di balik senja yang indah di Buton, terdapat tragedi kelam di masa silam |
BAGI banyak orang, tanggal 30 September
tak berbeda dengan tanggal lainnya. Hari-hari berjalan sebagaimana biasa. Namun
bagi sebagian orang, khususnya bagi mereka yang pernah dilekatkan label
komunis, tanggal itu menyisakan trauma yang dalam. Inilah kisah tentang mereka
yang dihantui tragedi masa silam. Ini cerita tentang mereka yang masih
mengalami trauma masa silam, dan merahasiakan identitasnya selama sekian lama.
Ini kisah tentang mereka yang tinggal jauh di pulau kecil, pulau yang jauh dari
pertarungan untuk merebut kuasa.
***
PADA mulanya, perempuan tua itu sangat
ceria ketika berdiskusi. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Ia sangat ramah
ketika mengetahui bahwa saya masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Beberapa
hari lalu, di kota Baubau, yang terletak di Pulau Buton, kami bercerita banyak
hal tentang keluarga. Saat tanpa sengaja, saya menyinggung tentang peristiwa 30
September yang kemudian menyebabkan stigma komunis dilekatkan ke banyak orang,
ia langsung terdiam. Tanpa saya duga, ia lalu menangis tersedu-sedu.
Saat itu saya merasa bersalah. Saya hanya
bisa diam saat melihatnya menangis. Usai menangis, ia terdiam agak lama. Ia
menatap kosong ke depan selama beberapa saat. Ia tak sanggup untuk bercerita,
lalu meminta izin untuk mengakhiri pembicaraan. Selama beberapa hari, saya
berusaha untuk mendapatkan cerita dari perempuan tua itu. Sayangnya, ia tak
kuasa untuk bercerita. Ia terbawa oleh satu emosi atas sesuatu yang lama
dipendamnya.
Suatu hari, ia memanggil saya kemudian
bercerita banyak hal. Ia berkisah tentag suaminya yang terbunuh karena dianggap
sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia bercerita tentang kesedihannya selama membesarkan anak-anaknya yang
kemudian juga dituduh komunis. Di akhir diskusi, ia lalu menitipkan beberapa
pertanyaan, “Mengapa negara harus
menghilangkan hak hidup jutaan orang demi menyatakan bahwa dirinya benar?
Bisakah kita percaya pada satu sistem yang telah menghilangkan hak hidup dan
hak bekerja bagi jutaan orang hanya karena mereka dikaitkan dengan satu
organisasi?
Pertanyaan itu menohok pikiran saya.
Ternyata, di balik keindahan hamparan putih dan nyiur melambai, saya menemukan
kisah-kisah sedih yang lama disembunyikan. Di balik keindahan laut dan semesta
yang serupa surga di muka bumi, terdapat kisah kelam tentang tragedi di masa
silam, yang kemudian menjelma menjadi trauma dan menikam-nikam pikiran di masa
kini.
Perkenalan dengan perempuan tua itu
menjadi pintu bagi saya untuk berkenalan dengan mereka yang pernah dituduh
komunis. Pada jarak yang amat jauh dari Jakarta, peristiwa 30 September pernah
menghantam wilayah ini. Pada tahun 1969, sebanyak 35 orang pejabat daerah yang
ditahan atas tuduhan komunis. Bahkan, Bupati Buton tewas di ruang tahanan atas
tuduhan komunis. Banyak di antara korban yang kemudian dipindahkan ke tahanan
Moncongloe di Makassar. Ada pula yang kemudian dijadikan pekerja yang tak
pernah digaji demi membangun banyak jalan dan jembatan di Sulawesi Tenggara.
Puluhan tahun setelah tragedi tersebut,
banyak di antara korban yang masih memendam trauma, sebagaimana perempuan tua yang
saya temui. Mereka lalu menyembunyikan masa silamnya, lalu merahasiakannya pada
anak-anak dan generasi yang lebih muda. Mengapa? “Sebab saya tak ingin anak-anak saya bernasib sebagaimana saya. Saya
ingin mereka menjalani kehidupan yang normal, tanpa harus disebut pengkhianat
negara, tanpa harus kehilangan pekerjaan hanya karena dituduh komunis” kata
perempuan tua itu.
Penuturan perempuan itu membuat saya
trenyuh. Bagi kalangan muda, sebagaimana saya, ingatan tentang tragedi 30
September adalah ingatan tentang pengkhianatan sebuah partai politik. Saya
membayangkan tubuh seorang perwira tinggi yang diseret-seret dan dibunuh. Saya
mengingat segala hal yang ditampilkan dalam film ‘Pengkhianatan G.30.S/PKI’ yang
menampilkan adegan perwira tinggi yang dibunuh sekumpulan manusia-manusia tak
ber-Tuhan.
Akan tetapi, pengalaman bertemu
korban-korban yang dituduh komunis memuat saya selalu dikepung berbagai tanda tanya. Apalagi
ketika membaca buku karya Robert Cribb yang menyebutkan bahwa kematian enam
perwira tinggi militer telah menjadi pengabsah atas tindakan pembunuhan pada
jutaan warga biasa yang justru tidak tahu menahu tentang kudeta politik di
Jakarta.
Tragedi ini membuat saya merenung. Saya
tak hanya memikirkan negara sebagai sistem politik yang sering memangsa
warganya. Saya juga memikirkan keangkuhan yang dipelihara dan dibesarkan dalam
diri kita. Atas nama kebenaran, kita ingin agar orang lain berpikir sama dengan
kita. Ketika yang lain tidak berpikir sama, kita tiba-tiba dihinggapi rasa
gelisah. Kita kehilangan cara untuk mendialogkan kebenaran itu. Kita ingin
menjadi algojo atas orang lain demi untuk menegaskan kebenaran yang kita anut. Namun,
bisakah kebenaran ditegakkan dengan kekerasan? Bagaimanakah halnya jika mereka
yang menjadi korban adalah keluarga kita yang justru tak tahu menahu atas
kejadian itu?
Inspirasi Korban
Pertemuan dengan mereka yang dituduh
komunis di Pulau Buton itu mengajarkan saya banyak hal. Bahwa di tengah
kesulitan apapun, sebuah harapan pasti akan selalu datang. Mereka bisa bertahan
hidup di tengah sinisme serta tuduhan yang bertubi-tubi. Mereka percaya pada
hukum keseimbangan bahwa ketika kita melakukan tindakan negatif yang merobek
nurani kemanusiaan, maka kita pasti akan menuai dampak yang akan menghantam
diri kita.
perahu nelayan Buton |
Saya menemukan embun-embun inspirasi
bersama mereka. Korban-korban yang dituduh komunis itu bercerita tentang nasib
militer yang menyiksa keluarga mereka. Ada yang meninggal karena tenggelam. Ada
pula yang meninggal karena trauma saat membayangkan mereka yang tewas. Mereka
bisa mengambil hikmah dari kisah ini bahwa mereka yang menyiksa dan menyakiti
sesamanya, pasti akan menuai kehidupan yang tidak bahagia. Mereka menunjukan
pada saya bahwa seseorang yang mendapat kuasa dengan cara menginjak sesamanya,
akan memanen bala atau bencana bagi diri sendiri dan keluarga di masa
mendatang.
Di pulau itu, saya juga menemui cerita
tentang anak-anak dari mereka yang dituduh komunis. Meskipun mereka awalnya
kesulitan mendapatkan pekerjaan, namun mereka akhirnya sukses di berbagai
lapangan kehidupan. Orang-orang mendapatkan pelajaran berharga bahwa manusia
bisa menyakiti dan menzalimi oang lain, namun mereka yang disakiti itu tak
selamanya diam dan pasrah.
Mereka yang disakiti itu bisa bangkit,
memaksimalkan potensi, dan membuka kunci-kunci kesuksesan di masa depan.
Perempuan tua yang pernah dituduh komunis itu mengajarkan banyak hal. Ia tak
ingin meratapi kisah sedih di masa silam. Ketimbang meratapi kegelapan yang
terjadi, jauh lebih baik jika menyalakan lilin di masa kini demi menerangi masa
depan. Ia bangkit dan bergegas hingga kesemua anaknya sukses di bidang
masing-masing.
Saya mengagumi kekuatan hati dan kemampuan
bertahan itu. Pada akhirnya, saya disadarkan berulang-ulang bahwa tujuan
bernegara adalah untuk melindungi nurani kemanusiaan dan mengasihi semua orang.
Sayang sekali, tujuan ini sering dirampok oleh sejumlah orang yang mengklaim
dirinya sedang menegakkan amanat rakyat, meskipun dengan tangan berlumuran
darah sesamanya.(*)
Baubau, 30 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar