Don Kisit saat melihat kincir angin dan mengira itu raksasa |
Petani tua itu bernama Alonso Quinzano. Tapi dia kemudian mengaku sebagai Don Quixote. Kita sebut saja Don Kisot biar mudah dilafalkan. Dia hidup dalam obsesi sebagai seorang ksatria. Dia berperilaku dan bertingkah seperti seorang ksatria.
Dia banyak membaca buku-buku mengenai ksatria. Pikirannya dipenuhi imajinasi para pendekar berpedang. Dia takut serangan naga dan musuh yang setiap saat menyerbu. Di puncak ketakutannya, dia memutuskan untuk meninggalkan rumah.
Diambilnya keledai di kandang, kemudian dinamakannya Rozinante, kuda para ksatria. Dia mengajak temannya Sancho ikut dengannya. Dia berkelana untuk menyelamatkan putri yang disebutnya Ratu Dulcenia del Toboso. Dia membayangkan akan berkelahi dengan para raksasa dan penjahat yang menculik putri.
Mulanya imajinasi, selanjutnya menjadi halusinasi. Rumah penginapan dilihatnya sebagai kastil. Kincir angin dikiranya raksasa. Panci yang dibawa pengelana dilihatnya sebagai helm dan baju zirah. Bahkan kawanan domba dianggapnya sebagai tentara yang sedang menuju medan perang.
Orang-orang melihatnya gila. Banyak yang ingin mengingatkan kalau apa yang dianggapnya realitas itu hanyalah imajinasi. Tapi dia terlampau keras kepala untuk diingatkan. Di akhir kisah, dia tersadar.
Dia kembali ke kampung halamannya dalam keadaan sakit. Saat sekarat, dia mengakui kalau apa yang selama ini dilihatnya hanyalah fiksi. Dia terjebak dengan kenyataan yang sejatinya hanya imajinasi.
Don Kisot adalah fiksi yang ditulis pengarang asal Spanyol bernama Miguel de Cervantes (1547-1616). Kisah ini dianggap sebagai awal mula dari novel modern pertama Eropa. Cervantes menulis novel ini dengan harapan bisa mendatangkan uang agar dirinya keluar dari kemelaratan. Ternyata, novel ini membuatnya jadi pengarang besar yang dicatat sejarah.
Sejak pertama membacanya, nama Don Kisot tak bisa hilang dari pikiran saya. Saya rasa kisah Don Kisot akan selalu relevan di setiap zaman. Banyak orang menganggap imajinasinya sebagai fakta sehingga menilai sesuatu berdasarkan pengetahuannya yang minim.
Banyak orang yang tiba-tiba saja ketakutan akan datangnya ancaman dan serbuan pihak lain. Sehingga ketika ada seseorang yang mengaku pahlawan datang, langsung disambut dengan gegap gempita sebagai sosok yang akan menyelamatkan dunia porak-poranda di sekitarnya.
Banyak orang yang beranggapan bahwa negaranya sedang kacau. Seperti Don Kisot, mereka menganggap dunia sedang membutuhkan campur tangan para ksatria. Banyak yang abai membaca fakta demi fakta kalau kenyataan yang disaksikannya tak selalu sesuai dengan apa yang dibayangkannya.
Dalam novel karangan Cervantes, Don Kisot adalah sosok yang imajinasinya dipengaruhi oleh berbagai novel dan fiksi ksatria.
Di abad ini, Don Kisot adalah sosok yang bisa dibuat dan diduplikasi sebanyak-banyaknya. Teknologi komunikasi menyediakan begitu banyak software untuk mengubah orang yang hidupnya tenang menjadi penuh ketakutan.
Don Kisot adalah hasil dari proses brainwash menggunakan berbagai piranti teknologi yang membuat orang-orang sulit membedakan mana fiksi dan mana fakta. Don Kisot lalu memutuskan berkelana, menjalankan satu agenda politik, lalu melabeli orang lain sebagai penyihir yang harus disingkirkan.
Di ujung fiksi itu, yang sering tersisa adalah penyesalan. Ketika hasil perjuangan itu tak sesuai dengan imajinasi, orang-orang dengan segera pindah ke fiksi yang lain. Dunia menjadi gerak dari satu isu ke isu yang lain. Dari satu fiksi ke fiksi yang lain. Persis seperti Don Kisot yang dibuai imajinasi.
Saya teringat satu kawan mantan aktivis mahasiswa. Semasa kuliah, setiap hari dia membayangkan sedang melawan rezim yang jahat.
Hidupnya adalah petualangan dari satu demonstrasi ke demonstrasi lainnya, dari satu perlawanan ke perlawanan lainnya. Hingga satu hari, dia baru sadar kalau teman-temannya telah lulus kuliah dan sibuk mengejar karier.
Di satu kantin mahasiswa, saya bertemu dengan sahabat itu. Dia masih dirinya yang dulu. Tapi matanya tidak segarang dulu. Malah matanya kian redup saat menyadari semua kawan-kawannya telah menjadi orang besar.
Dia perlahan kompromi dan mau saja diberi pekerjaan remeh-temeh agar dia bisa menyambung hidup, agar dia tidak mengemis ke kiri kanan. Dia tidak sempat mengasah skill sebab terlena dengan perjuangan membunuh naga. Dia terlalu sibuk melawan rezim jahat selama di kampus.
“Yos, kadang-kadang saya merasa seperti Don Kisot,” katanya dengan suara lirih. Saya terdiam sembari menghembuskan asap rokok. Di luar sana, saya lihat cat gedung kampus perlahan mulai terkelupas.(*)
0 komentar:
Posting Komentar