Remaja ALBINO di Buton Selatan




Di media sosial, hati saya tersentuh saat menyaksikan sejumlah remaja albino memakai pakaian adat Buton lalu bergabung dalam karnaval budaya di ajang Halo Sultra di Kendari. Para remaja albino itu berjalan dengan wajah berseri sebagai wakil dari Kabupaten Buton Selatan. Mereka berjalan dengan penuh rasa bangga.

Hati saya basah melihat keceriaan dan kebahagiaan para remaja albino itu. Selama ini, saya hanya mengetahui ada kampung albino di Ciburuy, Jawa Barat. Ternyata, ada kampung yang prevalensi albino cukup besar di Pulau Siompu, Buton Selatan. 

Saya pernah membaca liputan National Geographic mengenai kisah orang albino di Afrika. Banyak di antara mereka yang dibunuh dengan kejam karena dianggap tukang sihir. Banyak yang terbunuh karena tulangnya dianggap bisa jadi jimat. Mereka yang hidup harus menerima risiko di-bully dalam aktivitas sehari-hari. 

Laporan Under the Same Sun (UTSS), organisasi yang fokus pada masalah diskriminasi menjelaskan, anak-anak albino seluruh dunia rentan pada bully atau perundungan. 

Dalam laporan yang dibuat untuk PBB, disebutkan, anak-anak albino sering dihina dan diejek, serta diintimidasi karena dianggap berbeda. Mereka terisolasi oleh stigma, mitos, dan prasangka kultural.

Di Indonesia, tanah yang religius dan pancasilais ini, banyak orang yang juga mem-bully mereka. Saya membaca beberapa laporan media tentang anak albino di Ciburuy yang malu ke sekolah karena diolok-olok rekannya karena dianggap berbeda. Mereka di-bully atas sesuatu yang dianugerahkan Tuhan sejak lahir.

Tapi di Buton Selatan, para remaja albino itu justru mendapat kehormatan yang setinggi-tingginya. Mereka menjadi bagian dari komunitas yang dilindungi dan dikasihi sebagaimana keluarga lainnya. Malah, mereka mendapat kehormatan untuk mewakili seluruh kabupaten di acara karnaval budaya.

Di tengah parade karnaval yang menampilkan pakaian terindah dan para duta budaya dan model lokal, para remaja albino itu ikut tampil dengan penuh rasa percaya diri serta mendapatkan tepuk sorak kebanggaan dari banyak orang. Betapa saya amat bangga dengan penerimaan dan kebesaran hati itu.

Bahkan di media sosial, seorang kawan Masrizal Mas'udl menulis status: “Kalian kereenn... Kalian keluarga kebanggaan kami, telah mewakilkan kami pada karnaval Sultra.” Kawan lain juga menuliskan kalimat berisi kebahagiaan.

Di satu media, wakil dari pemerintah Buton Selatan menjelaskan kalau penyebar Islam di Buton yakni Syaik Abdul Wahid punya seorang pengikut yakni Hatibi Bula yang merupakan orang albino. Di Buton, Hatibi adalah sebutan lokal untuk khatib, orang yang berceramah di masjid.




Demi mengenang Hatibi Bula, salah satu pembawa syiar Islam di Buton Selatan, maka para remaja albino itu diajak dalam kegiatan karnaval budaya. Para remaja itu pun antusias sebab mereka diapresiasi, dihargai, dan diajak terlibat untuk membawa nama daerah di pentas budaya tingkat provinsi. 

Saya pernah membaca, orang albino tak bisa bertahan lama di bawah sengatan matahari. Ada risiko kesehatan yang harus dipertimbangkan saat mereka beraktivitas di bawah sinar matahari. Semoga antusiasme budaya tidak lantas membuat semua pihak mengabaikan kesehatan.

Di Buton Selatan, kita menemukan cerita tentang kebesaran hati untuk menumbuhkan potensi semua orang, cerita tentang indahnya penerimaan pada perbedaan, juga cerita tentang kecintaan pada spirit budaya dan komunitas.

Pada senyum remaja albino itu, kita melihat indahnya dukungan komunitas yang serupa tanah gembur bagi semua tumbuhan untuk menjadi kuat dan kokoh dan kelak dahannya menjangkau mega-mega.

Foto: La Yusrie dan Masrizal Mas'ud



0 komentar:

Posting Komentar