Doraemon, "Soft Power", dan Imajinasi




SETELAH menunggu lama, akhirnya saya bisa menonton film animasi Doraemon berjudul Stand by Me. Kisahnya sederhana, namun membuat saya terharu. Saya bernostalgia pada serial kanak-kanak yang tumbuh bersama jutaan anak di seluruh dunia ini. 

Film ini nampaknya tidak ditujukan untuk kanak-kanak. Buktinya, anak saya hanya terpaku sesaat, lalu setelah itu kembali bermain. Akan tetapi, ada banyak jejak yang membekas di hati ini.

Saya tiba-tiba saja mengingat kekuatan karakter Doraemon yang pernah dinobatkan Majalah Time sebagai Asian Heroes tahun 2002. Saya mengingat kemampuan kisah ini dalam membentuk imajinasi anak-anak Jepang untuk tumbuh sebagai bangsa yang unggul. 

Saya mengingat tulisan akademisi Shiraishi yang mengatakan bahwa kisah Doraemon adalah bagian dari soft power bangsa Jepang yang secara perlahan mencengkeram dunia.

***

PADA mulanya, Doraemon datang ke masa kini. Ia memiliki misi untuk menemani Nobita agar lebih sukses di sekolah. Ia hendak memperbaiki masa kini demi masa depan yang lebih gemilang. Selain itu, ia juga menakut-nakuti Nobita bahwa masa depannya kelam. Ia akan menikahi Jaiko, adik dari Jaian, musuh Nobita.

Nobita digambarkan sebagai seorang pelajar yang pemalas, selalu dikerjai oleh teman-temannya, dimarahi ibunya karena selalu mendapat nilai jelek dan selalu telat sekolah. Doraemon, kucing robot dari masa depan itu, datang membantu Nobita untuk mengatasi berbagai masalah.

Petualangan pun dimulai. Nobita mencoba baling-baling bambu yang bisa membawanya ke mana-mana. Ia memakai Pintu Ke Mana Saja agar tak terlambat ke sekolah. Ia juga meminta Doraemon mengeluarkan banyak alat dari kantung ajaibnya. 

Di situlah letak masalahnya. Ada banyak kelucuan serta skenario yang tak berjalan lancar. Atas semua kekonyolan itu, Nobita perlahan-lahan menemukan tekad untuk menjadi lebih baik.

Kisah Stand by Me ini disutradarai oleh Takashi Yamazaki dan Ryuichi. Mereka mengadaptasi serial yang dibuat oleh komikus terkenal, yakni Fujiko Fujio. Dari sisi kisah, film ini dibuat lebih dewasa. Beberapa adegan justru menampilkan sisi humanis, yang justru ditujukan untuk penonton dewasa.

Saya menduga, film ini ditujukan untuk para penggemar Doraemon yang sudah mulai dewasa. Film ini menjadi oase untuk bernostalgia sekaligus kembali merasakan indahnya masa kecil, ketika imajinasi bisa dikerek tinggi-tinggi. Film ini seakan memanggil para penggemar Doraemon untuk kembali mengingat ulang episode-episode mengharukan, lalu kembali menghangatkan cinta pada sosok ini.

Hangatnya cinta itu bisa kembali dirasakan saat menyaksikan beberapa adegan mengharukan ini. Di antaranya adalah saat Nobita bersama Shizuka di gua salju, saat Nobita hendak mengalahkan Jaian, saat ayah Shizuka memberi pesan bijak kepada anaknya tentang sisi humanis Nobita, hingga saat Nobita akhirnya bisa bertemu kembali dengan Doraemon setelah lama terpisah.

Yup, Nobita memang bukan seorang anak yang sempurna dan kuat. Alasan inilah yang menjadikan Doraemon tak begitu disukai anak Amerika, yang gandrung pada superhero. Tapi justru kelemahan Nobita itulah yang membuatnya sangat manusiawi dan digandrungi jutaan anak-anak Asia. 

Ada banyak anak yang merasa senasib dengan Nobita, yang kemudian menjalani hidup sebagai petualangan dan pembelajaran yang amat mengasyikkan.

Doraemon dan sahabat-sahabatnya

Yang bikin saya tersentak adalah imajinasi tentang masa depan yang begitu memukau. Di film ini, ada adegan ketika Nobita di masa depan, menyaksikan gedung-gedung tinggi yang menampilkan nama TOYOTA dan beberapa perusahaan Jepang secara mencolok. 

Ada pula gambaran tentang mobil terbang, monorail tergantung, teknologi canggih pemindai kesehatan, hingga rumah-rumah yang minimalis, hijau, dan tak padat sebagaimana masa kini. Saya suka melihat rumah Shizuka yang lantainya serupa kolam, bisa menimbulkan riak ketika dipijak.

Melihat brand perusahaan Jepang itu, saya teringat pada studi yang dilakukan akademisi Saya Sashaki Shiraishi dalam buku Network Power: Japan and Asia yang diedit oleh Peter J Katzenstein dan Takashi Shiraishi, yang diterbitkan Cornell University tahun 1997. 

Dalam tulisan berjudul Japan’s Soft Power: Doraemon Goes Overseas, Siraishi memaparkan analisis menarik tentang Doraemon sebagai bagian dari soft power Jepang. ia mengutip istilah soft power yang dipopulerkan Joseph Nye untuk menggambarkan bagaimana pengaruh budaya dalam dinamika politik.

Shiraishi menggambarkan persaingan antar negara di era pasca Perang Dunia kedua yang lebih mengarah pada persaingan ekonomi dan bisnis. Doraemon dan juga beberapa tokoh dalam komik seperti Astro Boy dan Dragon Ball telah menjadi bagian dari ikon Jepang saat melakukan penetrasi ke banyak negara. 

Melalui strategi budaya, yang diwakili sosok Doraemon, Jepang lalu membanjiri pasar dunia dengan berbagai produk Jepang. Inilah strategi budaya yang ampuh, efektif, dan terasa menyenangkan, namun secara perlahan diikuti oleh penetrasi ekonomi.

Tak heran kalau saat majalah Time menobatkan Doraemon sebagai Asian Heroes pada tahun 2002, penulis Pico Iyer menyebut karakter ini sebagai ‘pahlawan paling menggemaskan di Asia’. Ia mengingatkan setiap orang bakal terpesona saat menyaksikan kisah hebat ini. Saat hal yang luput dari pandangan Pico Iyer bahwa kisah Doraemon ini lebih dari sekadar kisah.

Kisah ini telah lama tumbuh dan mewarnai masa kanak-kanak yang penuh imajinasi. Kisah ini telah menguatkan karakter Jepang untuk menjadi penguasa di ranah sains dan teknologi. 

Sebagaimana dicatat Shiraishi, perilaku Nobita yang selalu membutuhkan alat itu adalah gambaran dari perilaku sebagai “konsumen kreatif” yang selalu haus dengan inovasi dalam teknologi. Seakan jadi formula baku, Nobita selalu menggunakan alat pemberian Doraemon di luar niatan awalnya.

Percobaan Nobita memang kerap berujung petaka. Tapi, keingintahuan dan rasa optimismenya yang meluap-luap tak akan pernah hilang. Shiraishi menyimpulkan, “Keingintahuan anak-anak, rasa bebas, dan pikiran jernih pada akhirnya akan menghasilkan beragam produk teknologi, sebagaimana alat yang dibawa Doraemon dari masa depan.” 

Inilah kunci serial Doraemon. Inilah kunci dari segala inovasi dan daya cipta serta kreasi anak-anak yang ketika tumbuh besar selalu ingin menggapai hal baru.





Kisah Doraemon mengingatkan saya pada kalimat fisikawan besar Albert Einstein bahwa “Imagination is more important than science.” 

Bahwa imajinasi jauh lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Pantas saja, sekolah-sekolah dasar di luar negeri lebih menekankan pada kegembiraan, mengasah daya cipta lewat permainan, menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya kebebasan dan sikap tanggung jawab. 

Sebab hanya dengan kebebasan, kegembiraan, dan kebahagiaan, imajinasi bisa melesat jauh ke langit tinggi, dan kelak akan memungkinkan lahirnya penemuan hebat dalam sejarah manusia.

Seusai menyaksikan kisah Doraemon dalam Stand by Me, ada banyak tanya yang menghujam dalam benak saya. 

Mengapa industri kreatif bangsa kita tak kunjung bisa menghasilkan satu ikon dan karakter yang menggambarkan karakter kita sebagai bangsa yang perkasa dan punya solidaritas tinggi? Mengapa daya-daya inovasi dan imajinasi anak-anak kita harus terkungkung oleh prasangka negatif dan sikap nyinyir dari banyak orang di sekitar kita?

Biarlah pertanyaan ini dijawab oleh kita, manusia Indonesia. Tak perlu menunggu alat ajaib yang keluar dari perut Doraemon.


Bogor, 23 Desember 2014

BACA JUGA:




1 komentar:

Unknown mengatakan...

nikenwulandarii1010@gmail.com

Posting Komentar