Tahun 2014, Media Jadi Anjing Herder


ilustrasi

BEBERAPA tahun silam, saya ikut menggagas program Media Literacy (melek media) bagi siswa sekolah menengah di Makassar, Sulawesi Selatan. Saat itu, saya beranggapan bahwa siswa sekolah menengah paling gampang dipermainkan berbagai informasi di media sosial. Mereka juga paling gampang ikut arus wacana, tanpa menyikapinya secara kritis. Mereka beda dengan kalangan berpendidikan tinggi yang selalu kritis.

Hari ini saya sadar bahwa gagasan itu keliru besar. Harusnya, pihak yang mendapatkan pelatihan media literacy adalah para doktor, intelektual, serta warga berpendidikan sarjana ke atas, yang justru paling mudah dipermainkan oleh arus wacana di media massa. Kelompok ini tetap saja tak bisa membedakan antara opini dan fakta, tak paham mana hoax dan bukan, tak tahu mana berita yang valid dan tidak, mana berita yang bersumber pada verifikasi dan mana yang tidak.

Kaum terdidik kita sedang terjebak pada arus besar yang tak mau tahu tentang bagaimana seharusnya media kita memberitakan sesuatu. Kita masih saja berada pada fase di mana media massa menjadi rasul-rasul baru yang menyebarkan kebenaran. Kita tak melihat secara kritis, bahwa di balik media, selalu saja ada relasi dengan aspek ekonomi politik, di mana para pemodal seolah memiliki kuasa untuk melakukan banyak hal.

Kita tak hendak mempertanyakan satu liputan; media apa yang memuatnya, apakah ada kutipan langsung atau tidak, apakah ada konfirmasi ataukah tidak, ataukah ada tidaknya bias dalam liputan itu. Kurangnya pengetahuan tentang standar kerja jurnalistik membuat kita dengan mudahnya menerima setiap informasi. Pikiran kita serupa tanah liat yang mudah dibengkokkan oleh semua pemilik media.

Barangkali, semuanya bersumber pada pilihan-pilihan politik. Pilihan kita telah membingkai pandangan kita tentang benar – salah. Benar kata Karl Marx bahwa kita selalu melihat apa yang memang ingin kita lihat. Kita membatasi pandangan hanya pada horizon yang sempit sebab dihinggapi keangkuhan bahwa tak ada kebenaran di luar diri kita. Kebenaran itu selalu di pihak kita. Pilihan membaca ataupun menonton media lebih banyak dipengaruhi oleh apa yang sebelumnya kita yakini.

Saya mencatat tahun 2014 sebagai tahun yang buruk bagi perkembangan media tanah air. Momen politik, yang ditandai dengan masuknya para pemilik televisi dalam pusaran politik, telah memaksa media untuk menjadi ‘anjing herder’ yang setiap saat siap menyerang lawan. Media serupa prajurit sniper yang bekerja berdasarkan memo atau instruksi dari sang pemilik. Disiplin verifikasi dalam jurnalistik ditumbangkan oleh kuasa modal.

Yang menyedihkan adalah hilangnya daya kritis dan daya nalar dari lapis-lapis menengah kita, yang dengan mudahnya mempercayai apa yang tersaji di hadapan media. Di saat bersamaan, media sosial menjadi riuh dengan debat kusir tentang satu informasi.

Sekali lagi, kita butuh satu panduan media literacy. Saatnya menurunkan ilmu-ilmu tentang pinsip kerja media ke dalam modul-modu sederhana yang bisa dipahami kalangan terdidik. Saatnya mencerahkan kalangan menengah perkotaan agar tidak mau begitu saja dijewer oleh media massa. Saya membayangkan ada satu pelatihan yang mengasah kekritisan. Barangkali, cara kiritis membaca media mesti dilatihkan dengan cara memperbanyak diskusi tentang agenda setting, obyektivitas, keberimbangan (impartialitas), hingga framing media.

Saatnya mengampanyekan gerakan kembali ke nalar. Saatnya memproteksi pikiran kita dari segala angin negatif yang bisa masuk dari mana saja. Saatnya membuat refleksi diri, tentang apa yang benar dan tak benar, lalu mengubahnya menjadi visi hidup yang selalu melihat kebaikan di mana-mana.

Sekali lagi, ini hanya catatan lepas. Jika ada yang tertarik membuat pelatihan ini, dengan senang hati, saya siap bergabung.



1 komentar:

Tampubolon mengatakan...

Tulisan bg Yusran bagus2. Reflektif, punya prespektif yg berbeda, suka melawan arus dan punya kandungan ilmiah jg. Mengenai permintaannya, akan dpertimbangkan bg. Hehe… Horas!

Posting Komentar