Tafsir Papua untuk Yansen



NUN jauh di Malinau, Kalimantan Utara, butiran gagasan tentang revolusi desa disebar ke mana-mana. Gagasan itu nampak sederhana, namun memiliki dampak yang luar biasa bagi banyak orang. Penggagasnya adalah Yansen TP, yang sejak lama berobsesi untuk memberikan kekuatan bagi desa-desa. Indonesia tidak dilihat dari pusat, Indonesia dilihat dari pinggiran terjauh. Tak disangka, gagasan itu memantul ke mana-mana. Di Raja Ampat, Papua Barat, gagasan Yansen ikut bergema, namun juga terselip beberapa catatan kritis yang patut disimak.

***

HARI itu, sebuah diskusi buku digelar di Jakarta. Buku berjudul Revolusi dari Desa itu menyentuh hati banyak orang. Yang dibahas adalah bagaimana memberikan kepercayaan dan tanggungjawab sepenuhnya kepada warga desa. Puluhan tahun Indonesia merdeka, titik berat pembangunan selalu ditekankan di kota-kota. Desa hanya menanti kemurahan hati orang-orang kota, tanpa menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Yansen memaparkan pengalamannya ketika membangun Malinau. Ia mengubah pandangan orang bahwa pembangunan bisa dimulai dari pinggiran. Ia selalu mengulang-ulang bahwa kepercayaan kepada rakyat adalah pilar utama bagi pembangunan. Pendekatannya revolusioner. Ia memberikan kepercayaan penuh kepada desa. Ia mendelegasikan wewenang hingga tanggungjawab kepada desa. Ia juga membagikan anggaran kepada desa, setelah itu membangun mekanisme untuk mengontrol penggunaan anggaran. Ia membuktikan obsesinya untuk membangun dari pinggiran. Ia tak memaparkan teori. Ia membawa bukti.

Pemikirannya mendahului zaman. Di saat pemerintahan baru menanam komitmen untuk memberikan otonom kepada desa, ia bergerak lebih dahulu untuk membumikannya. Sejatinya, pengalaman itu menyediakan butiran inspirasi untuk mengecek sejauh mana kelebihan sekaligus kekurangan konsep otonomi desa itu.

Bagi saya, gagasan itu menjadi menarik sebab dilakukan di tengah kebijakan pembangunan yang tak memberi ruang bagi desa. Selama ini, banyak orang terjebak pada pandangan bahwa desa hanyalah mata rantai paling bawah dari sistem birokrasi. Pemerintah pusat memegang wewenang tertinggi, lalu di bawahnya ada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota, hingga pemerintahan desa.

saat Yansen mempresentasikan bukunya

Yansen membalik gagasan itu. Posisi masing-masing adalah sejajar dan saling bermitra. Pemerintah desa memiliki wewenang yang harus dipertanggungjawabkan ke hadapan warga. Desa punya kuasa untuk menentukan desain pembangunannya sendiri, sekaligus berdialog dan merumuskan solusi bersama pemerintah di atasnya.



***

BEBERAPA hari setelah diskusi itu, saya berkunjung ke Raja Ampat, Papua Barat. Disatu pulau indah, pada tempat yang disebut-sebut sebagai kepingan surga di bumi, saya bertemu beberapa kepala desa. Kami mendiskusikan banyak hal, termasuk gagasan Yansen tentang desa. Mereka paham intisari gagasan revolusi desa, seperti yang digemakan Yansen.

Sejak tahun 2001, kebijakan otonomi khusus Papua menjadikan desa-desa berlimpah materi. Papua telah melangkah lebih jauh. Hanya saja, ada sejumlah catatan menarik yang kemudian dititipkan. Ternyata, gagasan tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan lapangan. Adalah penting untuk mengungkap semua catatan itu agar menjadi pelajaran berharga yang membuat mata lebih terang untuk melihat banyak sisi lain.

Pertama, pemberian wewenang dan kuasa anggaran untuk menentukan desain pembangunan adalah hal yang positif. Akan tetapi, hal itu bakal sia-sia jika tak diiringi penguatan kapasitas dari manusia-manusia yang hidup di desa. “Biar banyak dana dan kewenangan, kalau desa tidak tau mau bikin apa, maka kebijakan apapun bisa sia-sia,” kata Frans, warga Waisai, Raja Ampat.

Sejak tahun 2002 hingga 2013, dana Otsus Papua yang dikeluarkan mencapai Rp 40 triliun rupiah. Namun, sampai saat ini, masyarakat Papua masih memprihatinkan. Warga Papua masih banyak yang kelaparan, mengalami gizi buruk, hingga meninggal. Mengapa bisa terjadi? Ada banyak faktor yang bisa diurai. Salah satunya adalah tidak siapnya sumber daya manusia, lemahnya pengelolaan, serta tingkat korupsi yang tinggi.

Makanya, kebijakan pemberian wewenang itu tidak harus dilihat sebagai salah satu solusi yang mengatasi semua masalah. Harusnya, ada tiga aspek yang harus diperhatikan. Yakni (1) perencanaan pembangunan, (2) implementasi anggaran, dan (3) aspek pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran. Ketiga aspek ini adalah tali-temali yang mengikat semua pihak, termasuk desa.

Kedua, banyaknya wewenang dan turunnya anggaran bisa menyebabkan terjadinya tumpang-tindih dalam pelaksanaan program. Bukan rahasia lagi kalau di kalangan pemerinta terjadi saling silang dan benturan saat terjadi di lapangan. Entah kenapa, kita belum juga bisa membangun satu pendekatan yang komprehensif dan menjadi bahasa bersama bagi semua pihak.

Benturan ini menyebabkan tidak bekerjanya sistem, yang kemudian bisa berdampak bagi masyarakat. Sungguh ironis jika mengingat bahwa desa-desa di Indonesia masih menjadi kantong kemiskinan, sehingga rawan terjadinya ketidakadilan sosial.

***

DI Papua Barat, saya mendiskusikan pendekatan yang ditempuh Yansen di Malinau. Pendekatan itu efektif untuk menghidupkan energi dan gairah pembangunan di daerah perbatasan. Pendekatan itu mengingatkan orang pada kalimat ilmuwan sosial Soedjatmoko bahwa pembangunan tidak selalu terkait ekonomi, namun terkait erat dengan manusia. Makanya, tujuan prmbangunan haruslah bisa menjadi pijakan untuk melejitkan pemenuhan potensi kemanusiaan.

Tentu saja, jalan ke arah itu cukup terjal untuk ditempuh. Tapi Yansen telah meletakkan satu landasan penting untuk membangun kepercayaan (trust) kepada rakyat. Entah, apakah Yansen pernah membaca tulisan Francis Fukuyama ataukah tidak. Sebab, beberapa tahun silam, Fukuyama juga mengurai pentingnya kepercayaan, solidaritas, dan institusi sebagai elemen utama modal sosial yang merekatkan semua anggota masyarakat.

Harus diakui kalau buku masih jauh dari sempurna. Ketika membacanya, saya serasa membaca tulisan ilmiah ataupun laporan-laporan pemerintah daerah. Gaya bahasanya agak kaku, monoton, dan kurang luwes sehingga beberapa kali terasa agak menjemukan. Mungkin saja ini disebabkan oleh materi disertasi yang lalu diolah menjadi buku. Harusnya, buku bisa dikemas lebih menarik sehingga selalu memikat siapapun

Meskipun buku ini bertajuk tentang membangun dari pinggiran, saya juga merasakan kalau pendekatan buku ini terkesan top-down. Itu terlihat dari paparan tentang rencana pemerintah daerah serta kebijakan Gerakan Desa Membangun (Gerdema). Posisi pemerintah kabupaten masih berada di atas yang kemudian mendesain wewenang apa saja yang dimiliki oleh desa.

saya dan para sahabat di Papua

Idealnya, jika memang insiatif pembangunan itu dari desa, harusnya paparan bergerak secara induktif. Akan lebih baik kalau suara-suara desa diungkap lebih dahulu, bisa dalam bentuk narasi, deskripsi, atau gagasan, kemudian bergerak ke atas ke aras pemerintah daerah, yang meresponnya dengan kebijakan. Yang ditekankan bukanlah prestasi dan kepedulian pemerintah daerah, namun pada inspirasi komunitas, suara-suara rakyat yang lama termarginalisasi, serta harapan besar yang tumbuh untuk melihat negeri ini lebih baik.

Terlepas dari beberapa catatan itu, buku ini sukses untuk membuka wawasan sekaligus menyentuh kesadaran bahwa ada banyak pelajaran di desa-desa dan daerah-daerah pinggiran. Bahwa kerja keras untuk menggapai cita-cita memang masih harus dikejar. Akan tetapi negeri ini bisa menggapai semua asa selagi ada keberanian untuk menyerap pelajaran dari banyak hal menarik di tubuh bangsa.

Di tanah Malinau, tepian tanah air kita, ada kisah sukses dan inspirasi tentang membangun negeri. Inspirasinya sederhana, namun justru punya kekuatan untuk menggerakkan dan mengubah hal yang nyaris mustahil. Inspirasinya terdapat pada kalimat yang tertera di sampul buku: “Saatnya dalam pembangunan percaya sepenuhnya kepada rakyat.”


Raja Ampat, Papua Barat, November 2014



0 komentar:

Posting Komentar