patung Kristus di Maumere, Sikka |
SELAMA tiga minggu, saya berkeliling ke
banyak kota dan lokasi. Saya bertemu banyak orang dan komunitas. Saya
menyaksikan pemandangan dan kekhasan dari setiap kota. Saya juga belajar banyak
hal yang tak pernah didapatkan di sekolah formal. Saya akhirnya mengamini
kalimat seorang sahabat, “Someday you will understand that your destination is
the first step of your journey.”
***
HARI itu, sebuah gambar terkirim melalui
whatsapp. Gambar itu berisikan tiket yang telah dibeli untuk bepergian ke Bali,
lalu ke Sikka, di Pulau Flores sana. Pengirimnya adalah admin di kantor
tempat saya bekerja. Hari itu menjadi awal dari perjalanan untuk bertualang ke
empat lokasi. Saya tak membawa apapun, kecuali pakaian di badan.
Di perjalanan, saya kerap merenung, apakah
gerangan yang hendak saya temukan melalui perjalanan ini? Yup, tentu saja, saya
sedang menjalankan tugas kantor. Akan tetapi, ada hal lain yang ingin saya
temukan. Ada semacam kesadaran kuat dalam diri untuk menemukan banyak mutiara
berharga di perjalanan. Namun, apakah mutiara itu akan ditemukan dalam
perjalanan yang serba bergegas?
Mulanya saya ke Sikka. Tadinya saya tak
punya gambaran tentang tempat ini. Saya lebih mengenal nama Maumere, yang
merupakan ibukota Sikka. Pada tahun 1992, warga kampung saya di Pulau Buton
sempat heboh ketika banyak ikan sungai tiba-tiba mati dan terhampar di pinggir
sungai. Radio dan televisi menyiarkan informasi tentang bencana tsunami di
Maumere. Ternyata, ikan mati itu berhubungan dengan tsunami. Di luar itu, saya
tak punya gambaran apapun.
Secara fisik, Maumere serupa kampung
halaman saya. Tanahnya penuh karang dan tandus. Setelah sehari di Maumere, saya
bertemu banyak orang yang lalu mengenalkan saya tentang keajaiban Maumere. Saya
lalu melihat patung Yesus Kristus yang menyimpan magis pada tanah ini. Ternyata
Maumere adalah tanah yang penuh aroma religiusitas. Ada banyak situs religi
serta wisata ziarah yang menjadi tujuan kunjungan wsata di sini. Maumere adalah
tanah yang menyimpan seribu kapel untuk melakukan refleksi dan merenung.
Di sini ada udara spiritualitas yang
aromanya semerbak. Saya tak memaknai spiritualitas sebagai setumpuk aturan dan
disiplin sebagaimana termaktub dalam kitab. Saya memaknainya sebagai gerak
manusia untuk menemukan dirinya demi menggapai kesempurnaan. Spiritualitas
adalah cahaya terang yang muncul di ujung sana, ketika dirimu dicekam kegelapan.
Spiritualitas memandu langkahmu, menentukan arah, agar tidak tersesat.
Spiritualitas ibarat embun yang membasahi jiwa yang serba kering kerontang.
Embun itu ada di Maumere, ada pada makna yang terselip di balik patung Bunda Maria, ataupun patung Kristus.
Seusai Maumere, saya lalu berkunjung ke
Raja Ampat. Kali ini, kearifan itu terletak pada patung-patung dan situs
ziarah. Kali ini, makna itu tersibak di dalam lautan, di tengah karang-karang
indah yang menyimpan ratna mutu manikam. Di Raja Ampat, yang dikepung
pulau-pulau itu, saya menemukan keajaiban bawah laut.
Di dekat Pantai Waisai Torang Cinta (WTC),
seorang nelayan sekaligus peternak kuda laut bercerita tentang betapa pekanya
perasaan kuda laut. Katanya, kuda laut adalah hewan yang amat sensitif. Ia
serupa gadis manis yang harus selalu dirayu agar ceria. Sekali kamu membentak
atau menghardiknya di laut, maka ia akan mengucilkan diri hingga akhirnya tewas
mengapung. “Kamu harus memperlakukannya sebagai sahabat yang harus senantiasa
dihibur. Kamu harus bersenandung ketika melihatnya,” katanya.
Entah, apa maksud nelayan itu bercerita
tentang kuda laut. Akan tetapi, saya tiba-tiba merasakan embun sejuk. Baangkali
kehidupan ini harus selalu dirayakan sebagaimana sikap seorang neyalan ketika
menghadapi kuda laut. Kita harus selalu bahagia, sebab kebahagiaan itu ibarat
asupan energi untuk tumbuh dan bergerak. Tanpa bahaga, semuanya akan terasa
hampa dan menjemukan, hingga akhirnya layu dan susah berkembang.
Raja Ampat adalah bumi yang dihuni manusia
penuh keceriaan. Satu yang selalu saya nikmati dari tanah Papua adalah
banyaknya cerita lucu dari manusia yang berdiam di sana. Hidup bukanlah sesuatu
yang harus dijalani dengan penuh kesedihan. Hidup harus dilihat dengan riang
gembira, dengan penuh prasangka baik pada semua orang di skeitar kita. Sayang,
saya hanya tiga hari di Raja Ampat.
Selanjutnya, saya berpindah ke Seruyan, Kalimantan
Tengah. Di tengah rimba raya Kalimantan, saya mendengar banyak kisah-kisah
mistis di tanah itu. Suasana Seruyan amat kontras dengan daerah Raja Ampat.
Jika Raja Ampat penuh keceriaan, maka di Seruyan, ada aroma mistis serta
ketenangan yang selalu menggedor kesadaran saya tentang pentingnya melebur
dalam semesta persoalan.
Di Seruyan, saya mendengar kisah tentang
perkampungan siluman, keperkasaan orang Dayak, hingga hal-hal gaib yang tak
bisa dijangkau rasio. Tempat ini menjadi oase bagi siapaun untuk membaca
ketenangan dan menemukan keteduhan. Pohon-pohon cemara rindang di Pantai Sungai
Bakau memiliki banyak kisah tentang kehidupan pada setiap lembar daunnya.
Itulah yang harus ditemukan.
Seruyan adalah tempat yang penuh
ketenangan. Saya menemukan kedamaian ketika melihat keceriaan burung walet yang
memenuhi rumah warga. Ternyata, membuka hati demi mendengarkan suara-suara alam
adalah obat mujarab bagi kekerasan hati dan bekunya nurani. Pertama kalinya
saya menemukan bahwa musik terindah di siang hari adalah suara hembusan angin
yang melewati dahan-dahan pepohonan di tepi laut biru. Itu yang temukan di
Seruyan.
Terakhir, saya ke Wakatobi. Di daerah, yang
serupa rumah buat saya itu, saya bertemu banyak sahabat di masa kecil. Di tanah
ini, saya tak cuma melihat lautan biru dan kisah-kisah wabah laut yang
menakjubkan. Saya juga menemukan kehangatan persaudaraan dengan sahabat di masa
kecil, serta interaksi dengan beberapa sahabat baru yang setia kawan dan saling
bantu.
Pantai Sungai Bakau di Seruyan |
Pantai Cemara di Wakatobi |
Wakatobi tak hanya punya bawah laut yang
indah, tapi juga atas bumi yang menawan. Itu hadir pada spirit berkomunitas,
pada budaya Wakatobi yang menekankan pada solidaritas dan saling bantu. Itu
saya rasakan ketika melihat beberapa ibu yang beriringan ketika menjunjung
nampan berisi beras. Kata seorang sahabat, para ibu itu hendak mengantarkan
tanda kasih pada keluarganya yang akan menikah. Beras itu adalah simbol
solidaritas serta hasrat kuat untuk saling menolong. Sungguh mengagumkan!
***
HARI ini, saya kembali ke Bogor. Saya baru
saja mengetuk pintu. Ada suara kecil yang kegirangan dari dalam rumah. Ada
suara kecil yang berteriak “Ayah... Ayah...” Air mata saya jatuh. Ternyata rasa
bahagia itu tak perlu dicari jauh-jauh sampai ke belahan bumi lain. Di dalam
rumah kecil ini, saya memiliki semuanya.
Suara kecil itu adalah alarm yang
mengingatkan saya tentang tanggungjawab serta harapan untuk selalu kuat dalam
menghadapi apapun. Yup, saya memang lelah dan sempat sakit di perjalanan. Namun
suara kecil itu adalah obat yang telah menguatkan kaki untuk selalu berjalan
tegak demi menggapai semua takdir. Suara kecil itu adalah awal sekaligus tujuan
ke mana saya hendak bergerak. Pada akhirnya, seni perjalanan adalah seni penemuan diri, yang ternyata justru terletak pada pijakan awal ketika melangkah.
“Nak, ayahmu pulang. Ayo bermain,” kataku
padanya saat ibunya memutar kunci pintu. Dan keceriaan kami akhirnya bertaut.
Bogor, 5 Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar