suatu hari di desa pesisir di Pulau Derawan, Kaltim |
BANYAK orang kota mengklaim sangat
mengenali desa, serta punya idealisme untuk membangunnya. Tak disangka, yang
terjadi adalah meletakkan desa dalam kerangka berpikir sendiri, yang justru
berjarak dengan realitas lapangan. Yang terjadi, berbagai skema proyek, yang
disebut-sebut untuk menyejahterakan desa, menjadi lahan basah untuk
memperbanyak pundi-pundi keuangan individu, lembaga riset, ataupun pusat kajian
di berbagai kota.
Ah, saya tiba-tiba saja mengingat Tania Li
dan Robert Chambers, yang banyak menelanjangi cara berpikir yang bias kota.
***
DI suatu senja, saya menemui bapak itu di
Tanjung Batu, Berau, Kalimantan Timur. Dia nampak kebingungan ketika harus
menggunakan komputer di kantor kepala kampung, yang di wilayah lain disebut
desa. Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Tabel-tabel yang harus diisi cukup
membingungkannya.
Bapak itu adalah sekretaris kampung. Dia
diberi amanah untuk menyusun rencana pembangunan bagi kampung itu. Bagi para
pemimpin di kota, pihak kampung wajib menyusun rencana pembangunan. Melalui
rencana, arah dan kebijakan kampung itu bisa dibuat, sebagai pedoman bagi
seluruh aparat pemerintah kampung. Warga pun “dipaksa” menyesuaikan diri dengan
desain tersebut.
Bagi pihak kampung, rencana pembangunan
itu amat sulit dibuat. Jangankan membuat dokumen berisikan rencana, membuat
tulisan di layar komputer pun mereka masih kebingungan. Rencana pembangunan itu
serupa pola-pola rumit yang susah dimengerti, namun terpaksa harus dimengerti, demi menentukan nasib kampung itu
di masa depan.
Yang sedang saya saksikan ini adalah satu
jurang epistemologis yang cukup lebar. Bagi orang kota, dokumen perencanaan itu
harus dibuat sebagai blue print
pembangunan. Dokumen itu mewakili rencana yang akan mengubah nasib ratusan
warga kampung. Tapi bagi orang kampung, rencana itu terlampau kompleks untuk
dipahami. Rencana itu disusun oleh orang pintar, yang hanya bisa dipahami oleh
orang pintar pula.
Peneliti Tania Li dalam buku Will to Improve
(2012) menyebut rencana-rencana pembangunan itu sebagai teknikalisasi
permasalahan, yakni serangkaian praktik yang menampilkan urusan yang hendak
diatur sebagai ranah yang dimengerti, yang tegas cakupannya, yang jelas
ciri-cirinya, jelas tepiannya, serta mudah diamati unsur-unsur di dalamnya,
lalu mengumpulkan informasi mengenai teknik untuk menggerakkan kekuatan serta
unsur yang ditampilkan tadi.
Saya mengingat pendapat Tania Li saat
menyaksikan berbagai rencana dokumen pembangunan. Tampaknya, berbagai dokumen
itu ibarat penjara bagi warga kampung. Tiba-tiba saja mereka ‘dipaksa’
mengikuti alur berpikir orang kota, yang melihat kampung laksana istana
pasir yang mudah dibentuk dan diarahkan. Padahal, bagi warga setempat, kampung
adalah semesta yang memayungi semua aktivitas dan menjadi penanda keberadaan,
yang merangkum sejarah saat wilayah itu dibentuk, saat warganya datang dan
pergi, saat kelahiran dan kematian datang silih-berganti, saat sejarah menjadi
saksi dari setiap tragedi dan peristiwa yang memilukan hingga membahagiakan.
suatu hari di salah satu desa di Mamasa, Sulawesi Barat |
Melalui teknikalisasi permasalahan,
kampung menjadi satu pengertian yang mudah dimengerti dan dikenali
batas-batasnya. Yang bisa mengenali itu adalah para ahli yang tiba-tiba saja
melihat kampung serupa maket perumahan, yang jalan-jalannya diketahui melalui
lambang-lambang dan angka-angka. Melalui teknikaslisasi, orang-orang pintar
dari kota datang ke kampung laksana sinterklas yang hendak mengajari warga
kampung untuk mengenali wilayahnya.
Pengetahuan orang kampung menjadi tak
penting. Mereka dianggap tidak mengenali wilayahnya. Mereka diwajibkan mengikuti
pola dan alur yang dibuat oleh orang-orang kota, demi untuk menjelaskan
wilayahnya sendiri. Ketika mereka tidak mengisi data potensi wilayah
berdasarkan teknikalisasi permasalahan, sebagaimana persepsi orang kota, maka
mereka dianggap tidak mengenali wilayahnya. Dengan cara itu, mereka tidak bisa
mendapatkan dana dari pemerintah pusat.
Birokrasi kita disusun dengan hierarki,
dari pusat hingga kampung. Sepanjang hierarki itu, dana mengucur hingga ke titik
terjauh. Melalui teknikalisasi, penyaluran dana desa menjadi rumit. Hanya yang
memenuhi syarat, ataupun bisa mengenali wilayahnya, lalu bisa menyusun rencana
matang, yang akan mendapatkan kucuran dana. Ketika tidak menyusun tertib
administrasi yang rapi, maka pihak desa tak dianggap cakap untuk mengelola
anggaran.
Pertanyaan yang
sering mencuat, ketika gagal menyusun perencanaan yang matang, apakah warga
desa dianggap tidak mengenali wilayahnya sendiri?
Saya teringat Robert Chambers, seorang
maha guru bagi para pelaku perubahan sosial, yang gandrung dengan pendekatan
partisipatif. Kata Robert Chambers dalam buku Whose Reality Counts: Putting the Last First (1997), desa telah menjadi
korban penjungkir-balikan (putting the
last first) dari pihak luar desa (outsiders)
yang mengaku serba tahu tentang desa. Mereka, para outsiders ini, sering merasa lebih tahu dan merekayasa desa.
Pengetahuan warga desa lalu diabaikan dan tak pernah mendapat porsi yang
semestinya, yakni sebagai mercusuar bagi masyarakat untuk melangkah maju.
Padahal, pengetahuan orang-orang kota itu
justru memiliki banyak bias, di antaranya adalah (1) bias ruang, (2) bias
proyek, (3) bias personal, (4) bias musim kering, (5) bias diplomatis, dan (6)
bias profesional.
Menarik untuk ditelaah tentang bias ruang,
bias proyek, dan bias personal. Jika dilihat secara spasial, kota lebih
diuntungkan oleh pembangunan. Paradigma pembangunan selalu menekankan pada
aspek fisik dan pemenuhan kebutuhan masyarakat kota. Infrastruktur
diprioritaskan hanya di level kota. Program pembangunan pun hanya diarahkan ke
wilayah itu. Ini juga ditambah fakta bahwa cara-cara berpikir dalam koridor
ekonomi makro justru lebih permisif pada pembangunan manufaktur dan sektor
industri demi mempercepat laju pembangunan. Ini sama dengan memberi ruang yang
amat besar bagi kemajuan kota, dan semakin dihilangkannya desa.
Selanjutnya, bias proyek. Di banyak
tempat, pembangunan hanya dilihat sebagai proyek yang menyerap anggaran. Ketika
anggaran terserap, maka pembangunan dianggap berhasil. Padahal, di banyak
tempat, cara berpikir ini justru tidak memperhatikan aspek kontinutas atau
sustainabilitas dari satu kegiatan. Ketika satu proyek dibangun, para perencana
sering abai untuk melihat seberapa bermanfaatkah apa yang telah dibangun
tersebut. Ataukah proyek itu hanya sekadar menghabiskan anggaran, tanpa melihat
seberapa bergunakah proyek tersebut?
Bias dalam arti menguntungkan kota ini
seringkali tidak dipermasalahkan dalam analisis normatif yang seolah lupa bahwa
berbagai teori modernisasi dan teori pembangunan justru memiliki visi politik
tertentu. Teori pembangunan itu memang diciptakan untuk mendorong ekonomi untuk
bergerak ke kota-kota.
Sebagai contoh, penerapan model
pertumbuhan ekonomi yang dirumuskan Harrod-Domar adalah memosisikan kota
sebagai pusat pertumbuhan. Demikian pula rumusan Arthur Lewis (1955) yang
menciptakan sektor-sektor modern. Model pembangunan ini dengan mudahnya
diterima oleh semua negara dan perencana pembangunan di negara berkembang sebab
simpul birokrasi pemerintah yang memegang kendali utama proses pembangunan
terkonsentrasi di daerah perkotaan. Inilah yang disebut Robert Chambers sebagai
bias personal dan bias profesional.
***
Belajar pada Robert Chambers, pembangunan
desa seyogyanya dilihat sebagai proses aktif yang melibatkan warga desa dalam
proses perencanaan hingga proses eksekusinya. Beberapa prinsip penting yang
bisa menjadi pejaran bersama adalah pinsip dialogis, pencerahan, serta
mendengarkan berbagai aspirasi. Pendekatan yang kemudian berkembang dan kian
populer adalah pendekatan partisipatif yang memberikan kesempatan bagi warga
desa untuk menyelesaikan sendiri permasalahan di daerahnya.
Pada titik tertentu, Chambers terlampau
ideal. Pendekatan partisipatif itu telah lama menjadi jargon berbagai lembaga.
Tak banyak yang menyadari bahwa di balik kata itu terdapat komitmen serta nilai
yang memosisikan semua warga desa sebagai subyek uttama. Tapi mungkinkah mereka
menjadi subyek ketika mereka diharuskan disiplin dengan berbagai aturan serta
tata cara administrasi yang kembali memosisikan mereka sebagai obyek dari
kebijakan?
Entahlah. Mungkin saya sedang galau. Saya
membayangkan wajah Tania Li dan Robert Chambers yang sedang muram saat
menyaksikan berbagai lembaga datang ke desa dan membawa berbagai pendekatan
baru, lau mengabaikan khasanah dan kekayaan intelektual yang harusnya diserap
di level desa.
Bogor, 6 Februari 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar