Penolakan SEKS yang Memicu REVOLUSI



DI balik setiap revolusi ataupun perubahan sosial, selalu terdapat kisah-kisah tentang manusia-manusia yang gelisah, lalu berikhtiar untuk melakukan sesuatu. Di balik cerita tentang perubahan besar, selalu ada cerita tentang tindakan-tindakan kecil yang memicu perubahan tersebut.

Pemicunya tak selalu para pahlawan, prajurit hebat, ataupun manusia dengan trah separuh dewa yang jatuh dari langit. Pemicunya adalah orang-orang biasa yang melakukan tindakan-tindakan kecil, yang lalu menggugah publik. Siapa sangka, revolusi bisa dipicu melalui hal-hal kecil, yang dilakukan para jelata.

Tak heran, jika aksi mencuci bendera bisa menggetarkan rakyat Peru, pesan tersembunyi pada desain mata uang bisa menggelisahkan rakyat Myanmar, permainan sepakbola Didier Drogba bisa mengharu-biru Pantai Gading, hingga kalimat petinju Muhammad Ali bisa menghempas warga Amerika untuk mempertanyakan ulang makna nasionalisme negara yang memaksa warganya untuk menempur warga belahan bumi lain.

Jangan terkejut kala mengetahui gerakan emansipasi hak sipil dimulai dari perempuan bernama Rosa Parks yang menolak memberikan kursinya di bus pada tiga orang lelaki kulit putih. Mari pula beri ruang pada Malala, perempuan berusia 25 tahun yang pidatonya menggetarkan rezim otoriter yang selalu menebar teror.

Tak hanya itu, gosip-gosip bisa memukul rezim yang memulai perang di Darfur, Sudan Selatan. Jangan terkejut kalau menemukan fakta jatuhnya rezim Slobodan Milosevic dimulai dari aksi mengutak-atik program photoshop, jatuhnya rezim Ferdinand Marcos berawal dari sejumlah perempuan yang menolak untuk mengubah suara pemilu, revolusi di dunia Arab dimulai dari aksi meneruskan pesan di twitter, aksi perempuan Serbia yang tetap berdandan seksi dengan lipstick merona demi menghentikan perang, hingga aksi menolak hubungan seks dari perempuan Sudan bisa menghentikan perang saudara selama 20 tahun. Hah?

Saya membaca kisah-kisah menggetarkan itu pada buku Small Acts of Resistance: How Courage, Tenacity, and Ingenuity Can Change the World yang ditulis Steve Crawshaw dan John jackson. Buku ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Roem Topatimasang, dan diterbitkan Insist dengan judul Tindakan-Tindakan kecil Perlawanan: Bagaimana Keberanian, Ketegaran, dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia. 

Membaca buku bagus ini membuat mata saya lebih jernih dalam melihat banyak hal. Batin saya beberapa kali tersentuh membaca 15 kisah perubahan sosial, yang kesemuanya dimulai dari tindakan-tindakan kecil.

Saya mengamini kalimat di awal buku: “Seseorang yang berjiwa bebas, dengan segenap ingatan dan juga ketakutannya, adalah sebatang tetumbuhan air yang rantingnya membelokkan arah deras arus sungai.” Kutipan lain yang juga menyentuh saya adalah kutipan dari Bertolt Brecht. “Kata anak lelaki itu, ia belajar tentang bagaimana air yang lembut menitik, selama sekian tahun akan melubangi batu yang keras sekaipun. Dengan kata lain, kekerasan akan kalah juga akhirnya.”

Yang saya rasakan dari kutipan ini adalah perubahan selalu dimulai dari individu yang gelisah, lalu punya sedikit keberanian untuk menyatakan sikap. Keberanian itu serupa api kecil yang membakar ilalang kesadaran, yang terus membesar lalu menjadi gerakan sosial.

Dalam buku ini, saya membaca cerita tentang anak muda kulit hitam yang berani memasuki restoran dan duduk di kursi yang hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih. Di tengah iklim politik yang menindas kaum kulit hitam, tindakan itu akan berdampak pada penangkapan.

Anak muda itu memang ditangkap, tapi tindakannya menggugah orang lain, yang juga datang untuk duduk di kursi itu. Ratusan orang lalu bergantian duduk, hingga akhirnya memenuhi penjara. Aksi duduk itu lalu membakar eksadaran, memicu perlawanan, yang lalu berkembang jadi revolusi.

Buku ini bisa menjadi pegangan bagi semua praktisi gerakan sosial. Di dalamnya kita tak menemukan satupu teori yang berat-berat, melainkan kisah-kisah inspirasi yang mengisahkan tentang banyaknya perubahan yang justru dimulai dari hal-hal sederhana. Beberapa kali nurani saya basah saat menemukan kegelisahan yang lalu dijemakan dalam tindakan biasa, namun sukses menggugah banyak orang.

Saya suka kisah tentang perempuan Bosnia. Di tengah peperangan, mereka tetap berdandan modis, dengan lisptik merah merona. Di taun 1993, warga Bosnia yang benci perang mengadakan kontes kecantikan. Para gadis-gadis cantik itu berpose di atas panggung , yang terdapat spanduk besar bertuliskan “Don’t let them kill us!” Pesan itu bergema ke mana-mana. Grup musik U2 lalu membuat lagu berjudul Miss Sarajevo, yang liriknya adalah:


Is there a time for kohl and lipstick
Is there a tme for cutting hair
Is there a time for high street shopping
To find the right dress to wear


Apakah di sana ada waktu untuk maskara dan gincu
Apakah di sana ada waktu untuk memotong rambut
Apakah di sana ada waktu untuk belanja
Untuk mendapatkan busana yang pantas disandang

Bisa Anda bayangkan, sebuah lomba miss kecantikan yang diselenggarakan di tengah desingan peluru. Para perempuan Bosnia itu hendak menyatakan sikap benci pada perang yang berdampak luas. Siapa sangka, revolusi bisa dipicu oleh lipstick merah dari perempuan seksi.

Hal yang sama juga terjadi di Afghanistan ketika protes disuarakan melalui kontes Afghan Stars, lalu aksi protes warga Estonia atas rezim otoriter yang dilaukan dengan cara bernanyi, hingga memicu The Singing Revolution.

Yang membuat saya terhenyak adalah revolusi bisa dimulai dari hal-hal yang mungin dianggap sederhana oleh banyak orang. Di Sudan, Lubna Hussein divonis bersalah dan akan diberi hukuman cambuk hanya karena mengenakan celana panjang, yang dianggap tidak sopan.

Ia melalui proses di pengadilan, lalu menjelaskan argumentasinya tentang perempuan. Ia membaca banyak kitab, dan mengejutkan orang-orang dengan pertanyaan kritis, yang lalu mengubah pandangan orang-orang.



Hal-hal besar sering kali dimulai dari hal-hal kecil, hal biasa, hal terabaikan. Yang barangkali bisa dilakukan adalah senantiasa konsisten, tetap mengikuti jalan nurani dan kebenaran, serta menyatakan sikap di tengah ketidakadilan.

Bagi saya, ini bukan hal yang mudah, sebab seringkali pernyataan sikap bisa menggerahkan orang lain, yang lalu membuat hidup jadi tak nyaman. Di buku ini, saya belajar pada Muhammad Ali. Di puncak kariernya, ia justru menolak wajib militer. Kalimatnya menghujam, “Mengapa pula saya disuruh memerangi Vietcong, sementara mereka tidak pernah mengatakan saya negro?”

Pernyataan itu membuat Ali disekap, dicabut gelarnya, dilarang mengikuti kejuaraan dunia. Selama tiga tahun, ia kehilangan hak untuk bertinju, justru di tengah-tengah masa keemasannya. Aktor Richard Harris mengatakan,” Setiap petinju selalu beusaha dan bersedia menjual jiwanya demi gelar sebagai juara tinju. Apa yang Ali lakukan? Dia justru menemukan kembali jiwanya dengan melepaskan gelar juara dunia itu.”

Kisah lain yang juga mengejutkan adalah perempuan di Sudan Selatan. Perempuan bernama Samira Ahmed gelisah dengan perang saudara yang tak kunjung usai. Dua wilayah, yakni utara dan selatan, dibakar dendam berkepanjangan hingga memicu perang selama 20 tahun.

Samira ingin menghentikan perang. Dia muak dengan perang yang tak kunjung usai. Dia lalu mengorganisir perempuan di dua wilayah itu untuk bersatu. Mereka lalu membuat gebrakan melalui penolakan hubungan seks.

Aksi itu memang menggemparkan. Aksi itu adalah ‘penelantaran seksial’ (sexual abandoning) yang lalu membuat para lelaki sejenak berhenti berperang lalu memikirkan hal-hal lain yang lebih penting. “Perempuan-perempuan itu sama berpikir bahwa dengan menolak hubungan seks dengan suami, mereka bisa menekan lelaki untuk mengusahakan perdamaian. Taktik itu berhasil,” kata Samira.

Di tahun 2009, taktik ini juga dilakukan oleh para perempuan Kenya. Aksi mogok seks itu bisa memaksa presiden dan perdana menteri untuk ikut berunding dengan para perempuan itu.

***

SAYA sungguh terpikat dengan begitu banyaknya contoh-contoh dalam buku ini yang membuka mata kita semua. Saya teringat pada buku James Scott yang berjudul Weapon of the Weak. Bahwa perlawanan orang lemah bisa diartikulasikan dnegan banyak cara.

Mereka menyalurkannya melalui simbol, gosip, hingga pesan yang lalu ditangkap oleh banyak kalangan. Perlawanan itu melalui cara-cara kultural yang pesannya lebih cepat tersebar dan memicu gerakan yang lebih besar.

Kita mungkin bisa mengembangkan buku ini untuk konteks Indonesia. Ada banyak orang hebat di sekitar kita yang perlu digali ksiahnya demi menjadi nutrisi bagi anak-anak muda untuk melakukan perubahan.

Tahun lalu saya bertemu Maria Loretha, atau kerap dipanggil Mama Tata, yang menginspirasi warga untuk menanam sorgum di Pulau Adonara. Dengan cara itu, ia mengajarkan kemandirian pangan, serta sikap tidak tergantung pada pasokan beras, yang diimpor dari Jawa.

Saya juga pernah bertemu dengan Ismail, anak muda di Berau yang mendirikan bank ikan lalu mengajak para nelayan berpartisipasi, serta tidak tergantung pada lintah darat.

Di sekitar kita ada banyak para champion atau juara yang bekerja dalam diam, menggugah kesadaran, lalu melakukan hal-hal luar biasa. Kita hanya butuh menajamkan semua rasa demi mengenali orang-orang hebat di sekitar kita.

Mereka tak suka dengan publisitas. Yang mereka kejar bukanlah kemasyhuran atau popularitas, lalu memajang wajah di berbagai baliho di banyak sudut kota. Orang-orang ini melakukan banyak hal-hal besar dengan langkah-langkah kecil demi membumikan pohon-pohon gagasannya agar tumbuh kokoh dan menginspirasi orang banyak.

Orang-orang ini bekerja untuk keabadian, bekerja untuk sesuatu yang jauh lebih bermakna. Meskipun nama mereka tak dicatat sejarah, tapi nama mereka tergurat di hati banyak orang di sekitarnya.

Yang pasti, di buku setebal 262 halaman ini, saya menemukan banyak pelajaran berharga. Seusai membacanya, tanpa sadar saya mendendangkan lagu Bob Marley:

Emancipate yourself from mental slavery,
None but ourselves can free our minds.
Have no fear for atomic energy,
'Cause none of them can stop the time.
How long shall they kill our prophets,
While we stand aside and look?
Some say it's just a part of it,
We've got to fulfill the book.

Won't you help to sing
These songs of freedom?
'Cause all I ever have,
Redemption songs,
Redemption songs,
Redemption songs.(*)


BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar