Percakapan dengan LADA: Dari Swantoro Hingga Acemoglu




Di dapur-dapur rumah, kita lebih sering melihat lada atau merica sebagai bumbu yang menambah cita rasa masakan. Padahal, pada setiap bumbu itu terdapat hamparan kisah yang memikat. Mulai dari kedatangan kapal-kapal berbendera asing, hingga konflik antar kerajaan.

Saya baru saja selesai membaca buku tipis berjudul Perdagangan Lada Abad XVII yang ditulis P Swantoro, sejarawan dan jurnalis senior Kompas. Buku ini menarik sebab mengurai banyak cerita tentang lada yang di satu masa pernah menjadi komoditas senilai emas.

Dahulu, orang Eropa menggunakan lada untuk membumbui daging. Sebelumnya, orang hanya makan daging yang diasapi dan diberi garam. Pada masa orang Eropa belum berlayar ke Timur, hanya orang kaya yang yang bisa menggunakan rempah-rempah.

Saat pelayaran ke Timur terbuka, dan kapal-kapal yang didanai korporasi seperti VOC mulai hilir-mudik ke Timur, barulah lada menjadi komoditas mahal yang terkenal di seantero Eropa. Sebelumnya, para pedagang Cina sudah mencatat bahwa Nusantara adalah tempat penghasil lada terbaik yang mahal di pasaran dunia.

BACA: Lima Salah Kaprah tentang Indonesia Timur

Plinius, seorang penyair Romawi pada abad pertama Masehi, tercatat pernah menulis tentang lada. Katanya: “Butir-butir buah lada tidak menggiurkan. Satu-satunya yang diharapkan darinya adalah rasanya yang menusuk. Namun untuk merasakan itu, orang bersusah payah mendatangkannya. Jauh-jauh dari India.”

Pada masa itu, Plinius hanya tahu India. Namun pada abad ke-17, kebutuhan lada terbesar dunia dipasok oleh wilayah-wilayah di Nusantara. Lada menjadi komoditas penting ekspor dari banyak kerajaan di Nusantara.

Sebegitu mahalnya lada, sampai-sampai Paul Hermann dalam buku The Great Age of Discovery menjelaskan, lada pernah menjadi perjanjian bangsa Romawi. Paul Hermann mengatakan:

“Lada adalah alat tukar yang ideal. Ia berharga bagaikan emas. Biaya melintas, sewa pajak, bahkan denda pengadilan, dapat dibayar dengan lada. Lada bisa membeli tanah dan pulau, melunasi barang gadaian, serta membeli kewarganegaraan dan persenjataan yang lengkap. Wanita tercantik, kuda tergagah perhiasan terindah, karpet berharga, buku hewan langka. Semua bisa dimiliki dengan lada.”

Kita yang hidup di zaman ini mungkin tersenyum-senyum saat membaca tulisan ini. Bisa jadi kita akan terkejut saat membaca fakta sejarah mengenai Pulau Run, satu pulau kecil di Kepulauan Banda Maluku yang kaya rempah-rempah, pernah ditukar dengan wilayah yang kini menjadi Manhattan di New York.

Pada masa itu, Belanda menguasai Manhattan, sedangkan Inggris menguasai Pulau Run. Kedua negara ini sepakat menukar kedua pulau itu dalam satu perjanjian dagang yang direbut Traktat Breda. Manhattan yang luas ditukar dengan Pulau Run yang kecil tapi kaya rempah-rempah.

Sebagaimana rempah-rempah lainnya, lada juga punya harga yang sama mahalnya. Bau harum lada telah memicu kedatangan VOC sebagai satu perusahaan paling besar di zamannya. Melihat nilai lada yang begitu fantastis, VOC berniat untuk seorang diri mengeruk semua keuntungan. 

Demi mendapatkan monopoli lada, kepentingan VOC berbenturan dengan kerajaan-kerajaan yang sudah lebih dahulu memonopoli bisnis lada. Di antara kerajaan ini pun sering konflik demi menguasai perdagangan lada. 

VOC berkonflik dengan Kesultanan Aceh saat memperebutkan lada di Sumatera Barat. Keduanya berebut pengaruh pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Barat, di antaranya Pariaman.

Saya tertarik dengan tuturan penulis buku ini mengenai posisi kerajaan besar di Nusantara yang lebih banyak merangkap sebagai pedagang besar. Kuasa pemerintahan digunakan juga untuk mengembangkan dagang, yang membawa keuntungan besar, lalu membuat raja kaya-raya.

Konflik antara kerajaan dengan VOC selalu terkait dengan dagang, komoditas yang mahal di pasaran dunia, serta jalur perdagangan. Sebagai perusahaan, VOC mendapatkan otoritas untuk melakukan perjanjian dengan kerajaan, membangun aliansi, serta terlibat peperangan, demi memperluas monopoli serta mendapatkan keuntungan lebih.

Buku yang ditulis P Swantoro ini bisa menjadi peta awal untuk memahami peta dagang serta konflik beberapa kerajaan dengan VOC. Sayangnya, buku ini terlampau tipis. Padahal saya sangat tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kelanjutan dampak perdagangan lada dan rempah-rempah lainnya di Nusantara.
Dahulu, ketika belajar tentang rempah-rempah sebagai komoditas yang senilai emas, saya punya pertanyaan, mengapa komoditas itu tidak membuat kita kaya-raya lalu kapal-kapal kita hilir mudik dan menjajah Eropa? Mengapa kita yang ditakdirkan untuk dijajah bangsa Eropa, padahal komoditas itu harusnya membuat kita kaya raya?

Saya menemukan jawabannya dalam buku Why Nations Fail yang ditulis Daron Acemoglu dan James A Robinson pada tahun 2013. Dalam satu bab di buku ini, Acemoglu membahas apa yang terjadi di Maluku. 

Dia membahas Maluku demi menyajikan satu sketsa buram tentang bagaimana satu wilayah yang dikenal kaya-raya, namun berubah menjadi miskin akibat datangnya bangsa Eropa.

Sebelum bangsa asing datang, Maluku pernah berjaya ketika komoditas di Maluku menjadi  komoditas yang paling laku di pasaran internasional. Sayang, kerajaan-kerajaan di Maluku gagal membangun satu sistem politik yang inklusif. 

Acemoglu memaparkan institusi politik-ekonomi yang menjadi penentu makmur tidaknya satu negara. Negara yang institusi politik-ekonominya bersifat inklusif, cenderung berpotensi untuk menjadi negara kaya. 

Sementara negara yang institusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan menjadi negara gagal. 

Ekstraktif mengandalkan pada upaya memeras, mengeruk, menyadap, dan menghisap kekayaan satu lapisan demi memperkaya lapisan lainnya. Inklusif adalah menciptakan pasar yang berkeadilan, memberi kebebasan bagi rakyat untuk memilih pekerjaan, serta arena persaingan yang adil bagi siapa saja. 

Sayang sekali, lada dan rempah-rempah yang kaya itu gagal dikelola menjadi kekuatan yang membuat kerajaan kita makmur. Pada masa itu, banyak kerajaan yang malah tidak berdaya ketika VOC datang melemparkan receh pada raja-raja, setelah itu memgambil semua komoditas, lalu menjualnya dengan harga tinggi di pasar dunia.

Kini, kita mengenang lada dan rempah-rempah sebagai sesuatu yang pernah berjaya di pasar dunia, namun memberi luka yang perih dalam sejarah kita. Luka itu berupa konflik, situasi terjajah, serta kekalahan bertubi-tubi dalam politik memecah belah yang dimainkan penjajah.

Dalam banyak hal, lada memberikan kita alarm pada situasi kita hari ini yang bisa terjebak dalam lubang sejarah yang sama.



0 komentar:

Posting Komentar