Andai STEVEN PINKER Membahas Masa Bung Karno




Di dunia ilmu pengetahuan, satu ketidaksepakatan adalah benih dari proses akademik. Melalui keraguan, seseorang bisa menumbuhkan rasa ingin tahu, memupuknya dengan berbagai bacaan, kemudian menyusun patahan demi patahan argumentasi.

Itu yang dirasakan Steven Pinker, profesor psikologi dari Harvard, ketika menyaksikan retorika Donald Trump yang amat pesimis. Trump mengatakan ibu dan anak terperangkap dalam kemiskinan. Dia juga bilang kriminalitas, narkoba, dan banyak manusia yang tewas di jalan.  Puncaknya adalah perlu mempersiapkan diri untuk perang terbuka. 

Saya sedang membaca buku Steven Pinker berjudul Enlightenment Now yang terbit tahun 2018. Buku ini disebut Bill Gates sebagai buku terbaik yang pernah dibacanya, buku yang argumentasinya solid, serta menyajikan optimisme dalam melihat dunia.

Pinker terheran-heran melihat banyak orang yang percaya dengan semua pesimisme itu. Cara dia merespon persoalan itu bukan dengan cara ikut nyinyir dan menjelekkan Trump. Dia menulis dengan serius, mempersiapkan argumentasi dan menjawab semua keraguan.

Buku setebal lebih 700 halaman berisikan argumentasi dan analisisnya tenang kondisi dunia saat ini. Yang menakjubkan, dia menghamparkan timbunan data-data statistik yang isinya perbandingan antara periode sebelum 1600-an hingga kini. Saya terheran-heran dari mana dirinya bisa mendapatkan data begitu kaya.

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital

Melalui kekayaan data statistik itu, dia ingin mengatakan bahwa masa sekarang jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Dia menunjukkan, di masa lalu harapan hidup hanya sampai usia 30-an tahun, kini bisa sampai 70-an tahun ke atas. Demikian pula jumlah angka kemiskinan, kematian ibu dan anak, hingga bagaimana listrik, energi, hingga penggunaan alat elektronik.

Pinker adalah pembela semua ide-ide pencerahan. Di beberapa kelas filsafat, saya pernah membaca beberapa nama filsuf yang memantik pencerahan, di antaranya adalah Imannuel Kant, Rousseau, Voltaire, Rene Descartes, David Hume, dan banyak lagi. 

Saya tak begitu hafal para filsuf itu sebab di awal kuliah S1, saya malah lebih tergila-gila pada pemikir teori kritis yang mempertanyakan ide-ide pencerahan, khususnya dari kalangan mazhab Frankfrut yang tokohnya adalah Horkheimer, Adorno, dan Jurgen Habermas.

Dalam banyak hal, saya setuju dengan Pinker. Berkat ide-ide pencerahan, rasionalitas, dan sains, manusia memasuki zaman baru yang jauh lebih baik. Berkat sains, manusia bisa memecahkan berbagai persoalan yang mendera, kemudian menyusun solusi untuk mengatasinya. Bagi Pinker, ide-ide pencerahan serupa obor yang menerangi kegelapan manusia.

BACA: "Everybody Lies" dan Kebohongan Big Data

Namun saya tak ingin jauh membahas pembelaan Pinker habis-habisan terkait ide pencerahan. Saya lebih tertarik membahas bagaimana respon hebat yang diberikannya ketika menerima satu pernyataan.

Di Indonesia, saat ini, kita mulai jarang menyaksikan debat dan diskusi-diskusi yang mencerahkan. Semua orang tiba-tiba menggolongkan dirinya dalam dua kelompok besar yang mendukung capres. Debat konstruktif menjadi tabu. Yang ada adalah perdebatan saling menang-menangan. Ketika tampil di tivi dan bisa men-skak lawan bicara tiba-tiba mendapat tepukan meriah.

Steven Pinker, profesor psikologi dari Harvard

Jika saja Pinker menggunakan data statistik untuk telaah Indonesia, saya yakin dia akan terkejut menyaksikan elite politik dan akademisi Indonesia masa kini dibandingkan dulu. Dulu, elite politik kita begitu produktif dalam reproduksi ide-ide. Di masa Bung Karno, semua elite politik dicirikan oleh gagasan serta ide-ide yang terang tentang ke mana republik muda hendak dibawa.

Bung Karno menulis pleidoi Indonesia Menggugat yang menggetarkan. Dia menulis semua pemikirannya yang kemudian terbit dalam buku Di Bawah bendera Revolusi. Di usia muda, dia sudah mendiskusikan pemikir-pemikir besar dunia.

Hatta menulis Alam Pikiran Yunani, yang mendiskusikan filsafat Yunani. Dia juga menulis Mendayung di Antara Dua Karang, yang membahas semua aliran ekonomi dan posisi pijak Indonesia. Buku ini disebut Majalah Tempo sebagai buku terbaik yang pernah ditulis oleh orang Indonesia.

Sjahrir menulis Demokrasi Kita yang coba membangun sintesa antara demokrasi dan sosialisme, jauh sebelum Anthony Giddens membuat teori tentang sosialisme jalan tengah, yang kemudian diadaptasi Tony Blair saat menjadi Perdana Menteri Inggris.

BACA: Nicholas Carr dan Era Bodoh di Internet

Yang selalu menjadi favorit saya adalah Tan Malaka yang menulis Materialisme, Dialektika, dan Logika, yang diniatkannya sebagai pertanggungjawaban ilmiah atas buah pemikirannya. Di tahun 1940-an, Tan Malaka sudah membahas sains, ideologi, serta pahaman mitis yang membuat bangsa Indonesia tidak bisa maju.

Sayang, Pinker tidak spesifik membahas Indonesia. Dia membahas fenomena global serta menangkis berbagai tuduhan yang disebutnya tidak bersandar pada data yang akurat. Dunia memang sedang berubah. Di sana-sini ada masalah, tapi tetap tidak akan memberi bukti bahwa zaman dulu lebih baik dari sekarang. 

Berbagai isu global dipecahkan secara bersama oleh masyarakat global. Dunia sedang terhubung satu sama lain, gagasan baik menyebar ke mana-mana. 

Saya masih membaca bab-bab awal buku Steven Pinker ini, ketika menyaksikan di layar kaca, seorang intelektual dan maha terpelajar sedang menjelek-jelekkan presidennya. Dia pikir gelar mentereng itu bisa menjadi pengabsah bagi tindakan mencaci, tanpa menyajikan satu sistematika berpikir yang rapi sebagai basis argumentasinya.

Mengapa dia tidak meniru Steven Pinker?


0 komentar:

Posting Komentar