Menanti Kartu Truf Terakhir Prabowo




Publik menanti dengan berdebar. Dua minggu ke depan, rakyat akan menentukan siapa yang akan memegang kemudi kebangsaan hingga lima tahun ke depan. Setiap peristiwa dicermati dengan serius. Semuanya tampak berhati-hati.

Menarik untuk dilihat kartu truf apa yang akan dikeluarkan pasangan Prabowo Subianto untuk mengalahkan Joko Widodo. Bisakah?

Para pendukung Jokowi kerap kali menjawab santai: “Dalam posisi Jokowi sebagai bukan siapa-siapa di politik nasional, dia bisa menang pilpres. Apalagi jika dia dalam posisi pemegang semua kekuasaan?”

Sementara pendukung Prabowo juga tak kalah santai. “Di pilkada DKI, semua strategi dan dukungan besar pemerintah pada calon petahana malah gagal total dan porak-poranda. Pilpres pun tak jauh beda.”

Para pendukung Prabowo melihat pilpres ini seperti Pilkada DKI Jakarta. Mereka menantang arus lembaga survei, kemudian mengubah prediksi kalah menjadi pemenang. Pada saat itu, kartu-kartu agama dikeluarkan.

Dukungan dari kelompok yang melakukan aksi 212 adalah katalis penting yang membawa kemenangan. Gerilya dilakukan di masjid-masjid. Mulai dari ancaman tidak menyalatkan jenazah pemilih kubu lawan, sampai khutbah politik.

Pertanyaannya, jika skenario yang sama dikeluarkan kembali, apakah itu sukses untuk memenangkan Prabowo? Bisakah kita menyamakan situasi pilpres dengan saat pilkada DKI? Apa kartu terakhir yang akan dikeluarkan Prabowo untuk meraih kemenangan?

***

Mantan CEO Google Eric Schmidt meyakini bahwa dunia terbagi dua yakni dunia nyata dan dunia maya. Jika hanya melihat dunia maya, maka mungkin kita akan beranggapan kalau Prabowo sedang di atas angin. Hampir setiap saat kita menemukan postingan yang isinya memojokkan petahana. Postingan ini kian menambah militansi para pendukungnya.

Sandiaga melengkapi kekuatan Prabowo dengan amunisi serta stamina menjelajah ke mana-mana. Mereka bisa memetakan dan masuk ke kantong-kantong pemilih yang selama ini terabaikan oleh Jokowi. Mereka bisa menyatukan berbagai kepentingan dari banyak kelompok yang terpinggirkan oleh pemerintah. Semuanya memiliki tujuan sama yakni bagaimana memenangkan Prabowo.

BACA: Dan Pemenangnya adalah Sandiaga

Saya menilai penampilan Prabowo dan Sandiaga di ajang pilpres tidak begitu mengesankan. Wacana yang diajukan Prabowo tak beda jauh dengan wacana yang diajukan pada pilpres 2014 silam. Malah, saat debat kedua dengan Jokowi, dia malah setuju dengan Jokowi. Padahal, itu adalah momen bagus untuk menunjukkan diferensiasi serta konsep yang lebih matang dari petahana.

Semua kekurangan itu bisa dipoles di media sosial. Prabowo dan Sandiaga tetap berjaya di sini. Perlahan tapi pasti, kubu Prabowo Subianto memenangkan pertarungan di media sosial. Dengan dukungan kelas menengah perkotaan yang punya akses pada teknologi informasi, kubu Prabowo berada di atas angin.

Strategi konten yang dibangun para relawan lebih banyak menyoroti kekurangan petahana. Strategi ini cukup cerdas sebab melihat Prabowo sudah punya basis yang kuat, sehingga perlu mengambil basis massa Jokowi. Namun, strategi ini bisa mengundang risiko. Di antaranya adalah tuduhan penyebaran hoaks dan kabar-kabar kebencian. Postingan itu bisa diendus penegak hukum.

Di sisi lain, berbagai semburan media sosial itu gagal menjangkau banyak desa-desa dan kawasan yang selama ini menjadi basis suara Jokowi. Saya sepakat dengan pernyataan Eep Saefullah Fattah bahwa penentu kemenangan di pemilu ini bukanlah pengendali wacana di media sosial, melainkan sejauh mana penetrasi dan ketuk pintu yang diakukan di rumah-rumah rakyat.

Beberapa lembaga survei terkemuka juga sudah mulai mengeluarkan prediksi. Mayoritas lembaga survei berpengaruh memprediksi selisih suara antara Jokowi dan Prabowo adalah antara 11-21 persen. Nyaris belum ada lembaga survei dengan reputasi baik yang memenangkan Prabowo.

Bocoran yang saya terima dari tim survei internal Prabowo, hasilnya tak berbeda jauh. Jokowi masih di atas Prabowo dengan selisih di atas 13 persen. 

BACA Prediksi Akurat Siapa Kalah Menang di Pilpres

Tantangannya adalah Prabowo dan Sandiaga mesti lebih kuat menjelajah dan memetakan kekuatan di daerah-daerah. Namun daya jelajah mereka ke daerah tidak seberapa leluasa. Di Jakarta, Prabowo didukung Gubernur DKI Jakarta, tapi di daerah-daerah, dia ibarat panglima yang tak punya hulubalang.

Bagi politisi Jakarta, pilpres ibarat arena yang harus dipersiapkan sejak lama. Kekuatan Jokowi adalah empat tahun selama menjabat (meskipun itu juga jadi kekurangannya), serta kemampuan untuk memenangkan banyak teritori di ajang pilkada lokal.

Di Jakarta, pendukung Jokowi kalah, tapi tidak dengan daerah-daerah berpopulasi besar lainnya. Di antaranya adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. 

Di pilkada itu, koalisi Jokowi terlihat lebih taktis. Mereka menggunakan strategi memecah kekuatan. Partai-partai tidak diarahkan mengumpul di satu titik, melainkan menyebar, kemudian mengepung calon yang diajukan Gerindra. Walhasil, koalisi Jokowi bisa menang telak di pilkada besar itu.

Bagi para politisi Jakarta, penguasaan pilkada lokal ibarat memperpanjang belalai dan rantai kekuasaan. Para politisi paham benar tentang gejala patron-client di masyarakat kita. Sekali Anda memegang posisi puncak, maka dengan mudah melakukan penetrasi sampai ke satuan terkecil di bawah.

BACA: Siasat Jokowi Menangkan Banyak Pilkada

Jika Anda gagal menempatkan orang di posisi puncak, maka langkah Anda akan lebih terjal. Inilah yang membuat koalisi Jokowi bisa percaya diri sebab berhasil menaikkan Ridwan Kamil (Jawa Barat), Khofifah (Jawa Timur), Gandjar Pranowo (Jawa Tengah), hingga Nurdin Abdullah (Sulsel). Kubu ini juga makin percaya diri ketika PDIP menang pilkada di mayoritas kabupaten.

Lantas, apa kartu terakhir yang dimiliki Prabowo?

*** 

Jumat, 27 Maret 2019, Prabowo mengeluarkan pernyataan penting di Karawang. Dia meminta pendukungnya untuk lebaran di TPS.

"Masih mau dicurangi atau tidak? Kalau tidak, 17 April jaga TPS. Bawa lontong, bawa ketupat, bawa sarung, bawa tikar kita lebaran di TPS. Yang punya makanan berbagi dengan yang tidak punya. Hari itu rakyat harus menang," katanya.

Beberapa hari berikutnya, dia juga mulai memperkenalkan nama-nama yang dianggapnya pantas menjadi menteri kabinet jika dirinya terpilih sebagai calon presiden. Dia menyebut AHY, Aher, hingga Eddy Soeparno.

Pada pernyataan pertama, dia berharap ada migrasi yang cukup besar di pilpres, sesuatu yang diharapkan oleh tim pemenangannya. Sedangkan pernyataan kedua, bisa ditafsir sebagai strategi untuk menjaga keutuhan koalisi, sesuatu yang kemudian dianggap AHY sebagai tindakan yang “melukai rakyat.”

Sejumlah kalangan mengaitkan lebaran di TPS itu dengan apa yang terjadi di pilkada DKI Jakarta. Saat itu, masjid-masjid menjadi pusat gerakan. Pendukung Prabowo salat subuh berjamaah, kemudian bersama-sama menuju TPS.

Yang harus dicatat adalah situasi hari ini tidak sama dengan saat pilkada Jakarta. Beberapa pihak sudah memberi warning untuk tidak kampanye di masjid. Mulai dari polisi, Bawaslu, hingga berbagai ormas Islam sudah mengingatkan agar masjid tidak menjadi sasaran kampanye.

BACA: Sesuai Debat Capres, Panglima Medsos Bertempur

Menteri Perhubungan, Budi Karya, membentuk Gerakan Cinta Masjid (GCM), yang kegiatannya adalah membangun koordinasi dengan masjid-masjid. Gerakan yang dipimpinnya telah memetakan semua masjid, dan mengetahui titik mana saja masjid yang berpotensi untuk ditunggangi bagi kegiatan politik untuk memenangkan capres.

Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang dipimpin Jusuf Kalla juga melakukan hal yang sama. Pihaknya selalu mendorong agar tidak ada kampanye politik yang dilakukan di masjid-masjid. 

Pihak Bawaslu juga telah memperketat pengawasan agar masjid-masjid tidak disusupi kepentingan politik. Lembaga ini bahkan menyita Tabloid Indonesia Barokah yang dituding sebagai kampanye bagi petahana. Masjid harus dijauhkan dari aktivitas politik dan penggalangan massa.

*** 

DI atas kertas, politik bisa diamati dengan membaca berbagai fenomena dan kecenderungan. Tapi di balik itu, ada sejumlah strategi yang tak terbaca sebab masing-masing tim ingin bekerja dalam senyap. 

Tim Prabowo sedang memantau situasi. Mereka paham bahwa jika kalah, maka ini akan menjadi pilpres terakhir bagi Prabowo. Tapi jika menang, maka ini akan menjadi awal bagi banyak hal. Mulai dari dominannya kekuatan politik Gerindra, hingga menata ulang banyak hal di republik ini.

BACA: Yang Menjengkelkan dari Gibran Jokowi

Di atas kertas, Jokowi sedikit di atas angin. Tapi ada banyak hal yang belum bisa terbaca. Sebab politik adalah seni untuk mengolah ketidakmungkinan menjadi sesuatu yang mungkin. Jika berhasil, Prabowo bisa jadi presiden dua periode.

Jika kalah, maka dia akan tercatat dalam sejarah sebagai manusia Indonesia yang dua kali maju sebagai capres, dan sekali sebagai cawapres. Entah, takdir mana yang berlaku bagi Prabowo kali ini.



0 komentar:

Posting Komentar