TEPAT 22 tahun silam, gelombang tsunami
menerjang Maumere, Sikka. Hari itu, 12 Desember 1992, air laut tumpah ke darat.
Rumah-rumah diterpa badai. Tak jauh dari laut, sebuah patung tetap berdiri
tegak dan memberikan perlindungan bagi warga yang ditimpa musibah. Patung itu
memberikan ketenangan dan keajaiban bagi warga. Hingga kini, patung itu tetap ajaib.
Patung itu adalah patung Kristus Raja.
***
DI dekat laut kota Maumere, Sikka, saya
mengenang tragedi tsunami. Sebelum Aceh diredam tsunami, tanah Maumere lebih
dahulu diterjang. Saya membayangkan lautan yang teduh, tiba-tiba menjadi
beringas. Dewa laut seakan murka dan mengirim bala tentara ke daratan dan
mengamuk lalu menerjang apapun. Kini, keganasan sang dewa masih membekas di
hati warga Maumere.
Maumere adalah ibukota Kabupaten Sikka,
yang diapit Laut Flores dan Laut Sawu. Meskipun kegiatan ekonomi warga
berpangkal pada perkebunan, namun lautan adalah halaman rumah sekaligus pusat
aktivitas. Banyak yang bekerja di sektor kelautan. Posisi kota juga tepat di
tepi lautan. Bisa dibayangkan, tsunami menjadi badai yang membangkitkan
pengalaman traumatik bagi warga kota.
Seorang lelaki bernama Frans mengisahkan
tragedi itu di tepi laut Maumere. Ia Lengannya yang kekar menunjukkan area yang
terkena dampak tsunami. Ia berkisah tentang ratusan rumah yang terkena dampak
tsunami, serta nestapa dan kesedihan yang memenuhi udara kota. Akan tetapi,
saat menunjuk ke area sekitar pelabuhan, ia sempat terdiam. Ia bercerita
tentang sesuatu yang ajaib. Ia menunjuk patung Kristus Raja yang saat itu tetap
berdiri kokoh, di saat semua bangunan di sekitarnya hancur. Mengapa tetap
kokoh?
“Saya tak tahu harus menjelaskan dari
mana. Patung ini jadi saksi atas gempa tektonik dan tsunami. Banyak yang lihat
kalau patung ini tiba-tiba saja merentangkan tangan dan menghalau tsunami.
Andai tak ada berkat dari patung, barangkali hancur semua seisi kota,” katanya
saat mengenang.
Saya merenung. Sejak dulu, saya percaya
bahwa keajaiban bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan nalar. Keajaiban
juga tak sesederhana ketika Aladin mengusap lampu wasiat yang lalu memunculkan
jin sebagai pewujud atas semua keinginan. Keajaiban bisa hadir tatkala kita
mempercayai dan meyakini sesuatu bisa hadir. Di tengah kota ini, keajaiban
pernah hadir dan dikisahkan pada siapaun yang berkunjung.
Saya lalu berkunjung ke patung Kristus
Raja. Patung berwarna keemasan itu terletak di Jalan Mgr Sugiyopranoto, tepat
di depan Pelabuhan L Say. Sepintas, patung ini sama dengan beberapa patung
bernuansa religius yang pernah saya saksikan. Namun di Maumere, patung memiliki
nuansa magis. Di depan patung terdapat altar yang di atasnya terdapat banyak
lilin. Nampaknya, banyak yang beribadah di sekitar patung.
Sebelumnya, saya pernah mengunjungi patung
Bunda Maria di Bukit Nilo. Patung Bunda Maria ini didirikan oleh Biara Karmel
yang selama beberapa waktu telah memukau para peziarah. Umat Katolik di Maumere
percaya bahwa dirikannya patung itu merupakan berkat yang tak terhingga. Di
tengah bebukitan yang dipenuhi pohon-pohon hijau, patung itu menjadi sentrum
dari kegiatan ibadah.
Berbeda dengan patung Bunda Maria di Bukit
Nilo, patung Kristus Raja justru terletak di tengah kota. Patung itu
menghadirkan magis yang lalu menjadi identitas kota, simbol solidaritas serta
simbol pemersatu dari berbagai kelompok. Itu terlihat dari sejarah pendirian
patung tersebut. Patung ini dirikan pada masa pemerintahan Raja Sikka ke-15,
Don Yosephus Ximenas da Silva, pada tahun 1926. Ia merelakan tanahnya untuk
dibangun tempat ziarah. Patung itu lalu dibangun dengan dana yang dihimpun
secara gotong-royong oleh warga Sikka.
Pada masa Perang Dunia ke-2, patung ini
sempat dibombardir oleh tentara sekutu. Ajaibnya, patug ini justru tetap utuh.
Selanjutnya, tentara Jepang lalu menghancurkannya hingga patah dan hancur. Pada
tahun 1989, patung ini kembali dibangun warga, yang diresmikan secara langsung
oleh Paus Yohannes Paulus, ketika memimpin misa agung di Maumere, 11 Oktober
1989 silam.
***
Saya beruntung karena bisa menyaksikan
patung ini. Perjalanan ke Maumere, Sikka, semaki menguatkan kesan saya tentang perjalanan
spiritualitas di kota ini. Patung Kristus Raja melengkapi sejumlah situs religi
di wilayah ini. Yang saya suka dari Sikka adalah banyaknya tempat ziarah
spiritual bagi mereka yang hendak mencari makna di berbagai kota.
Saya memaknai spiritualitas bukanlah dalam
pengertian agama, atau sebagaimana dicatat dalam kitab-kitab suci. Saya
memaknainya sebagai upaya manusia untuk menemukan keping-keping inspirasi, yang
lalu memperkaya batinnya, lalu memunculkan keinginan untuk berbuat yang lebih
baik.
Saya teringat pada sebuah artikel di
majalah asing. Bahwa tujuan wisata dan perjalanan bukanlah sekadar
melihat-lihat dan berfoto selfie. Trend
wisata telah mengalami pergeseran. Banyak di antara wisatawan justru berkelana
untuk menemukan banyak inspirasi yang tak ditemukan di kampung halamannya.
Mereka ingin menemukan diri. Mereka ingin menemukan vitamin bagi jiwa.
Dalam buku Building Wow: Indonesia Tourism and Creative Industry, saya
menemukan banyak argumentasi tentang wisata religi, wisata pedesaan, dan wisata
alam yang justru menjadi primadna di banyak negara. Yang hendak dicari aalah
kedamaian dan penguatan hati agar sesaat setelah berkunjung ke satu tempat,
maka seseorang bisa lebih bersemangat dan menjalan hidup dengan visi baru yang
lebih terarah.
Mereka yang melakukan perjalanan adalah
mereka yang hendak menemukan diri demi memperkaya kehidupannya. Itu terlihat
pada sosok Elizabeth Gilbert yang mengunjungi tiga tempat yakni Italia, India
dan Indonesia demi menemukan inspirasi pada banyak orang baik di berbagai
tempat yang dikunjunginya. Melalui perjalanan dan ziarah, manusia bisa
berrefleksi dan menemukan hikmah di banyak tempat, mengambilnya sebagai energi
bagi pertumbuhan jiwa.
Di mata saya, Sikka serupa oase yang
menjadi tempat untuk mereguk air jernih demi membasahi kerongkongan yang kering
kerontang. Inilah surga makna dan tempat menemukan hikmah bagi mereka yang tak
sekadar bepergian, namun juga memungut helai demi helai makna untuk memperkaya
kehidupan.
“Semoga saja berkah Kristus selalu hadir
di tanah Sikka,” kata Frans. Saya mengiyakan ucapannya. Semoga saja tanah ini
selalu menjadi surga bagi para pejalan di jalan spiritual. Semoga saja tumbuhan
penuh makna tetap rimbun, dan daun-daunnya bisa menjadi cenderamata berharga
bagi siapapun yang datang ke tanah penuh berkah ini. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar