Sepenggal Cerita "Stay at Home Economy"




Di kompleks tempat tinggal saya di Bogor, ibu-ibu membentuk grup WA sendiri. Setiap hari, grup ini penuh dengan percakapan. Paling dominan adalah mereka menawarkan masakan rumah untuk dibeli tetangganya.

Sejak warga kompleks mengarantina diri dan anak-anak diliburkan, para ibu menjadi kreatif. Masakan, yang tadinya hanya untuk keluarga, menjadi jualan. Mereka memotret makanan itu, mempromosikan secara kreatif di grup WA, kemudian mengantarkannya ke tetangga yang memesan.

Tak semua berjualan. Ada juga yang menawarkan jasa. Misalnya, seorang ibu memberitahukan dirinya akan belanja di pasar malam. Di Bogor, beberapa komoditas seperti sayuran dan ikan banyak dijajakan di malam hari. Jika ada yang mau membeli sesuatu, bisa jastip.

Di satu siang, saya sempat kaget saat sedang duduk di teras, mobil mercy hitam singgah. Pemiliknya membuka bagasi dan mengeluarkan kantong berisi ikan. Rupanya istri saya memesan ikan melalui ibu itu. Semua transaksi melalui transfer. Semua saling percaya.

Saya tertarik melihat betapa kreatifnya mereka memasarkan jualannya. Saya ingat survei yang menyebutkan masyarakat menengah kota kini lebih suka makanan rumah ketimbang makanan resto. Mereka merasa lebih sehat mengonsumsi masakan rumah, apalagi jika mengenal gaya hidup dan standar kesehatan yang membuat makanan itu.

Pandemi ini memaksa kita untuk beradaptasi dengan perubahan. Kini, kita memasuki era “the new normal” yakni work from home, social distancing, self-care at home, dan digital life. Kita menyesuaikan semua aktivitas kita sehingga lebih banyak di rumah.

Tadinya rumah hanya sekadar tempat istirahat, kini rumah menjadi jantung aktivitas. Kita pun melihat kehidupan dengan cara pandang baru, yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ternyata, banyak hal yang bisa dihemat dengan gaya hidup baru.

Saya ingat kursus piano yang diikuti anak saya. Di situasi normal, kursus diadakan di satu ruko yang cukup strategis di Bogor. Kini, anak saya belajar di rumah dan tetap dibimbing mentornya melalui aplikasi zoom.

Betapa banyaknya biaya yang bisa dipangkas. Penyedia kursus tak perlu menyewa ruko, yang taksiran saya bisa 100 juta per tahun. Tak perlu biaya transportasi. Tak perlu menyiapkan fasilitas.

Setiap hari berseliweran informasi mengenai jasa pelatihan yang berbiaya murah. Bahkan seorang jurnalis kondang menawarkan jasa pelatihan dengan biaya yang sangat terjangkau.

Di Twitter, saya membaca kultwit tentang “stay at home economy” yang dibawakan Yuswohady. Dia menjelaskan empat flow (arus) dalam ekonomi yakni arus orang, arus barang, arus uang, dan arus data. Di era ini, arus orang atau mobilitas yang terhenti. Tapi tiga arus lainnya tetap berjalan.

Makanya, ada bisnis yang jatuh dan ada yang bangkit. Bisnis yang jatuh di antaranya adalah hotel, restoran, penerbangan, MICE, properti, dan pariwisata. Bisnis yang bangkit adalah e-commerce telemedicine, online learning, remote working, logistic, food delivery, serta media dan telekomunikasi.

Dalam situasi ini, "stay at home economy" akan menjadi survival innovation baru. Pandemi ini akan menjadi krisis yang menghantam banyak perusahaan. Namun bagi para pemain rumahan, krisis ini justru berkah sebab ibarat Nabi Nuh, mereka telah lama menyiapkan bahtera untuk lepas dari bencana.

Saya senang dengan penjelasan ini. Saya pikir mengikuti kelas-kelas online lebih menghadirkan pengetahuan baru ketimbang gabung di banyak grup medsos dan terus-menerus bahas topik semacam LBP, AB, hingga Menteri T. Banyak hal positif yang bisa dilakukan ketimbang ikut nyinyir sebagaimana para profesor di Universitas WhatsApp.

Di era “stay at home economy”, Anda tak bisa berdiam diri hanya menjadi penonton. Bahkan Anda tak bisa hanya menunggu bantuan pemerintah. Tak bisa juga hanya mengutuki keadaan yang sedang tidak nyaman. Anda harus kreatif, selalu mencari jalan keluar, dan mencoba berbagai cara-cara yang tidak biasa untuk bisa bertahan.

Yang terpukul dari krisis nanti adalah mereka yang terlanjur nyaman kerja kantoran, yang hanya bermodalkan koneksi dengan bos, tanpa membuka ruang-ruang kreativitas seluas-luasnya.

Para ibu di kompleks perumahan saya telah menunjukkan bagaimana melakukan inovasi. Makanan rumah perlahan menjadi bantalan yang menyangga saat krisis, perlahan kebutuhan rumah tangga terpenuhi, sekaligus menjadi bisnis yang menjanjikan.

Mereka para ibu yang luar biasa.



0 komentar:

Posting Komentar