Kisah Haru Seorang Fasilitator



BAPAK itu menjabat sebagai kepala desa di Pulau Bras, terletak di Samudera Pasifik, tepatnya di Kabupaten Supiori, Papua. Selama sekian tahun, pulau ini seolah terabaikan. Hampir tak ada pejabat pusat yang pernah berkunjung ke sana. Bapak itu datang ke Jakarta demi memenuhi undangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ia agak terkejut saat masuk Jakarta. Ia tak silau dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Ia juga tak kagum dengan ribuan kendaraan, serta manusia-manusia Jakarta yang terperangkap dengan kemacetan. Ia justru cemburu dengan lampu listrik yang bisa menyala selama 24 jam. Ia memendam iri karena warga Jakarta bisa menonton tivi sampai puas, sampai tertidur. Bapak itu datang dengan membawa sejumput kekaguman.

Tapi ia tetap menyimpan kebanggaan kepada pulau yang ditinggalinya. Kepada saya, ia bercerita tentang pulaunya yang seindah surga, tentang pasir putih yang sehalus terigu, serta sensasi menyaksian lumba-lumba sedang berkejaran di lautan. “Lebih indah dari surga yang dibahas di banyak kitab,” katanya. Saya percaya itu. Hanya saja, saat bicara tentang fasilitas dan akses, ia lebih banyak diam.

Listrik menjadi barang mahal yang sangat dirindukan. Sebagai nelayan, ia tak bisa menyimpan tangkapan lebih lama karena keburu berbau apak. Ikan ditangkap hanya untuk konsumsi, bukan untuk menopang sekonomi, seagaimana nelaya besar di pulau lain. Tak ada cold storage, tak ada penerangan listrik, tak ada satupun urat nadi kemodernan. Ia berada di tepi pinggiran, serta menyaksikan betapa kontrasnya pusat dan pinggiran, di tengah pembangunan yang selalu bergerak di titik tengah.

Bapak itu hampir tak pernah menyaksikan piala dunia. Barangkali ia tak pernah menyaksikan momen penting ketika Diego Maradona menjebol gawang Inggris di piala dunia tahun 1986. Ia tak tahu kalau filosof Jose Mourinho baru saja dipecat sebagai pelatih Chelsea. Ah, ia juga tak menyaksikan bagaimana berita seorang artis berinisial NM yang ditangkap saat bugil di satu hotel di Jakarta.

Seringkali, apa yang kita anggap sebagai hal sepele, justru menjadi hal besar bagi orang lain. Sebegitu pentingnya listrik bagi warga kampungnya. Hingga akhirnya, pemerintah lalu membangun sau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Panel-panel surya didatangkan. Pemerintah juga mengirimkan seorang fasilitator muda yang bertugas untuk menyiapkan kelompok, sekaligus membantu masyarakat untuk menyiapkan beragam hal yang bisa membuat semua pekerjaan akan mulus.

Kampung itu mulai beringsut ke babakan baru. Berkat listrik. Berkat fasilitator muda itu.

***

LELAKI muda itu bernama Diyan. Lulus dari satu perguruan tinggi di bidang kelautan, tak membuatnya tinggi hati. Ia mencari tantangan, sesuatu yang mengasah adrenalinnya. Ia lalu melamar sebagai fasilitator untuk pembangunan sumber energi di pulau-pulau terluar. Ia lalu memanggul ransel, menembus samudera dan gelombang lalu tinggal di satu titik yang jauh dari pusat peradaban. Ia dikirim ke Pulau Bras.

Di sana, ia memulai hari yang tak biasa. Ia menjalin koordinasi dengan perangkat desa, masyarakat luas, serta pihak kontraktor yang datang. Dia juga harus beradaptasi, memahami budaya, kemudian bisa meleburkan segala egonya demi memahami apa yang baik dan tak baik bagi masyarakat. Sebagai fasilitator, tugasnya tidak ringan. Ia mesti memastikan semua pihak saling menerima dengan baik, sehingga pembangunan bisa berjalan.

Pulau Bras menjadi arena pengabdian yang penuh dengan tantangan. Diyan, anak muda perkotaan, yang dikirim untuk tinggal di pulau demi menjadi jembatan bagi masyarakat. Dia memang dibekali teori-teori tentang masyarakat. Tapi dunia yang dihadapinya tak sesederhana teori-teori yang diajarkan di bangku kuliah. Dunia yang dihadapinya menuntutnya untuk selalu terbuka, mengedepankan dialog serta membuka pintu-pintu hatinya agar bersenyawa dengan masyarakat setempat.

Delapan bulan Diyan bertugas di Pulau Bras. Ia tak saja menjadi fasilitator. Ia juga melakukan berbagai hal yang di luar garis kerjanya. Masyarakat menjadikannya sebagai tempat bertanya berbagai hal. Ia juga menjadi pengajar, membantu kepala desa menata kelembagaan desa, juga menjadi kawan diskusi bagi nelayan-nelayan yang menantang ombak demi memenuhi kebutuhan gizi masyarakat di kota-kota.


Hingga akhirnya, panel-panel listrik tenaga surya berdatangan. Pulau-pulau itu terang benderang. Walaupun listrik tidak menyapa 24 jam, nelayan mulai bisa beraktivitas di malam hari. Rumah-rumah benderang. Anak-anak nelayan bisa mmembuka buku dan belajar pada malam hari, sesuatu yang dahulu hanya bisa dibayangkan. Para nelayan bisa menanam harapan baru. Kelak, hasil tangkapan dan budidaya seperti ikan dan rumput laut bisa dikirim ke banyak tempat.

Kebahagiaan baru bersemi di pulau itu. Warga pulau itu bisa merasakan koneksi dengan dunia luar. Mereka bisa menyaksikan Lionel Messi berlaga bersama tim Barcelona. Warga pulau itu bisa melihat saudaranya di pulau lain, yang juga sebagaimana mereka kerap berdendang di tengah deburan ombak.

***

DI Jakarta, saya bertemu keduanya dalam suasana yang mengharukan. Kepala Desa Pulau Bras itu datang di acara yang digagas Kementerian Kelautan Perikanan sembari membawa secarik kertas. Di situ, tertera nama serta tanda-tangannya. Bapak itu membuat surat yang ditujukan kepada pihak kementerian. Ia meminta agar anak muda bernama Diyan itu tetap bertugas di pulau itu untuk membantu masyarakat.

Diyan sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Barangkali, pertemuan di Jakarta itu akan menjadi pertemuan terakhir bagi keduanya. Hari itu, Diyan ditarik dari pulau sebab kerja-kerjanya dianggap telah selesai. Ia akan mencari tantangan lain, entah apakah kembali ke Pulau Bras, ataukah tidak. Keduanya tahu bahwa ada garis takdir yang membuat perjalanannya akan melalui simpangan. Entah, apakah kelak akan kembali bertaut ataukah tidak.

Bapak kepala desa itu tahu barangkali tanda-tangannya tak akan menggugah kesadaran orang Jakarta. Mungkin saja ia tak mengerti kalau keberadaan seorang fasilitator selalu terkait dengan postur anggaran pemerintah. Biaya yang dikeluarkan tak kecil untuk menempatkan seorang fasilitator di satu pulau. Akan tetapi bapak itu tetap akan mengajukan surat, sembari berharap ada keajaiban di situ.

Surat itu menjadi penanda banyak hal. Surat itu menjadi penanda atas kerja-kerja fasilitasi yang menyentuh hati masyarakat. Ketika masyarakat merasa sejiwa dengan seseorang yang datang mereka akan menganggap sosok itu sebagai keluarga dekat yang diharapkan bisa menjadi bagian dari hari-hari mereka.

Saya menghela napas ketika menyaksikan secarik kertas itu. Kerja-kerja fasilitator tak sekadar kerja menjembatani perbagai pihak. Dia juga menanam kesadaran, mengikuti sungai berpikir masyarakat yang meliuk-liuk, lalu menunjukkan arah. Keberhasilannya diukur dari seberapa bisa ia menjadi bagian dari masyarakat yang didatanginya. Kesuksesannya akan dilihat pada sejauh mana masyarakat menganggapnya sebagai keluarga, lalu bersedia untuk membantunya sebisa mungkin.

Di Jakarta, saya menyaksikan sesuatu yang mengharukan. Antara seorang bapak, yang menyediakan rumah, serta seorang anak muda yang mulanya datang sebagai tamu, namun akhirnya dianggap sebagai bagian dari rumah itu. Di satu hotel, saya menjadi saksi dari perpisahan mereka. Tak banyak kata. Hanya ada sorot mata haru yang saling memandang, serta secarik kertas dengan tanda-tangan seorang bapak, seorang kepala desa.


BACA JUGA:





0 komentar:

Posting Komentar