Nama Kampus Paling Keren
Jika ada yang bertanya apa nama kampus di Indonesia dan dunia yang paling keren? Saya tidak ragu-ragu menyebut Universitas Musamus di Merauke, Papua. Mengapa?
Di daerah lain, nama-nama kampus selalu diambil dari nama mereka yang berlaga di medan perang. Sering pula nama raja dan penguasa satu wilayah. Kadang, nama wilayah atau kota. Tapi di Merauke, nama kampus diambil dari nama rumah semut. Hah?
Jika jalan-jalan ke Merauke, khususnya ke Taman Nasional Wasur yang berbatasan dengan Papua Nugini, kita akan melihat rumah semut yang berukuran besar dan sering kali lebih tinggi dari manusia. Rumah semut itu cukup kokoh. Saya bisa memanjatnya dan berdiri di bangunan itu. Orang Mareuke menyebutnya musamus.
Orang Merauke sengaja memilih nama musamus sebagai nama universitas demi menggambarkan betapa digdayanya hewan mungil yang sanggup membuat bangunan yang jutaan kali lebih besar dari badannya.
Saya merasakan ada penghormatan kuat pada alam, sikap rendah hati dan mau belajar pada makhluk selain manusia, juga apresiasi pada siapa pun yang membuat karya hebat.
Rumah semut ini menjadi tempat tinggal bagi ribuan semut. Di dalamnya terdapat banyak lorong-lorong serta lubang-lubang yang berfungsi sebagai pintu masuk.
Bahan dasarnya adalah tanah, serta beberapa ranting yang dipungutnya di sekitar situ, lalu menyusunnya hingga menjadi bangunan ini. Konon, semut ini merekatkan semua material dengan ludahnya, demi membentuk satu rumah benteng yang sangat kokoh.
Saking kokohnya, istana semut ini tahan menghadapi berbagai cuaca. Tak hanya itu, saat hutan terbakar, rumah semut ini tetap saja kokoh dan semut-semut di dalamnya tetap aman.
Melalui beberapa situs, saya menemukan kepingan informasi kalau hewan yang membuat bangunan ini bukanlah semut, melainkan rayap. Tapi warga Merauke lebih suka menyebutnya semut.
Rayap yang membuat bangunan itu adalah jenis rayap Macrotermes sp. Berbeda dari rayap biasa yang merupakan serangga pengganggu yang suka merusak berbagai jenis benda berbahan kayu bahkan rumah kita, di Merauke rayap hidup mandiri di hutan dan membangun rumahnya sendiri yang disebut musamus.
Konon, musamus hanya bisa ditemukan di Afrika dan Indonesia. Terkhusus Indonesia, musamus hanya ada di Merauke. Nah, betapa hebatnya khasanah pengetahuan hewan yang lalu menginspirasi manusia untuk menghasilkan kerja-kerja hebat.
Di Merauke, saya menemukan filosofi yang menarik atas musamus. Kata seorang warga, pesan yang hendak disampaikan rayap itu sangat indah, yakni “Jangan lihat siapa saya, tapi lihatlah apa yang saya kerjakan.”
Pesan itu sangat kuat. Rayap memiliki tubuh kecil, namun bisa menghasilkan sesuatu yang raksasa. Pesan ini menginspirasi manusia untuk tidak memandang yang lain dari fisik yang kecil, melainkan lihatlah karya-karya besar yang bisa dilahirkan.
Seorang warga juga bercerita tentang cara kerja rayap membangun istananya. Ternyata, rayap itu membangun istana di waktu malam, lalu menghilang saat siang.
Pesan yang saya tangkap adalah saat melakukan satu kerja-kerja hebat, Anda tak perlu menggembar-gemborkan diri, tak perlu meninggikan diri, dan berharap dilihat serta dipuji orang lain. Lakukanlah yang terbaik, dan biarkan orang lain terkagum-kagum melihat karya Anda.
Sepulang dari sana, saya membaca dua buku yang ditulis Don Tapscott, penulis yang paling disukai Al Gore. Dua buku itu adalah Wikinomics dan Grown Up Digital. Tapscott bilang, organisasi paling hebat di era digital saat ini memiliki skema kerja seperti semut membangun sarang. Semua semut tahu tujuan, saling terkoordinasi, dan menghasilkan hal hebat.
Dia mencontohkan Wikipedia dan Google sebagai satu bangunan, yang pekerjanya datang dari mana saja, content-nya diperkaya oleh ribuan orang dari banyak penjuru dan tidak saling mengenal, tapi semuanya punya tujuan yang sama untuk memperkaya informasi.
Facebook juga bergerak dengan cara yang sama. Mark Zuckerberg hanya menyediakan platform, selanjutnya semua netizen akan menjadi semut yang mengisi Facebook dengan berbagai macam konten, menyebarkannya ke mana-mana, menjadikan Facebook sebagai perusahaan raksasa.
Tapscott menyebut tentang pentingnya membangun satu platform kerja yang asas utamanya adalah kolaborasi, kerja-kerja berjejaring (networking), serta perlunya membangun satu relasi, serta inovasi di berbagai ranah.
Saya membayangkan, bagaimana perasaan Tapscott jika melihat musamus di Merauke. Bisa jadi, dia akan kegirangan melihat bangunan hebat yang dihasilkan dengan skema kerja paling hebat. Itu dihasilkan oleh para semut.
Ketika menulis catatan ini, saya bertanya dalam hati, mengapa kampus-kampus harus mengambil nama para bangsawan dan pejuang di medan laga, tanpa menyerap kearifan alam semesta yang selalu membuat kita takjub?
Di Merauke, ada banyak pelajaran.
0 komentar:
Posting Komentar