LELAKI
itu bernama Derek Redmon. Di arena Olimpiade, namanya harum semerbak, padahal,
ia bukanlah seorang juara yang memenangkan medali. Di ajang Olimpiade
Barcelona, tahun 1992, ia mengikuti lomba lari 100 meter. Sungguh malang,
kakinya robek sehingga kesakitan dan tak mampu berlari. Tapi ia tetap ngotot
untuk berlari, meskipun dengan risiko menahan segala rasa sakit.
Bahkan
ia juga mengabaikan saran pelatih, yang merupakan ayahnya sendiri, untuk keluar
arena. Baginya, sekali bertanding, ia harus mencapai garis finish. Hasil akhir
tak penting. Yang penting adalah menyelesaikan pertandingan, mengakui kekalahan
itu dengan jujur, lalu mengapresiasi pemenang. Ia memang kalah. Tapi seluruh
publik di stadion yang menyaksikan pertandingan itu serentak berdiri dan
memberikan standing applause.
Ia
memang tak juara, tapi ia telah menunjukkan karakter juara, yakni mereka yang
berusaha menggapai garis akhir, lalu mengucapkan selamat kepada pemenangnya.
Para juara adalah mereka yang mengakui kekalahan lalu menyerap semangat itu di
setiap ladang kehidupan.
Kisah
Derek Redmon ini saya temukan dalam buku bagus bertajuk Self Driving,
Menjadi Driver atau Passenger yang ditulis Prof Rhenald Kasali. Buku ini
ditulis seorang profesor manajemen, namun kalimat-kalimat dalam buku justru
amat sederhana dan memikat. Penulisnya tidak sedang membahas konsep-konsep dan
teori yang sering memusingkan kepala serta berarak dengan realitas. Ia justru
membumikan pengetahuannya dengan mengambil contoh dari kejadian-kejadian
sederhana di sekitar.
Rhenald
Kasali percaya bahwa jika kehidupan adalah arena di mana setiap orang
menumbuhkan karakter, maka selalu saja ada karakter pemenang dan karakter
pecundang. Mereka yang pecundang adalah mereka yang mudah mengeluh, suka
menghambat dan menyalahkan orang lain, lalu memelihara dendam kesumat.
Sementara mereka yang menang adalah mereka yang selalu menginspirasi,
menentukan arah, dan menggerakkan orang lain.
Rhenald
berkisah tentang mereka yang kerap dikalahkan oleh situasi. Misalnya kisah
tentang seorang alumnus program pasca-sarjana Universitas Indonesia (UI) yang
ingin bunuh diri karena gagal mendapatkan pekerjaan. Ketimbang menyalahkan
pemuda itu, Rhenald justru problemnya terletak pada ketidakmampuan untuk
mengenali celah-celah peluang yang bisa melejitkan keunggulan. Pendidikan kita
gagal mengarahkan seseorang untuk menemukan potensi seseorang untuk kemudian
dilejitkan sebagai kekuatan. Pendidikan kita hanya fokus pada bagaimana
seseorang menjadi sukses, yang tolok ukurnya adalah kekayaan semata.
Pendidikan
kita tak banyak menyemai karakter pemenang dalam jiwa anak-anak. Mereka yang
menang bukanlah mereka yang juara, melainkan mereka yang mengakui kekalahan,
namun memiliki ketabahan dan determinasi untuk terus belajar dari setiap
kekalahan itu. Mereka yang menang tak mudah berhenti dan menyalahkan orang
lain. Para pemenang memiliki karakter kuat untuk terus maju demi menggapai visi
kuat yang ditanamkan sejak awal.
Saya
amat menikmati kisah tentang mereka berkarakter kuat dalam buku ini. Mulai dari
Theodore Roosevelt yang sakit-sakitan di masa kecil, namun justru mengasah
dirinya hingga jadi presiden hebat dalam sejarah Amerika. Kisah tentang manusia
bervisi kuat dan berkarakter pemenang yakni Soekarno, Ahmad Dahlan, Sam
Ratulangie, ataupun Gus Dur yang kemudian mengubah sejarah bangsa. Saya juga
terharu membaca cerita tentang Sugeng, si pembuat kaki palsu, serta Sano Ami
yang tak memiliki tangan dan kaki, namun sukses menjadi orang hebat.
Buku
ini membuka mata saya untuk lebih jernih melihat banyak hal menarik di sekitar.
Sejatinya, karakter kuat bisa ditanamkan dan diasah melalui berbagai refleksi
dan pelatihan. Makanya, buku ini harus dilihat sebagai kritik diri yang sangat
bagus agar seseorang memahami posisi berpijaknya, serta tahu apa yang harus
dilakukan untuk mengubah dirinya menjadi seorang pemenang.
Namun,
semuanya berpulang kepada individu. Sebab pengalaman mengajarkan saya bahwa
seringkali orang-orang merasa lebih nyaman berada di comfort zone. Tak banyak
orang yang mau berjibaku untuk memasuki ruang sosial baru, beradaptasi, dan
membuat prestasi. Ketika seseorang merasa cukup dan nyaman, maka jangan
berharap akan ada perubahan. Yang dipikirkan hanyalah kenyamanan dan bagaimana
menjaga status quo.
Terakhir,
saya juga belajar bahwa segala fasilitas dan kemudahan yang dberikan orang tua
tidak selalu menjadi faktor yang akan memenangkan seseorang di lapangan
kehidupan. Justru melalui segala tantangan, rintangan, serta masalah, seseorang
bisa menempa dirinya menjadi lebih kuat. Barangkali, yang lebih penting adalah
orangtua harus menyediakan waktu yang cukup bagi anaknya, menemani pertumbuhan
tunas-tunas karakternya, lalu memberikan pemahaman tentang kehidupan melalui
hal-hal sederhana.
Jika
saja kehidupan ini serupa ladang, maka para pemenang adalah mereka yang
menumbuhkan potensinya, mencari cara agar lingkungannya selalu hijau lestari,
serta selalu meletakkan kebahagiaan diri pada kebahagiaan orang lain. Inilah
karakternya para pemenang sejati.
Bogor, 10 Oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar