Saat Orang KOTA Cemburu pada Orang DESA


salah satu pengunjung di Kuntum Farmfield

SEJAK modernisasi dan perekenomian berbasis di kota-kota, desa-desa kita kehilangan pesona. Penduduk desa lalu bermigrasi ke kota dan meramaikan dinamika ekonomi di sana. Siapa sangka, mereka yang di kota itu selalu memendam rasa rindu dan ingin kembali ke desa. Siapa sangka, wisata orang kota adalah melihat kehidupan desa dan berpartisipasi di dalamnya.

***

INI adalah kisah dari sahabat saya. Ia membawa keluarganya dari satu pulau kecil di Sulawesi untuk berkunjung ke Bogor, Jawa Barat. Sebelum datang, keluarganya berpesan untuk diajak ke tempat-tempat wisata orang Jakarta. Ia lalu mengajaknya ke kebun raya Bogor, satu tempat wisata yang disukai warga Bogor dan Jakarta. Setelah tiba dan menelusuri kebun raya, keluarga teman itu malah bersungut-sungut. Ia berkata, “Kenapa saya dibawa di sini? Saya ini lahir dan besar di hutan. Kenapa pula saya diajak melihat hutan?”

Kesan yang sama muncul saat diajak wisata ke kebun raya Cibodas, ataupun melihat kebuh teh dan strawberry di Cipanas. Bagi keluarga di desa, tempat-tempat itu tak unik. Yang tampak berbeda hanyalah penataannya yang rapi, serta ada biaya retribusi yang harus dibayarkan. Hanya saja, orang desa masih bisa mengakses hutan serta sungai dengan air yang jernih. Tapi di mata orang Jakarta yang terbiasa kemacetan dan asap knalpot kenderaan bermotor, tempat-tempat wisata di atas adalah surga.

Sebagai orang yang lahir dan besar di kampung, sering saya terheran-heran melihat tingkah polah orang kota yang di satu sisi jumawa karena merasa modern dan lebih berperadaban, tapi di banyak sisi justru ingin kembali ke desa. Mereka ingin kembali ke kehidupan orang desa, tetapi malu-malu untuk mengakuinya.

Seminggu silam, saya berkunjung ke Kuntum Farmfield. Tempat wisata ini tengah menjadi primadona bagi warga Jakarta dan Bogor. Terletak di tempat strategis, tempat ini selalu ramai dikunjungi orang-orang. Penasaran, saya pun datang berkunjung.



Yang saya saksikan adalah miniatur desa, yang dijadikan tempat wisata. Di bagian depan, saya melihat kandang kambing. Orang-orang mesti membayar untuk mendapatkan susu serta rumput yang akan disodorkan ke kambing-kambing itu untuk dimakan. Bagi para pengunjung, memberi makan kambing menghadirkan sensasi. Bagi saya yag lahir dan besar di kampung, saya tak menemukan di mana unsur menariknya. Aktivitas itu hal biasa saja di kampung halaman.

Setelah memberi makan kambing, atraksi berikutnya adalah memberi makan sapi. Kembali, orang-orang menyodorkan rumput agar di makan sapi itu. Lucunya, beberapa orang bertepuk-tangan saat sapi itu melenguh. Saya tersenyum-senyum melihatnya. Saya membayangkan bagaimana perasaan mertua saya di Bone, Sulawesi Selatan, datang ke tempat ini. Apa pula kata dirinya yang punya banyak sapi di sekitar rumah tiba-tiba diminta memberi makan sapi. Boleh jadi, ia akan ngomel-ngomel dan minta dipulangkan ke kampung halaman.

Saya lalu berjalan lagi. Di satu bagian, terdapat banyak itik. Para pengunjung membeli makanan itik untuk disodorkan kepada itik yang mulai menolak makan. Setelah itu, ada kolam ikan. Untuk mendapatkan pancing dan umpan, pengunjung mesti membayar 15 ribu rupiah. Selanjutnya, rumah kelinci. Kembali, orang-orang harus membayar untuk mendapatkan wortel demi memberi makan kelinci.

Tak hanya itu, terdapat banyak kebun sayur yang siap panen. Para pengunjung diijinkan untuk memanen sayur, setelah itu mencucinya. Terdapat pula banyak sawah-sawah yang siap ditanami. Bergantian orang kota menanam padi, memandikan kerbau, lalu beristirahat di beberapa dangau yang ada di situ. Dihembus angin sepoi-sepoi, mereka memandang sawah dan kebun-kebun di situ dengan perasaan gembira.

memberi makan kambing
memberi makan kelinci
memberi makan sapi

Sebagai orang desa yang kini tinggal di kota, ada banyak hal menarik yang saya rasakan. Tempat ini menjadi wahana nostalgia atas kehidupan di kampung halaman. Bagi generasi baru kota, kehidupan warga desa menjadi sesuatu yang eksotik, menyenangkan, serta membahagiakan. Orang-orang kota ini mengalami perasaan bagaimana menjadi orang desa dan menjalankan aktivitas ala desa. Terdapat dua hal yang bisa disoroti.

Pertama, pada dasarnya, masyarakat kota adalah mereka yang dahulu tinggal di desa, kemudian hijrah ke kota demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dalam beberapa riset lapangan, saya temukan fakta tentang tingginya urbanisasi, serta tiadanya peluang ekonomi di desa-desa. Kota lalu menjadi primadona untuk didatangi lalu ditinggali. Akan tetapi, kenangan atas aktivitas dan keindahan di desa itu tetap kuat tertancap di benak. Kenangan itu telah menjadi satu gambaran ideal tentang kehidupan ala desa yang indah, lingkungan yang hijau, air yang jernih, serta kicau burung yang memenuhi pagi.

Kedua, generasi baru di kota-kota memandang desa sebagai sesuatu yang eksotik. Buktinya, kehidupan desa menjadi tema utama untuk pariwisata kota. Orang rela membayar mahal untuk sekadar mendapatkan rumput dan memberi makan sapi, kambing dan kelinci. Anak-anak kota menganggap aktivitas menangkap ikan di kolam adalah sesuatu yang sangat menyenangkan dan mengasah adrenalin.

Anak-anak kota itu tidak punya pereferensi tentang bagaimana kehidupan desa, tetapi mereka menyaksikannya di berbagai tayangan media. Mereka membayangkan kehidupan desa sungguh menyenangkan sebab alam masih hijau, pepohonan di mana-mana, juga sungai jernih yang menjadi tempat bermain. Kehidupan ala kampung itu dianggap jauh lebih sehat, jauh lebih membahagiakan, ketimbang kehidupan ala kota yang setiap hari harus bergegas.

***

SETAHUN silam, saya mencari taman kanak-kanak yang tepat untuk anak saya. Betapa terkejutnya saya saat menyadari bahwa sekolah paling mahal adalah sekolah yang menyediakan banyak kurikulum di alam bebas. Ternyata sekolah mahal adalah sekolah yang mengajari muridnya di tepi hutan, di tengah kolam-kolam ikan, serta punya banyak aktivitas bermain di sela-sela pepohonan. Anak-anak sesekali diajak mendaki bukit dan menuruni lembah.

Saya benar-benar teringat masa kecil di kampung halaman. Bagi anak desa ataupun anak kampung, kurikulum sekolah alam itu bukanlah hal baru. Mereka melakukan itu dalam kehidupan sehari-hari. Siapa sangka, aktivitas tu lalu dikemas menjadi satu metode pedagogi yang diharapkan bisa menstimulasi proses tumbuh kembang seorang anak.


Tak hanya pendidikan, kecemburuan orang kota juga merambah ke aspek pangan. Di pasar-pasar, orang-orang mencari sayuran dan buah-buahan organik, yang diolah tanpa bahan kimia. Ada kesadaran penuh dari banyak orang kota tentang pentingnya menjaga pangan agar lebih higienis, lebih alami, dan lebih organik. Makanya, pertanian ala orang mider yang menggunakan bahan kimia, mulai dihindari. Kembali, orang-orang berpaling ke cara-cara lama dalam menanam sayur dan buah. Cara itu bisa ditemukan di berbagai desa, yang nyaris terkubur akibat modernisasi.

Yang juga mengejutkan saya, di banyak kota, orang-orang kembali ke pengobatan ala tradisional yang banyak mengandalkan obat herbal, sebagaimana orang kampung. Sarana kesehatan hanya menjadi sarana untuk berkonsultasi, tanpa membeli obat. Aspek pencegahan lebih dikedepankan. Itu bisa didapatkan dengan menjaga pola makan, memperhatikan pola hidup.

Pendekatan pembangunan juga mulai bergeser. Dahulu, seiring dengan modernisasi, jalan dari negara maju yang lebih berperadaban menjadi jalan yang harus ditiru. Kini, peta jalannya berubah. Berbagai negara mulai menggali kearifan lokalnya yang dahulu pernah ditinggalkan. Cara-cara warga kampung mengelola alam, praktik cerdas di berbagai wilayah, ataupun kebiasaan-kebiasaan adat mulai digali dan dikembangkan, lalu dijadikan sebagai pendekatan pembangunan.

Ah, saya mau bilang apa lagi. Orang kota perlahan ingin menjadi orang desa.

Namun, saya menyadari betapa besarnya tantangan untuk menjaga desa. Barangkali, yang harus dilakukan adalah bagaimana menjaga desa agar tidak ikut-ikutan menjadi kota. Ekosistem harus tetap dirawat, alam hijau harus dipertahankan, sehingga desa harus selalu menjadi oase bagi kota yang bergerak liar, tak tentu arah. Namun menjaga agar desa tetap eksotik dan warganya terisolasi dari kemajuan bukan pula solusi. Yang harus selalu didorong adalah pemenuhan kebutuhan warga desa, baik material aupun spiritual, yang nantinya akan berdampak pada ekosistem desa yang tetap lestari.

Di saat bersamaan kita mesti mendorong agar desa-desa menjadi pusat pertumbuhan, dan selalu menawarkan mata air bagi kesejahteraan penduduknya. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana menjadikan desa sebagai rumah yang nyaman bagi semua pihak, tetap menjadi payung bagi warganya, dan selalu menjadi mata air untuk menemukan nilai-nilai kearifan.

Kepada sahabat yang tinggal di desa, kampung, dan dusun, berbahagialah dengan kehidupan anda. Jangan pernah merasa minder melihat mereka yang berumah di kota-kota. Anda tinggal di tengah hamparan surga yang justru amat mahal nilainya. Anda sedang menjalankan aktivitas yang justru sangat diinginkan oleh orang-orang kota itu. Bedanya, anda melakukan semuanya dengan gratis, sementara orang kota justru harus membayar mahal demi aktivitas yang setiap hari anda lakukan.



Saya membayangkan, di masa-masa mendatang, gaya hidup ekologis akan menjadi trend di kota-kota. Orang-orang lalu mulai berumah di desa, beraktifitas di desa, lalu sesekali menjadi turis demi melihat kota-kota. Itu sudah saya saksikan di beberapa negara maju. Kelak, tak ada lagi rasa minder karena tidak tinggal di kota. Yang muncul adalah rasa bangga karena masih tinggal di kampung, di tengah alam hijau, pegunungan, sungai jernih, serta suara semilir angin yang berhembus di sela-sela pepohonan. Kelak, orang kampung akan bangga berkata, “Saya tinggal di kampung yang jauh lebih indah dari kota-kota yang pernah kamu jelajahi.”


Bogor, 5 Maret 2016

BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar