ilustrasi |
BEBERAPA tahun silam, saya ikut menggagas
program Media Literacy (melek media) bagi siswa sekolah menengah di Makassar, Sulawesi
Selatan. Saat itu, saya beranggapan bahwa siswa sekolah menengah paling gampang
dipermainkan berbagai informasi di media sosial. Mereka juga paling gampang
ikut arus wacana, tanpa menyikapinya secara kritis. Mereka beda dengan kalangan
berpendidikan tinggi yang selalu kritis.
Hari ini saya sadar bahwa gagasan itu
keliru besar. Harusnya, pihak yang mendapatkan pelatihan media literacy adalah
para doktor, intelektual, serta warga berpendidikan sarjana ke atas, yang
justru paling mudah dipermainkan oleh arus wacana di media massa. Kelompok ini
tetap saja tak bisa membedakan antara opini dan fakta, tak paham mana hoax dan
bukan, tak tahu mana berita yang valid dan tidak, mana berita yang bersumber
pada verifikasi dan mana yang tidak.
Kaum terdidik kita sedang terjebak pada
arus besar yang tak mau tahu tentang bagaimana seharusnya media kita
memberitakan sesuatu. Kita masih saja berada pada fase di mana media massa
menjadi rasul-rasul baru yang menyebarkan kebenaran. Kita tak melihat secara
kritis, bahwa di balik media, selalu saja ada relasi dengan aspek ekonomi
politik, di mana para pemodal seolah memiliki kuasa untuk melakukan banyak hal.
Kita tak hendak mempertanyakan satu
liputan; media apa yang memuatnya, apakah ada kutipan langsung atau tidak,
apakah ada konfirmasi ataukah tidak, ataukah ada tidaknya bias dalam liputan
itu. Kurangnya pengetahuan tentang standar kerja jurnalistik membuat kita
dengan mudahnya menerima setiap informasi. Pikiran kita serupa tanah liat yang
mudah dibengkokkan oleh semua pemilik media.
Barangkali, semuanya bersumber pada
pilihan-pilihan politik. Pilihan kita telah membingkai pandangan kita tentang
benar – salah. Benar kata Karl Marx bahwa kita selalu melihat apa yang memang
ingin kita lihat. Kita membatasi pandangan hanya pada horizon yang sempit sebab
dihinggapi keangkuhan bahwa tak ada kebenaran di luar diri kita. Kebenaran itu
selalu di pihak kita. Pilihan membaca ataupun menonton media lebih banyak
dipengaruhi oleh apa yang sebelumnya kita yakini.
Saya mencatat tahun 2014 sebagai tahun
yang buruk bagi perkembangan media tanah air. Momen politik, yang ditandai dengan
masuknya para pemilik televisi dalam pusaran politik, telah memaksa media untuk
menjadi ‘anjing herder’ yang setiap saat siap menyerang lawan. Media serupa
prajurit sniper yang bekerja berdasarkan memo atau instruksi dari sang pemilik.
Disiplin verifikasi dalam jurnalistik ditumbangkan oleh kuasa modal.
Yang menyedihkan adalah hilangnya daya
kritis dan daya nalar dari lapis-lapis menengah kita, yang dengan mudahnya
mempercayai apa yang tersaji di hadapan media. Di saat bersamaan, media sosial
menjadi riuh dengan debat kusir tentang satu informasi.
Sekali lagi, kita butuh satu panduan media
literacy. Saatnya menurunkan ilmu-ilmu tentang pinsip kerja media ke dalam
modul-modu sederhana yang bisa dipahami kalangan terdidik. Saatnya mencerahkan
kalangan menengah perkotaan agar tidak mau begitu saja dijewer oleh media
massa. Saya membayangkan ada satu pelatihan yang mengasah kekritisan.
Barangkali, cara kiritis membaca media mesti dilatihkan dengan cara
memperbanyak diskusi tentang agenda setting, obyektivitas, keberimbangan (impartialitas),
hingga framing media.
Saatnya mengampanyekan gerakan kembali ke
nalar. Saatnya memproteksi pikiran kita dari segala angin negatif yang bisa
masuk dari mana saja. Saatnya membuat refleksi diri, tentang apa yang benar dan
tak benar, lalu mengubahnya menjadi visi hidup yang selalu melihat kebaikan di
mana-mana.
Sekali lagi, ini hanya catatan lepas. Jika
ada yang tertarik membuat pelatihan ini, dengan senang hati, saya
siap bergabung.
1 komentar:
Tulisan bg Yusran bagus2. Reflektif, punya prespektif yg berbeda, suka melawan arus dan punya kandungan ilmiah jg. Mengenai permintaannya, akan dpertimbangkan bg. Hehe… Horas!
Posting Komentar