DUA bulan terakhir ini, aku menjadi
penggemar buku-buku bertemakan marketing (pemasaran). Pada buku-buku marketing,
aku tidak saja menemukan style
kepenulisan yang langsung pada sasaran dan sejernih mungkin memberikan
pemahaman, tapi juga menemukan berbagai seni untuk menjual sesuatu. Di akhir
bacaan itu, kutemukan beberapa rahasia ilmu pemasaran, yang sesungguhnya telah
lama ditemukan para antropolog. Apakah gerangan?
***
PADA mulanya, aku iseng membaca buku Wow Selling yang ditulis Hermawan
Kertajaya. Ternyata, para pelaku pemasaran menulis dengan gaya bahasa yang
mudah dipahami, tidak jlimet, penuh dengan contoh dan kiat-kiat praktis, serta
mudah dipraktikkan. Para pemasar adalah penulis hebat yang membangun argumentasi
dari bukti konkrit, yang digali dari fenomena keseharian.
Selanjutnya, aku ketagihan membaca
buku-buku yang ditulis Hermawan. Kubaca buku Wow Selling, Building Wow Indonesia Tourism, Marketing 3.0, Wow
Marketing, hingga yang terbaru adalah Indonesia
Wow. Kesemua buku ini berlandaskan pada pendekatan Marketing 3.0 yang
dikembangkan Hermawan Kertajaya yang menekankan pada upaya untuk membangun
hubungan sedekat mungkin dengan para pelanggan.
Hermawan Kertajaya adalah salah seorang
guru marketing yang karya-karyanya diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Bukunya
Marketing 3.0 ditulis bersama Philip Kottler yang dikenal sebagai salah satu
guru marketung dunia telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bisa
dibayangkan seberara kuatnya pengaruh sosok ini pada berbagai lembaga. Ia
disebut sebagai “One of 50 Gurus Who
Shaped the Future of Marketing” bersama beberapa ikon marketing dunia.
Yang kulihat dari buku-buku Hermawan
Kertajaya adalah argumentasi yang sangat kuat tentang karakter dari para
konsumen yang cenderung terus berubah. Pendekatannya selaras dengan strategi
perang dikemukakan Sun Tzu, “Kenali dirimu, dan kenali musuhmu, maka kamu akan
memenangkan pertarungan.”
Hanya saja, dalam pendekatan Hermawan,
musuh di sini diubah menjadi sahabat dekat yang harus dikenali sisi
terdalamnya. Makanya, ia menekankan pendekatan yang humanis dan bersahabat.
Seorang pemasar yang baik adalah seorang manusia yang baik, yang berusaha
menjalin relasi dan pertemanan sebanyak-banyaknya, serta bersedia untuk memberikan
informasi yang mencerahkan.
Seorang pemasar yang baik tidak seperti
‘pedagang obat’ yang memuji-muji dan membanggakan barang jualannya. Pemasar
yang baik adalah sahabat semua orang yang menjelaskan kelebihan dan kekurangan
produk secara apa adanya. Dengan prinsip kejujuran serta niat mengedukasi orang
lain, maka seseorang bisa menjadi pemasar top. Sebab orang lain akan merasa
terbantu dnegan kehadirannya. Prinsip humanis inilah yang selalu ditekankan
Hermawan.
Yang kusuka dari buku-buku karya Hermawan
adalah kemampuan untuk selalu belajar dari berbagai cerita sukses yang lalu
dirangkai menjadi satu. Pakar marketing ini selalu bisa menemukan pembelajaran
dan hikmah, lalu menarik hal-hal yang sifatnya general (umum) untuk menjelaskan
berbagai fenomena. Kalau ditemuka fenomena berbeda, maka penjelasan baru harus
segera di temukan untuk memahami realitas yang terus bergerak.
Selain buku karya Hermawan, aku juga mulai
mengoleksi buku-buku yang ditulis Rhenald Kasali. Mulanya, aku tertarik membaca
buku Self Driving. Yang kurasakan buku ini menekankan pada perlunya mengubah
mindset atau mentalitas seseorang hingga akhirnya menjadi pribadi unggul.
Beberapa buku Rhenald yang kukumpulkan
adalah (1) Cracking Zone, Bagaimana
Memetakan Perubahan Abad 21 dan Keluar dari Comfort Zone, (2) Camera Branding,
Cameragenic vs Auragenic, (3) Cracking Values, (4) Self Driving, menjadi Driver
atau Passenger, (5) Agility, Bukan Singa yang Mengembik. Buku-buku karya
Rhenald selalu menekankan pada studi kasus, yang kemudian dibedah secara
mendalam.
Pada buku Agility, Rhenald membedah rahasia kesuksesan PT Angkasa Pura
melaukan transformasi diri. Di buku itu, kutemukan fakta menarik bahwa
kesuksesan sebuah perusahaan melakukan perubahan selalu ada sejumlah pribadi
hebat yang justru ingin berbuat sesuatu. Pribadi hebat ini tak ingin dikalahkan
oleh keadaan, melainkan mengubah, membentuk, dan menata ulang satu lembaga
hingga iklimnya menjadi lebih baik.
Senada dengan Hermawan, pendekatan Rhenald
dalam memahami satu persoalan adalah menggunakan pendekatan studi kasus dalam
ilmu sosial. Pendekatan ini selalu berpijak pada logika induktif, yakni memulai
dari kenyataan-kenyataan sederhana, demi memahami sesuatu yang lebih besar.
Makanya, dalam buku-buku karya Rhenald, kita tak menemukan berbagai khutbah
atau ajaran yang penuh teori-teori sebagaimana kerap ditemukan di dunia kampus.
Yang kita temukan adalah bagaimana
menyerap inspirasi dan pelajaran dari satu sosok atau satu lembaga yang
melakukan perubahan untuk menata diri. Semakin banyak membaca buku Rhenald,
yang kurasakan adalah untuk mengubah sesuatu, maka dibutuhkan sejumlah individu
yang memiliki visi kuat, serta tahu cara-cara untuk membumikan berbagai gagasan
besar.
Pendekatan Antropologi
DI saat membaca buku-buku marketing, yang
selalu muncul di benakku adalah pendekatan yang diajarkan dalam ilmu
antropologi. Mengapa? Sebab para pemasar berusaha untuk memahami para
konsumennya, memahami minat-minat dan kesukaan atas produk tertentu, serta
mempelajari bagaimana pengalaman konsumen bisa menjadi nilai lebih dari semua
produk yang dijualnya. Lha, ini kan pendekatan antropologis?
Dalam realitas, dua hal ini sering sulit
didamaikan. Para ahli marketing kerap menuding para antropolog sebagai mereka
yang terperangkap pada eksotisme satu komunitas. Seolah para pengkaji budaya
ini hanya bisa menjelaskan masyarakat terasing, dan gagap ketika menjelaskan
masyarakat modern. Demikian pula sebaliknya. Para antropolog akan menuduh para
ahli marketing sebagai barisan mausia pragmatis yang hanya berpikir uang, tanpa
berpikir bagaimana memberdayakan dan menguatkan komunitas.
Dalam dunia penelitian, dua disiplin ini
sejatinya bertemu di satu persimpangan. Dalam ranah antropologi, beberapa rahasia
pemasaran justru menjadi entry point
dalam upaya menjelaskan masyarakat. Seorang antropolog hebat adalah seseorang
yang bisa mengenali banyak sisi dari informannya, memahami peta-peta pemikiran
serta budaya, lalu bisa membangun empati yang kuat dengan para informan
tersebut. Seorang antropolog hebat bisa merekam dinamika manusia, memahami
keinginan terdalam, serta bisa memahami situasi dan konteks sosial di mana
seseorang tinggal.
Dalam berbagai kajian budaya, pengetahuan
atas informan dan masyarakat ditemukan melalui riset-riset etnografis, di mana
seorang peneliti menjadi bagian dari masyarakat yang ditelitinya. Pendekatannya
adalah melakukan pengamatan (observation), serta melakukan wawancara mendalam
(depth interview). Dengan cara melakukan pencatatan secara rapi, seorang
antropolog memiliki banyak bahan untuk dianalisis, serta ditemukan pola-pola
unik atas amatan lapangan.
Seorang antropolog akan berusaha sedekat
mungkin dengan subyek yang hendak dipahaminya. Mustahil memahami seseorang jika
tak ada kedekatan yang dibangun, mustahil membangun kedekatan jika tak ada
tema-tema yang sama serta topik-topik tertentu yang hendak dibahas. Mustahil
pula memahami kebudayaan seseorang jika hanya mengenalinya sejenak. Dibutuhkan
pengetahuan dan pengalaman mendalam untuk tahu banyak hal tentang seseorang
ataupun satu masyarakat.
Dalam kadar tertentu, para ahli marketing
juga melakukan hal ini. Jika antropolog menyebut masyarakat yang ditelitinya
dengan istilah subyek, informan, ataupun responden, maka para ahli marketing
menyebutnya sebagai konsumen, client, ataupun pasar. Tapi fokusnya sama yakni
tentang subyek atau individu.
Barangkali, yang membedakan keduanya
adalah aspek pragmatis. Para antropolog melakukan riset etnografis demi
tujuan-tujuan idealisme yakni melindungi, membela, serta memahami semua
informannya. Makanya, di ujung riset antropologis, seringkali mereka menjadi
advokat atau pembela dari setiap komunitas yang didekatinya. Mereka
menginginkan ada dialog yang seimbang, di mana tak ada komunitas yang
dimarginalkan oleh keadaan. Semuanya berada dalam posisi yang sejajar dan
saling menguatkan.Para antropolog berusaha
untuk melindungi, memberikan ruang hidup yang memadai, serta menyerap kearifan
dari siapapun yang ditemuinya.
Sedangkan para ahli marketing berusaha untuk
memahami subyek demi menyasar mereka dengan berbagai produk yang bakal laku
keras. Para pemasar seringkali mengukur keberhasilan dengan cara seberapa
banyak uang yang bisa dipanen. Mereka menilai sukses tidaknya sesuatu dari
seberapa adaptif satu lembaga menyesuaikan diri dnegan perubahan, lalu sukses
menghidupi diri dan orang lain pada setiap periode perubahan. Kriteria keberhasilan
seringkali dilihat dari cashflow keuangan. Itu nampak pada banyak
contoh-contoh.
Akan tetapi, perkembangan terbaru di dunia
marketing membuat pandanganku banyak berubah. Kunci para pemasar hebat bukanlah
pada kemampuan menjual produk sebanyak mungkin, tapi kemampuan untuk menjalin
relasi yang sangat baik dengan semua orang. Materi hanyalah konsekuensi dari
kedekatan dan upaya untuk membangun jejaring sosial secara bermakna. Pada titik
inilah para ahli marketing membutuhkan kajian antropologis.
Harusnya, riset antropologis harusnya bisa
menjadi satu kekuatan dan daya gedor dalam marketing. Sebab pengenalan yang
sangat baik pada seseorang bisa berujung pada disusunnya berbagai strategi
untuk tetap menjaga jejaring yang sudah dibangun. Pendekatan etnografis
harusnya bisa menjadi kekuatan utama untuk memahami dinamika konsumen serta
bagaimana perubahan terus melanda masyarakat. Namun sekali lagi, seyogyanya
pengetahuan itu tidak digunakan untuk menjual, tapi menggiring masyarakat ke
arah kehidupan yang lebih baik.
Yang pasti, buku-buku bertemakan marketing
itu telah meluaskan wawasan, memperkaya pengetahuan tentang betapa banyaknya
hal yang bisa diterapkan pada masyarakat. Aku membayangkan, pengenalan yang
baik atas masyarakat, barangkali bisa menjadi kunci untuk menyalakan kesadaran
di benak setiap masyarakat lalu menginspirasi perubahan besar yang membawa
komunitas itu ke arah yang lebih baik.
Dalam satu bukunya Hermawan Kertajaya
bercerita tentang Joe Girard, lelaki yang menjadi legenda karena menjadi
pemasar mobil paling sukses di Amerika. Ketika dtanya rahasianya, Girard
menjawab singkat, “Saya memahami dengan baik semua orang yang saya kenal. Saya
kenali budaya mereka. Saya tahu apa yang mereka inginkan. Ini yang tidak
diketahui oleh para marketeers lainnya.”
Nah, rahasia itu bisa ditemukan dengan
riset antropologis.
Bogor, 21 Juni 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar