Mereka yang Lebih Percaya Dukun Politik




Ibu itu terlihat seperti ibu-ibu kebanyakan. Penampilannya modis. Dia tampak seperti ibu pejabat. Saya diajak seorang politisi bertemu ibu itu. Ternyata ibu modis itu berprofesi sebagai paranormal. Tapi, ibu itu sendiri mengaku profesinya adalah dukun. Di mata saya, dia terlalu cantik untuk disebut dukun.

Kami baru berbincang sejenak ketika ponselnya berdering. Rupanya, seorang menteri kabinet menghubunginya. Ibu itu bercerita kalau selama beberapa tahun ini telah mengawal menteri itu. 

Dia menyuruh menteri itu menjalankan sejumlah ritual yang kemudian mempengaruhi semesta. Nama menteri itu selalu baik di mata publik. Dia menolak jika keyakinannya dianggap sirik. Menurutnya, proses-proses spiritual yang dilakukannya tidak melanggar agama. 

Ketika teman politisi itu berbincang dengan ibu itu, saya memilih di luar ruangan. Saya tak melihat detail apa yang mereka diskusikan. Saya membayangkan dukun itu membaca aura, melihat tanda-tanda alam di tubuh politisi, kemudian merapal mantra. 

Saya teringat buku yang ditulis Nils Bubandt berjudul Demokrasi, Korupsi, dan Makhluk Halus dalam Politik Indonesia Kontemporer. Buku ini berisikan amatan etnografis terhadap aroma mistis di kalangan politisi di Maluku Utara. Dalam buku itu, Bubandt bercerita mengenai peran dukun dan makhluk halus dalam politik kita. 

Para dukun bekerja berdasarkan order. Ada yang menggunakan santet untuk menciderai lawan politik, ada yang memakai jin untuk mengawal saat debat kandidat, hingga mantra dan sihir yang dipakai para politisi.

Para politisi Jakarta juga banyak yang menggunakan dukun. Semasa jurnalis, saya pernah mewawancarai seorang dukun, yang mengaku sakti, di rumahnya di kawasan Kalibata. Dukun itu meraup uang miliaran dari bisnis meminjamkan jin kepada politisi agar selalu tampil percaya diri di hadapan publik. Saya tak ingin membuka siapa politisi itu.

Seperti ditulis Nils Bubandt, keberadaan para dukun ini antara ada dan tiada. Maksudnya, mereka disangkal politisi di hadapan publik, tapi diam-diam politisi mencarinya. Kerja para dukun seperti para intelijen yang senyap, cepat, dan tepat sasaran.

Politik kita tak semua rasional. Tapi juga irasional. Demi menjadi pelayan publik, seseorang tak cuma menjalankan proses-proses politik yang rasional, tapi juga melakukan hal yang irasional. Di antaranya adalah menemui dukun dan mencari wangsit.

Sementara orang yang sedang bertahta juga kadang-kadang mengonsolidasikan kekuasaannya dengan mistik. Dalam pemilihan pejabat, seorang pemimpin bisa mengabaikan data statistik dan analisis rekam jejak seseorang jika dukun atau paranormal memberikan rekomendasi yang buruk. 

Saya pernah membaca catatan sejarah mengenai Presiden Soeharto yang sangat percaya pada wangsit dan tanda-tanda alam. Soeharto lebih percaya pada wangsit dalam hal memilih siapa yang hendak diorbitkannya. 

Sejarawan Asvi Warman Adam bercerita mengenai nasib tragis Sarwo Edhie Wibowo di masa Soeharto. Sebagai komandan pasukan yang memimpin penyingkiran para anggota komunis, Sarwo Edhie berharap kariernya bisa mencapai posisi Panglima TNI.

Rupanya, Soeharto melihat popularitasnya sebagai ancaman. Soeharto memarkirnya di posisi-posisi yang tidak penting. Mulai dari Dubes Korea Selatan, Kepala BP7, hingga anggota DPR. Malah Sarwo Edhi hendak dijadikan Dubes Uni Soviet, sesuatu yang amat menyakiti Sarwo Edhie sebab dia pernah menghabisi para komunis.

Kata seorang sejarawan, Soeharto mendapat wangsit atau wahyu keprabon kalau Sarwo Edhie akan menjadi penguasa berikutnya. Itulah sebab mengapa Soeharto menyingkirkan Sarwo Edhie sebelum menjadi ancaman baginya. 

Seorang sejarawan bilang, wangsit itu tidak salah. Wangsit itu memang turun ke Sarwo Edhie, tapi bukan untuk dirinya. Wangsit itu malah turun ke menantunya Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian menjadi Presiden Indonesia dua periode.

Nah, dua hari lagi Indonesia akan menggelar pemilihan presiden. Jika politik kita dipenuhi dengan aroma mistik, maka kepada siapa wangsit kekuasaan itu kini jatuh? Apakah jatuh kepada tukang kayu kurus kerempeng dari Solo itu, ataukah jatuh ke seorang jenderal yang pernah memimpin Kostrad?

Sepertinya saya harus menanyakan kepada ibu yang berprofesi sebagai dukun ini.


0 komentar:

Posting Komentar