Kapan dan di manakah anda menemukan titik fokus
ketika membaca?
SERING saya tak punya waktu untuk membaca.
Padahal, membaca adalah jendela untuk menemukan hal-hal baru, gerbang untuk belajar banyak
hal yang menarik, serta senjata untuk terus meng-update pengetahuan demi memandang kenyataan
dengan cara yang lebih fresh. Tanpa membaca, pengetahuan akan jalan di tempat. Saya
hanya akan mengulang-ulang segala hal yang barangkali mendatangkan jenuh atau
membosankan bagi orang lain yang pernah mendengarkan gagasan itu.
Belakangan ini, saya kembali menemukan
gairah membaca. Memang, hari-hari saya masih bergegas sebab harus bolak-balik
antar kota. Namun, saya menemukan keasyikan baru ketika membaca di perjalanan.
Ya, saya membaca di dalam kereta yang setiap hari saya gunakan dari dan ke
kantor. Kini, saya menemukan konsentrasi penuh ketika membaca di dalam kereta,
di tengah deru mesin, serta orang-orang yang lalu lalang.
Hanya dalam waktu dua hari, saya
menuntaskan buku tentang riset kualitatif untuk ilmu sosial yang disusun Prof
Burhan Bungin. Malah, saya membuat catatan-catatan selama di kereta tentang
betapa banyakya gagasan yang tak orisinil di buku itu. Di tengah deru kereta
yang menyinggahi banyak stasiun, saya menemukan bahwa buku ini serupa sebuah
kolam tempat menaruh semua gagasan-gagasan banyak orang, lalu diikat dengan
satu tali, yang justru tak berhasil menautkan semua gagasan itu. Buku ini tak
begitu mencerahkan.
Ada dua hal yang sangat mempengaruhi
kecepatan membaca. Pertama adalah waktu yang tepat. Kedua, konsentrasi. Nah,
saya menemukan keduanya saat d kereta. Waktunya sangat tepat sebab saat itu
pikiran saya kosong dan lebih banyak mengkhayal. Makanya, saya memutuskan
untuk membaca, sesuat yang snagat efektif untuk ‘membunuh’ waktu perjalanan.
Entah kenapa, saya juga menemukan
konsentrasi di situ. Sebab dalam keramaian itu, tak ada satupun hal
yang menarik. Setiap hari, saya menyaksikan kenyataan yang sama. Jendela-jendela
kereta juga kehilangan kejutan. Daam situasi yang serba kosong itu, membaca
adalah jalan keluar terbaik untuk melepas semua kejenuhan.
Demi memenuhi hobi membaca, saya mulai
rajin berburu buku-buku bagus. Saya sungguh beruntung karena istri amat mendukung
hobi membaca. Ia tak pernah protes ketika saya menghabiskan uang belanja demi
hobi membaca. Saya mengakui kalau cukup lama saya tak mengikuti perkembangan
baru di ranah teori dan metodologi ilmu sosial. Saya terlampau keasyikan
berkelana dari fakta satu ke fakta lain, atau dari tempat satu ke tempat lain,
tanpa merefleksi ataupun mendiskusikannya dengan perangkat teori.
buku baru |
Saya pernah membaca bahwa ada varian dalam riset yang memang anti pada teori-teori sebab bisa menjerat seseorang pada cara berpikir tertentu. Namun membaca teori juga penting untuk memperluas cakrawala berpikir, demi menemukan fakta bahwa kegelisahan di satu tempat bisa juga dialami di tempat lain, sehingga refleksi dan proses memperkaya pengetahuan amatlah diperlukan.
Hari ini saya membeli tiga buku yang agak
serius. Masing-masing adalah Antropologi
Marxis (2014), Suara dari Desa
(2013), serta buku The Will to Improve
(2012). Di antara ketiganya, saya baru membaca bab pendahuluan buku The Will to Improve yang ditulis Tania
Li. Baru baca sekitar 20 halaman, saya sudah dilanda keasyikan, dan berniat
untuk menuntaskannya. Kali ini, Tania Li akan menjadi sahabat di atas kereta.
Ia akan membantuku menunjukkan tentang kemiskinan yang terus terjadi, di tengah
berbagai rencana serta strategi pemerintah yang hendak mengatasinya.
Sebagaimana biasa, pada setiap lembar
buku, saya terngiang kalimat yang pernah ditulis Ralph Waldo Emerson, “Setiap buku adalah kutipan; setiap rumah adalah kutipan, seluruh rimba
raya dan tambang-tambang dan bebatuan adalah kutipan, setiap manusia adalah kutipan
dari semua leluhurnya”
Setuju.
0 komentar:
Posting Komentar