seroang ibu di pasar terapung, Banjarmasin |
DI atas sungai-sungai deras di
Banjarmasin, terdapat kisah-kisah tentang perempuan hebat yang berperahu.
Mereka tak mau hanya duduk diam di rumah lalu menunggu suami. Mereka mengayuh
perahu dan berdagang berbagai komoditas. Sungai-sungai dan pasar terapung menjadi
saksi atas kemandirian dan ketangguhan mereka untuk menopang nafkah keluarga.
Sayangnya, di pasar terapung itu, saya
menyaksikan fenomena lain. Saya menyaksikan sesuatu yang pernah menjadi urat
nadi peraaban, yang kini terasa sunyi-sepi dan tak lama lagi akan punah.
Rupanya, ada sesuatu yang berlari kencang ketimbang kayuhan perahu
perempuan-perempuan itu.
***
PEREMPUAN tua itu mendatangi perahu yang
saya tumpangi. Ia datang dengan menaiki perahu kecil yang disebut jukung. Tak
ada sedikitpun rasa gentar di wajahnya saat mengayuh di air sungai yang deras
mengalir. Ia datang sembari tersenyum saat menawarkan dagangan di perahunya.
Hari itu, ia berjualan berbagai buah-buahan, mulai dari rambutan, jeruk, hingga
beberapa buah lokal.
Dia menawarkan buah itu dalam bahasa
Banjar. Saya tak paham kalimatnya. Saya hanya tersenyum dan menggeleng. Ia lalu
kembali menawarkan buah itu dalam bahasa Indonesia. Kali ini, ia menawarkan
buah yang namanya cukup asing di telinga saya. Ia menawarkan buah mentega.
What? Baru saya tahu kalau ada buah yang namanya mentega.
Ia lalu mengupas buah itu, kemudian
menawarkannya. Saya lalu mencobanya. Rasanya seperti buah mangga yang manis.
Kembali, ia “merayu-rayu” saya agar membelinya. Saya tergoda. Saya lalu mengambil
beberapa buah untuk dibeli. Selembar uang lima puluh ribu berpindah dari dompet
saya ke tangan ibu itu.
“Sudah berapa lama ibu berjualan di pasar terapung?” tanya saya.“Lebih 35 tahun,” katanya.
Hah? Ibu ini telah puluhan tahun menjadi
pedagang kecil di perahu itu. Tapi ia tetap saja melakoni profesi itu dengan gembira.
Dugaan saya, ibu ini tak sedang mencari uang. Mungkin saja ia melakoni profesi
itu sebagai rutinitas yang membuat otot-ototnya selalu kuat. Mungkin saja ia
hanya sekadar ingin mencari rutinitas yang akan mengisi hari tuanya. “Saya
bekerja untuk keluarga. Penghasilan di sini bisa untuk kebutuhan sehari-hari,”
katanya.
dua orang pedagang |
berdagang di sekitar timbunan kayu |
Ibu ini sungguh mengagumkan. Barangkali,
para pejuang gender harus banyak menyerap kearifan dan kemandirian ibu ini. Dia
melakukan sesuatu yang menurutnya biasa, tapi justru luar biasa bagi mereka
yang hidup di iklim patriarkis. Di banyak tempat, kaum perempuan justru
terpasung dan tak punya akses pada ruang publik. Berbagai naskah dan publikasi
tentang perempuan telah lama ditulis. Bahkan gerakan perempuan juga muncul di
mana-mana.
Tapi di Banjarmasin, saya menyaksikan satu
keping kenyataan yang menarik. Hampir semua pedagang di pasar teraung adalah
perempuan. Mereka menjadi pemain utama yang mencukupi nafkah keluarga. Mereka
melakukan banyak hal penting untuk mencukupi nafkah keluarga. Mereka berjibaku
dnegan sungai deras demi keluarga.
Ibu ini membuat saya memikirkan banyak
hal. Di antaranya adalah betapa tak mungkin kita menyeragamkan kondisi perempuan
di manapun. Di mana-mana selalu ada variasi, sesuatu yang unik, yang tak bisa
disederhanakan dengan sejumlah kategori dan konsep. Ibu ini mengetuk kesadaran
saya dengan banyak inspirasi untuk selalu peka pada dinamika kultural, dan
melihat persoalan dengan cara pandang lokal, lalu mendialogkannya dengan
berbagai hal lain.
***
Dalam kunjungan singkat ke Banjarbaru,
Kalimantan Selatan, saya berkunjung ke pasar terapung yang terletak di Kuin.
Saya datang sejak azan subuh belum berkumandang. Saya sempat singgah salat
subuh di Masjid Sultan Suriansyah di Kuin Utara, Banjarmasin, sebelum akhirnya
menumpang kelotok kecil yang membawa saya ke pasar terapung.
Dua anak muda dari HMI Banjarbaru menemani
perjalanan. Saat saya tanya, apakah pasar terapung masih ada, ekspresi wajahnya
terdiam, lalu tersenyum. Rupanya, mereka sendiri ragu apakah pasar itu amsih
bisa ditemukan ataukah tidak. Anak-anak muda ini tak tahu persis apakah masih
banyak pedagang di pasar itu. Rupanya, mereka lama tak berkunjung ke tempat yang
cukup populer itu.
Di tahun 1990-an, pasar terapung
Banjarmasin tenar di seantero Indonesia. Popularitas itu ditopang oleh RCTI,
satu tivi komersial yang menayangkan iklan berupa pasar terapung, serta ada
seorang ibu yang mengacungkan jempol lalu tersengar suara musik dan nyanyian
“RCTI Okee.” Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah pasar itu masih seramai apa
yang saya lihat di iklan itu?
perahu di tengah tumpukan kayu |
mainan untuk anak-anak |
perahu yang berdagang soto banjar. mau coba? |
Matahari perlahan muncul. Saya berada di
atas perahu bermesin yang menyusuri Sungai Barito. Di sekitar, saya melihat
rumah-rumah yang masih menghadap sungai. Kata teman yang mengantar, dahulu
semua rumah menghadap ke arah sungai, sebab sungai adalah urat nadi
transportasi. Kondsi geografis Banjarmasin memang dilalui oleh banyak sungai.
Pantas saja jika perahu menjadi alat transportasi utama.
Di banyak tempat, saya melihat banyak
kayu-kayu yang mengapung di sungai. Di situ, terdapat banyak gudang-gudang yang
berisi kayu. Rupanya, kayu-kayu sengaja direndam agar lebih kuat dan lebih
tinggi nilainya saat dijual. Saya langsung teringat beberapa riset tentang
pembalakan liar serta laju deforestasi yang sangat tinggi di Kalimantan.
Rupanya, pohon-pohon rimbun yang dahulu menjadi paru-paru bumi borneo itu telah
lama menghilang dan bisa ditemukan di ssungai-sungai, sebagaimana yang saya
saksikan. Pohon-pohon itu telah ditebang, dipotong-potong, lalu direndam dalam
air agar lebih kuat dan lebih mahal nilainya.
Saya teringat pada kalimat Gandhi, “Bumi
selalu cukup untuk memberi makan manusia, tapi tidak dengan keserakahan kita.” Kalimat
itu sesuai benar dengan apa yang muncul di sini. Jika tak ada keserakahan,
barangkali kayu-kayu yang nampak merana ini masih akan berdiri kokoh sebagai
pohon di rimba raya Kalimantan. Jika tak ada keserakahan, barangkali sungai ini
masih akan jernih, ikan-ikan berkecipak di dalamnya, tanpa harus berjejalan dengan
kayu yang sengaaj direndam.
Kalimantan telah lama menjadi lanskap bagi
sesuatu yang disebut kemajuan, kekayaan, dan keberhasilan. Bumi Kalimantan
telah lama dijarah demi mengalirkan gaya hidup kelas atas, yang sejatinya
bermuara pada hasrat manusia untuk menguasai kapital. Yang bersemi di sana
adalah penumpukan modal, konsentrasi aset pada sejumlah orang, lalu berimbas
pada bumi yang dijarah. Alam semesta dikuliti dan digali-gali demi memenuhi
hasrat sedikit orang yang menggunakan kuasa untuk ketamakan. Alam semesta
dipreteli demi menggapai apa yang disebut kemajuan.
***
“Bang, lihat itu!” Teman seperjalanan lalu
menunjuk satu perahu yang berjualan soto banjar. Di saat matahari masih
malu-malu menampakkan diri, perahu kami singgah di dekat perahu itu. Kami memesan
soto banjar serta sate dari atas perahu. Penjualnya pun membawa perahu sendiri.
Saya merasakan suasana yang membahagiakan. Makan soto di atas perahu menjadi
pengalaman berharga hari ini. Selanjutnya, kami menuju ke tempat perahu-perahu
berkumpul.
Di situ, saya merasa sedih. Jumlah
pengunjung dan pedagang di pasar terapung ini tidak sebanyak yang saya
bayangkan. Saya agak kecewa saat melihat sekeliling. Di pasar terapung ini saya
tak melihat banyak perahu. Saya menghitung kalau jumlah perahu yang ada hanya
belasan. Ke manakah gerangan para pedagang pasar lainnya? Rupanya, ada banyak
hal yang terjadi di sekitar situ, yang kian membuat pasar terapung ini
terpinggirkan.
Modernisasi berlari lebih kencang dan
mengubah banyak hal. Dahulu, sungai adalah nadi peradaban, kini peran sungai
semakin menciut. Peradaban dibangun di darat, bukan lagi di sekitar sungai.
Jalan-jalan dibuat lebar, lalu menghubungkan berbagai kampung di dekat sungai. Perlahan,
rumah-rumah tak lagi menghadap sungai. Masyarakat lalu memiliki kenderaan
bermotor yang membuat mobilitasnya semakin lincah di daratan.
Para pedagang sendiri lebih memilih
berdagang di darat daripada tetap disungai. Selain karena faktor keuntungan
yang diperoleh, pembangunan infrastruktur yang tidak seimbang antara darat dan
perairan menjadi alasan lain. “Lebih mudah berdagang didarat daripada di
sungai” kata salah seorang mantan pedagang pasar terapung kuin.
Ciri khas urang banjar (suku asli Kalimantan
Selatan) yang dulunya sempat melegenda pun sekarang memudar. Ironisnya, orang
banjar sendiripun terkadang masih banyak yang tidak tahu sama sekali kehebatan
para leluhurnya. Diantara ciri khas urang banjar behari, leluhur suku banjar,
adalah pengelolaan sungai yang sangat mengagumkan. Dahulu orang banjar
mengarungi Kalimantan cukup hanya dengan sebuah jukung. Selain bertransportasi,
kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain pun tidak terlepas dengan yang
namanya sungai. Tak heran jika nantinya salah satu kota di Kalimantan Selatan
dijuluki sebagai “kota Seribu Sungai”.
Yang tersisa hari ini adalah jejak-jejak
peradaban yang nyaris punah. Benar kata seseorang di Jakarta, kita terlampau
lama memunggungi air. Peradaban kita berlangsung di daratan. Peradaban kita
ditopang oleh pilar-pilar kemajuan serta bangunan megah yang berdiri di atas
daratan, sementara kebersahajaan dan sifat mengalir sungai perlahan dianggap
sebagai masa silam.
Seorang teman menjelaskan kalau belakangan
perhatian pemerintah untuk mempertahankan pasar ini cukup besar. Para pedagang
dimodali. Pedagang diberikan jukung yang baru. Hanya saja, langkah itu akan
sia-sia saja. Langkah itu hanya berorientasi proyek, tanpa berniat serius untuk
menjadikan sungai-sungai sebagai semesta kembali memiliki nadi penting bagi
kehidupan. Saat semua urusan kehidupan beralih ke darat, sungai-sungai menjadi
masa silam yang hanya sesekali ditengok untuk pariwisata.
***
“Nak, saya punya rambutan yang maniiis sekali. Mau coba?”
Ibu itu kembali merayu saya untuk membeli
dagangannya. Saya tersenyum kepadanya. Dia pun tersenyum. Di daratan sana, saya
melihat kota yang mulai hiruk-pikuk. Di sungai ini, pikiran saya digelayuti
banyak hal, mulai dari kerusakan hutan, tercemarnya sungai, kian terpinggirkannya
pasar terapung, serta nasib dari pesisir. Tapi saat melihat senyuman ibu ini,
ada banyak bahagia yang tiba-tiba mekar di hati ini.(*)
Banjarbaru, Maret 2016
BACA JUGA:
5 komentar:
ini yang namanya kebudayaan yang harus dijaga, dan inilah yang menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. gimana ya rasanya duduk di perahu sambil jualan. :)
Nama nya baderudin bang yang bilang " bang luhat itu"..ahaha
makasih atas komennya
makasih infonya bro. mohon maaf karna lupa menuliskannya.
saya seperti membaca National Geographic. keren sekali kak Yus
Posting Komentar