 lalu, anak-anak muda berteriak-teriak "Smong" atau tsunami. Mereka meminta semua penduduk berlarian ke bukit-bukit. Mereka membaca tanda-tanda alam, seperti air surut, iring-iringan kerbau yang ke pegunungan, serta suara yang gemeretak di kejauhan.
Orang-orang menuju pegunungan karena dipandu oleh syair dan pesan turun-temurun dari nenek moyang. Syair itu disampaikan kepada anak-anak dalam bahasa lokal sebagai pengantar tidur.
Berikut, terjemahan syair itu:
"Dengarlah sebuah cerita. Pada zaman dahulu. Tenggelam satu desa. Begitulah mereka ceritakan. Diawali oleh gempa. Disusul ombak yang besar sekali. Tenggelam seluruh negeri. Tiba-tiba saja. Jika gempanya kuat. Disusul air yang surut. Segeralah cari. Tempat kalian yang lebih tinggi. Itulah smong namanya. Sejarah nenek moyang kita. Ingatlah ini betul-betul. Pesan dan nasihatnya."
Orang tua menyampaikan syair dengan berbagai cara. Mereka menyampaikannya saat di meja makan, setelah makan, atau di ruang keluarga. Orang dewasa bercerita saat kejadian smong datang satu abad silam, banyak keluarga tewas, ada pula yang jatuh dari gendongan orang tua, lalu tersangkut di atas pohon bambu dan selamat. Cerita itu terus berulang hingga akhirnya mengendap di benak banyak orang.
Seorang sahabat tahu asal-usul syair itu. Katanya, syair itu bermula sejak letusan Gunung Tambora di awal tahun 1900-an. “Pada saat itu ada tsunami besar yang merendam pulau ini. Makanya, syair itu muncul agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang,” kata sahabat itu.
Dalam syair itu tersembunyi satu hikmah dan pembelajaran. Apa yang kita sebut sebagai kearifan lokal sejatinya adalah himpunan-himpunan pengetahuan yang lahir sebagai upaya manusia memahami alam semesta dengan segala isinya.
Saat manusia memahami semesta, saat itu juga manusia mencipta sains dan segala pengetahuan sebagai mutiara berharga yang lalu ditebar ke masyarakat, diwariskan turun-temurun, serta menjadi api yang menerangi berbagai zaman.
Peristiwa Tambora itu menjadi pelajaran berharga bagi nenek moyang Simeulue. Mereka tak ingin kejadian serupa terjadi di masa mendatang. Syair-syair lahir sebagai jembatan untuk memberikan early warning system bagi generasi mendatang agar selalu waspada pada berbagai kemungkinan.
Syair itu mencakup pengetahuan yang sejatinya lahir dari social learning process, proses belajar masyarakat yang lalu menjadi tradisi dan kebudayaan. Di saat krisis, kebudayaan lalu menyediakan berbagai protokol demi menyelamatkan masyarakat.
Saya merasakan satu pandangan dunia yang menganggap bahwa segala bencana tak harus dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari. Bencana adalah sahabat yang harus diakrabi dan dikenali. Bencana adalah sesuatu yang harus dihadapi dengan damai, sembari manusia perlahan menyusun tindakan-tindakan preventif agar terhindari dampaknya.
Saya menangkap kesan kuat. Manusia harus berselancar dan melintasi berbagai tanda-tanda alam itu, berdamai dengan semuanya, lalu mencari cara-cara kreatif untuk menyelamatkan kehidupan. Pesannya adalah jangan sesekali menghindari segala yang ada di alam dengan penuh kebencian, tetapi dekati, pahami, lalu mengalir bersamanya.
Hanya dengan mengalir bersama semesta, seseorang bisa memahami tabiat alam, lalu menyerap saripati pengetahuan. Manusia Simeulue berselancar di tengah bencana demi menyelamatkan diri.
Saat alam menunjukkan tanda adanya tsunami, masyarakat telah siaga dengan berbagai kemungkinan. Mereka lalu bergerak ke perbukitan untuk menyelamatkan diri. Mereka membaca tanda alam, memahami makna di balik setiap realitas, lalu menentukan langkah-langkah terbaik. Kearifan inilah yang membuat dunia begitu mengagumi Simeulue.
Yoko Takafuji membandingkan syair di Simeulue itu dengan syair Inamuranghi di daerah Wakayama, Jepang. Ada juga syair tsunami tendenko dari daerah Iwate. Di dua daerah ini, bila terjadi tsunami, korbannya lebih sedikit. "Isi cerita agak beda, tapi intinya sama. Tsunami tendenko misalnya. Warga diminta untuk langsung lari dan tidak perlu memikirkan keluarga, “ katanya.
Kini, saya mengenang kata-kata Yoko. Indonesia sedang dihantam pandemi global. Banyak orang lebih suka menyalahkan orang lain, ketimbang berkampanye agar protokol kesehatan dipatuhi. Dalam situasi gelap, kita lebih mudah menggerutu dan memaki, ketimbang menyalakan lilin cahaya. Bencana ini bisa lebih lama, saat kita hanya duduk diam dan menunggu lalu sibuk menyalahkan.
Harusnya kita lebih banyak menyalakan cahaya.
.
0 komentar:
Posting Komentar