Suatu Hari di Kantor INSIST


ilustrasi

DARI sedemikian sedikit organisasi non-pemerintah yang bisa bertahan dan melewati berbagai zaman, Institut Transformasi Sosial (Insist) adalah satu di antaranya. Organisasi ini melalui fase-fase penting dari fase otoritarian ke periode reformasi, melahirkan demikian banyak pemikir dengan aliran progresif, serta menginspirasi banyak peneliti muda yang rela untuk lama berpeluh di desa-desa demi hasrat untuk perubahan sosial.

Dalam kunjungan singkat ke Yogyakarta, saya sangat terkesan saat berkunjung ke kantornya. Di Jalan Kaliurang, Km 18.5, saya berkunjung ke kantor yang melahirkan buku-buku bertemakan transformasi sosial, yang memenuhi koleksi perpustakaan saya. Harus saya akui kalau beberapa buku terbitan Insist pernah menyulut banyak api yang lalu membakar pikiran masa muda saya, mengarahkan pada jalan pedang pengetahuan demi menebas ketidakadilan, lalu mengingatkan tentang betapa banyaknya bahaya yang bersembunyi di balik kebijakan pemerintah, ataupun ketidaktahuan.

Saya menemui sahabat Ishak Salim, yang kini menjabat sebagai salah satu anggota “majelis syuro” di Insist. Dahulu, Ishak adalah teman diskusi serta teman seperjuangan di kampus merah. Terakhir bertemu Ishak beberapa tahun silam, saat beliau riset lapangan di Buton, Sulawesi Tenggara. Saya bersyukur karena bisa menemani dan memberinya inspirasi untuk memberi judul buku Hikayat Sabangka Sarope yang isinya menyorot berbagai elemen gerakan sosial di Sulawesi Tenggara.

Ishak mengajak saya berkunjung ke kantor penerbitan Insist. Kembali, saya menemukan keasyikan tiada tara saat melihat-lihat buku yang telah diterbitkan. Hampir semua buku bertemakan isu sosial politik, lingkungan, budaya, ataupun ekonomi, yang selalu terkait dengan transformasi sosial. Insist punya reputasi sebagai penerbit yang fokus pada transformasi sosial, lalu menjadikan penerbitan sebagai jantung dari semua kegiatan diseminasi pengetahuan.


Saya membuka-buka jurnal Wacana, buku-buku Mansour Fakih, salah satu pendiri Insist. Saya terpikat dengan tulisan Roem Topatimasang yang sederhana namun menggebrak nalar kita yang terlanjur mapan. Beberapa seri terbitan Insist telah lama menjadi koleksi yang sering saya baca, sering pula saya sarikan untuk mengisi materi di satu lembaga penelitian.

Tentu saja, Insist tak hanya menguatkan lini penerbitan. Malah, penerbitan itu adalah bagian dari mata rantai kegiatan intelektual di situ. Insist memiliki divisi riset yang tangguh, bisa mengorganisir peneliti dalam satu jaringan kerja bersama, lalu membagikan sebuah buah-buah pengetahuan yang disuburkan proses riset dan mengkaji secara bersama-sama.

Di Insist, saya menemukan riset yang serius pada upaya-upaya advokasi. Kata Ishak, mereka kerap melatih seorang peneliti hingga tiga bulan, setelah itu ditempatkan di desa-desa selama 2 tahun. Di berbagai kampus, saya jarang menemukan riset yang dikerjakan selama 2 tahun. Kebanyakan adalah riset terapan berlangsung singkat sebab selalu terkait dengan pesanan dari lembaga pemerintah.

Siapa yang mendesain peatihan riset dan pengorganisasian masyarakat di Insist? “Kebanyakan didesain oleh Roem Topatimasang,” kata Ishak. Dahulu, Roem berduet dengan Mansour Fakih, guru dari semua aktivis transformatif di Indonesia. Meninggalnya Mansour Fakih tak lantas memadamkan semangat Roem. Ia masih saja produktif menyeleksi tulisan untuk terbit di jurnal Insist. Ia juga fokus pada pengembangan

Salah satu buku Roem yang paling berkesan adalah Mengubah Kebijakan Publik. Selama belasan tahun, buku ini menjadi pegangan bagi semua aktivis. Pantas saja jika Roem akan mengunjungi beberapa lembaga atau orang-orang yang akan menjadikan bukunya sebagai bahan ajar. Ia ingin menyempurnakan metode pelatihan yang pernah dibuatnya, serta diperkaya dengan berbagai metode baru. “Ia ingin membuat etnografi buku,” kata Ishak yang mengutip pandangan Noer Fauzi, salah seorang intelektual Insist yang kini mengajar di IPB.


Bagi saya, pengalaman ke kantor Insist adalah pengalaman yang cukup berkesan. Inilah dapur dari berbagai gerakan transformatif di tanah air. Di sinilah digodok banyak aksi-aksi pendampingan dan pemberdayaan pada masyarakat. Di sinilah ditemukan banyak hasrat kuat untuk membagikan secuil gagasan demi membuka mata banyak orang bahwa ada banyak kabut dan jelaga yang terus membodohi masyarakat. Di sinilah terdapat dapur gagasan bagi para demonstran yang ingin menguatkan masyarakat, memandirikan mereka, lalu meneriakkan revolusi di jalan-jalan.

Keluar dari situ, saya tiba-tiba saja dipenuhi obsesi untuk membuat lembaga serupa. Saya tahu bahwa tak mudah untuk tetap menjaga tradisi intelektualitas di tengah hidup yang serba pragmatis. Tak mudah untuk terus mengasah diri dalam riset-riset yang lama di lapangan, di antaranya adalah Participatory Action Research (PAR) yang tengah dikembangkan Insist. Tak mudah untuk bersetia di jalur diseminasi gagasan transformatif, serta menjaga kecintaan pada masyarakat melalui aksi pendampingan dan pemberdayaan, di saat banyak orang sibuk menggalang opini untuk politik lokal, di saat banyak orang hanya melihat satu celah untuk perubahan yakni menjadi pejabat publik.

Ah, kalaupun tak bisa, minimal saya bisa membangun jejaring untuk saling belajar dengan banyak orang di lembaga itu Ah, semoga saja obsesi itu punya kaki-kaki untuk bergerak.


Yogyakarta, pertengahan Maret 2016

BACA JUGA:






0 komentar:

Posting Komentar