Kisah Manusia Batu dan Bidadari


bersama Idris di Kota Tua

SUATU sore di Kota Tua, Jakarta, saya bertemu “manusia batu”, sosok yang menyerupai prajurit beku, yang menanti ajakan berpose. Sungguh mengejutkan karena ia membaca blog saya, mengikuti setiap postingan yang diurai, serta masih pula mengingat pertemuan kami beberapa tahun silam. Tak jauh darinya, saya melihat beberapa bidadari yang tersenyum menggoda.

***

NAMANYA Idris. Dia menyebut dirinya sebagai manusia batu. Kehadirannya mengingatkan saya pada frozen soldiers, prajurit beku yang pernah saya saksikan di depan Lincoln Memorial, di Washington DC. Bedanya, jika prajurit di Lincoln Memorial memang benar-benar beku. Idris tidak demikian. Dia sengaja melumuri tubuhnya dengan cat tertentu hingga nampak seperti batu.

Tiga tahun silam, saya bertemu dengannya. Saat itu, saya datang ke Kota Tua, lalu berpose dengannya. Kami tak sempat berbincang. Setiba di rumah, saya lalu menuliskan episode pertemuan itu. Di mata saya, Idris hendak mengingatkan semua orang tentang sesuatu yang amat penting. Ia hendak mengingatkan perlunya kesadaran sejarah serta mengingat episode yang telah lewat. (Baca: Kisah Manusia Batu di Tepi Jakarta)

prajurit beku (frozen soldiers) yang saya potret di Washington DC

Bermula dari tulisan itu, saya berkawan di media sosial. Di kanal Instagram, saya rajin mengikuti apa yang dilakukannya. Barulah saya tahu kalau dirinya pernah mendapat prestasi sebagai juara manusia patung. Malah, dirinya terpilih mewakili Indonesia pada perlombaan di level dunia yang diadakan di Belanda. Sayang, ia batal berangkat ke sana.

Beberapa hari lalu, saya bertemu dengannya. Ia langsung tersenyum lebar saat saya menyebutkan nama. Kalimat pertama yang keluar dari bibirnya, “Saya baca tulisan abang terbaru tentang Saiful jamil. Saya langsung mikir-mikir, wah benar juga yaa?” katanya sembari tersenyum. Mendengar kalimatnya, saya juga tersenyum. Rupanya, ia membaca tulisan terbaru saya tentang penyanyi dangdut yang dituduh melakukan hap hap itu.

Rupanya, ia masih mengingat pertemuan kami tiga tahun lalu. Ia masih mengingat apa yang saya tulis tentang pertemuan kami. Malah ia berterimakasih, sebab tanpa saya sadari, ia semakin populer berkat tulisan itu. Entahlah.

Kota Tua menjadi kawasan yang terus berbenah. Dahulu, Idris sendirian menjadi prajurit beku di situ. Kini, kawasan itu penuh dengan seniman. Tak hanya para prajurit beku, saya melihat banyak orang dengan pakaian berwarna-warni. Beberapa di antaranya melakukan atraksi dengan geakan melayang di udara. Banyak pula pesilat yang bergaya seolah sedang mengambil jurus. Para pengunjung bisa memiuh hendak berfoto dengan siapa.

Semuanya bermula dari selfie. Rupanya, hasrat orang untuk datang ke Kota Tua tak lagi sekadar berpose di bangunan tua, tetapi juga berpose dengan para penampil. Seingat saya, di Korea, terdapat satu museum yang isinya adalah berbagai pernak-pernik untuk selfie. Anda bisa berpose di atas papan luncur, yang diletakkan di atas ombak besar. Tentu saja, ombak dan papan luncur bukan asli. Anda hanya seolah-olah sedang meluncur di awan.



Kini, jumlah mereka yang serupa Idris ada sekitar 70-an orang. Kata Idris, jumlah mereka akan dirampingkan hingga 21 orang. Mereka berasal dari berbagai kelompok seniman yang mencari nafkah dengan cara berpose bersama pengunjung. Hebatnya Idris tak merasa tersaingi. Dengan keramahan, interaksi, dan berbagai pose unik, ia akan selalu mendapatkan audience.

Saya melihat dirinya berpose dengan seorang wanita. Ia bergaya serupa patung yang mencium tangan sang wanita. Kamera lalu mengabadikan momen itu. Idris lalu mengganti gaya. Kali ini, ia menoleh ke samping sembari mengokang senjata. Klik, kamera lalu membekukan momen itu.

Di sebelah Idris, saya melihat seorang perempuan memanggil-manggil. Rupanya, ia pun sama dengan Idris. Beberapa orang datang berpose dengan perempuan cantik yang berpakaian serupa nona Belanda pada masa kolonial. Rupanya, pakaian perempuan itu, bangunan tua, juga prajurit tempo dulu, ada persenyawaan yang tepat. Mereka membentuk nuansa tua yang ada di tempat itu, serupa mesin waktu telah mengembalikan kesadaran kita ke masa silam.

Saya merenungi tentang Jakarta yang serupa ruang hidup bagi banyak orang. Di kota seluas ini, ada begitu banyak orang yang kesemuanya berebut ruang dan sumberdaya. Mereka yang bertahan adalah mereka yang kreatif, pintar melihat momentum, lalu melakukan banyak hal unik yang tak bisa dilakukan manusia lainnya. Saya membayangkan daya-daya tahan dalam menghadapi situasi bisa ditemukan pada manusia-manusia Jakarta. Mereka secara perlahan keluar dari kantong kemiskinan melalui kreatifitas yang terbukti telah menyelamatkan mereka dalam berbagai situasi.

Saya membayangkan pemerintah yang sedang menyebut data-data statistik tentang kemiskinan yang terus berkurang. Tentu saja, laporan pemerintah itu mengabaikan satu fakta penting betapa lapis bawah negeri ini terus beringsut untuk keluar dari rimba kemiskinan. Laporan pemerintah itu seolah mengklaim semuanya berkat pemerintah, tanpa melihat betapa gighnya orang-orang untuk lepas dari berbagai jeratan ekonomi.


manusia batu Idris dan seorang pengunjung (atas). Bidadari di Kota Tua (bawah)

Pada sahabat seperti Idris dan bidadari Kota Tua itu, saya menyaksikan daya-daya tahan. Tidak saja kemampuan bertahan dari panasnya sengatan matahari, tapi juga daya tahan menghadapi kehidupan yang serupa badai dan angin kencang yang bisa membenamkan kita, namun bisa pula menerbangkan kita untuk menggapai mega-mega impian dan cita-cita.

“Abang mau foto bareng saya?”. Saya menoleh. Bidadari itu tersenyum sembari mengembangkan payung. Ah, dia tahu kalau saya pun ingin berpose dengannya. Mungkin dia tak tahu kalau saya ingin sekali mencatat nomor hp-nya.



Bogor, 13 Maret 2016

2 komentar:

dzulfikar mengatakan...

Terakhir ke kota tua tahun lalu. Kini mmg makin ramai. Malah saya baru sekali mengunjungi museum wayangnya.

cara melancarkan menstruasi setelah kb suntik 3 bulan mengatakan...

ingin sekali ke kota tua, sambil hunting foto. terima kasih informasinya

Posting Komentar