Sisi Gelap Internet




Ketika dia mengarantina diri di rumah, sahabat yang berprofesi sebagai akademisi itu sudah merencanakan untuk menulis buku. Dia sudah punya rencana untuk menulis beberapa bab penting. Saat kebijakan work from home diberlakukan kampusnya, dia punya waktu sangat luang untuk menulis.

Setelah 40 hari berlalu, apakah dia sudah menuntaskan bukunya? “biar satu lembar, nda ada yang kelar. Nda tau apa kubikin. Padahal tiap hari online,” katanya dalam dialek Makassar. Dia hanya berselancar dalam timbunan informasi di internet. Dia larut dengan semua perdebatan di media sosial. Dia lupa dengan pekerjaan utamanya.

Sahabat itu kehilangan fokus gara2 berselancar di internet. Setiap kali dia berencana menulis, dia akan browsing dulu. Dia cek media sosial, setelah itu berbalas pesan, berbalas komen, memantau diskusi. Saat itulah, semua hasrat menulisnya tidak bisa tersalurkan. Bahkan dia lupa dengan segala hal yang harus dia lakukan. Hari-harinya adalah tenggelam dalam berbagai rimba informasi.

Setelah beberapa jam, baru dia sadar dia belum melakukan apa-apa. Bahkan setelah berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, dia tidak bisa menyelesaikan tugas pokoknya. Dia kehilangan pikirannya yang dulu sangat fokus ketika mengerjakan apa pun. Dia merasa semakin tumpul. Bahkan selembar pun tidak bisa diselesaikannya.

Sahabat itu tak sendirian. Dulu, orang mengira, internet identik dengan kecerdasan. Seolah-olah dengan sering berselancar di internet, maka seseorang lebih cerdas. Saya mengamati di banyak daerah, pemda memperbanyak hotspot. Orang2 mengira internet lebih penting dari perpustakaan. Orang2 lupa kalau internet bisa mendangkalkan cara berpikir seseorang. Benarkah?

Saya membaca uraian Nicholas Carr dalam buku The Shallows. Buku ini masuk nominasi Pulitzer. Buku ini sudah diterjemahkan oleh Mizan.

Nicholas Carr bercerita, dulu dia seorang yang gila baca. Tapi sejak mengenal internet, semua kebiasaan itu berubah. “Dulu, saya adalah penyelam di lautan kata–kata. Kini, saya bergerak cepat di permukaan. Saya seperti orang yang mengendarai jet ski.”

Internet menyebabkan fokusnya hilang, dan sibuk menjadi peselancar, tanpa kemampuan menyelam lagi. Internet membuatnya semakin bodoh. Struktur otak dan cara berpikirnya bisa berubah gara-gara kecanduan pada internet. Dia rindu dengan otaknya sebelum mengenal internet.

Nicholas Carr mengutip banyak riset neurosains, bahwa syaraf otak bersifat lentur dan dapat berubah atau menyesuaikan diri, bergantung pada apa yang dialami atau dipelajari. Penggunaan internet dan ketergantungan kepadanya akan mengubah kemampuan syaraf otak, dan dapat mengarah pada berkurangnya kemampuan berpikir mendalam dan melakukan perenungan.

Selama ratusan tahun, manusia menggunakan buku untuk memperoleh pengetahuan. Buku bersifat linier, terfokus dan mendalam, sehingga pembaca memiliki kesempatan untuk merenung dan mengendapkan pengetahuan yang didapatnya. Hal ini selanjutnya mempengaruhi pengetahuan yang diperoleh, pemikiran dan tulisan yang dihasilkan, yang tercermin dalam budaya.

Sebaliknya, pengetahuan atau informasi yang didapat dari internet berupa potongan-potongan, dan link-link yang ada dalam suatu artikel atau buku memecah fokus pembaca sehingga tulisan tersebut tidak dapat diserap dengan baik bahkan sulit diselesaikan.

Selain link, terdapat SMS, email, RSS dan lain sebagainya yang setiap saat muncul untuk memecah perhatian seseorang saat membaca. Semua ini menyebabkan mereka akhirnya hanya bersedia membaca sedikit-sedikit karena terus berpindah-pindah situs, sehingga informasi yang diperoleh bersifat permukaan. Internet mengubah manusia menjadi pembaca informasi singkat, yang jauh dari kata mendalam.

Saat menyelesaikan buku The Shallow, Nicholas Carr sengaja tinggal di kampong yang akses internetnya terbatas. Di situlah ia bisa menemukan konsentrasi demi penyelesaian bukunya. Jika ia tetap di kota, pikirannya bisa kehilangan fokus. Sekali ia membuka internet, melihat email, lalu mengintip media sosial, maka ia bisa kehilangan mood. Niatnya untuk bekerja langsung hilang seketika saat membaca berbagai link dan berita.

Bagi sebagian orang, internet adalah jendela besar untuk menyerap pengetahuan dari mana saja. Tapi faktanya, kata Nicholas Carr, internet telah telah mengubah cara berpikir kita menjadi dangkal sehingga kehilangan kemampuan menyerap keping demi keping informasi, tanpa kemampuan untuk melihatnya secara utuh, tanpa merenungi secara mendalam.

“Bagaimana caranya biar bisa fokus?” sahabat itu bertanya melalui aplikasi. Saya teringat buku Nicholas Carr. Saya pun teringat saran dari Laksmi Sharma, sahabatku asal India yang kini kerja di Amerika Serikat. “Hanya ada satu cara untuk fokus. Berhenti main facebook. Berhenti aktifkan internet. Trus tenggelam dalam lautan buku-buku.”

“Hah? Ko gila kah? Nda bisaka kalau nda main internet,” kata sahabat itu.



0 komentar:

Posting Komentar