sahabat bernama Jasa saat sedang beratraksi di Kota Tua |
IBARAT sebuah panggung besar, kota Jakarta
menjadi ruang hidup dari sedemikian banyak orang. Seringkali kita hanya fokus
pada sejumlah sosok penting dan tersohor, dan mengabaikan jutaan manusia lain
yang berjibaku demi memperpanjang kehidupan. Merekalah para warga biasa yang
mengasah dirinya untuk selalu survive,
dan tak sudi terseret ombak kehidupan.
***
LELAKI itu memakai jas berwarna keperakan.
Topinya juga keperakan. Sepintas, ia mengingatkanku pada sosok Joker dalam film
Batman. Lelaki itu tersenyum saat melihatku. Namun aku justru tidak tersenyum.
Aku justru tersentak saat melihat dirinya yang seolah berbaring di udara. Belum
reda keterkejutanku, ia menyapa, lalu sedetik berikutnya, kepalanya seolah
terlepas. Wow..!
Aku lalu mendekat dan tersenyum kepadanya.
Kumasukkan beberapa lembar uang ke keranjang kecil di hadapannya. Ia semakin
tersenyum lebar, lalu melanjutkan atraksi duduk dan baring di udara. Hingga
senja mulai memeluk sore di Kota Tua, Jakarta, ia masih setia beratraksi.
Banyak orang menyimpan uang di keranjang itu. Dan ketika malam memayungi
langit, ia lalu berkemas untuk pulang.
Ketika adzan Isha berkumandang, ia lalu
bersiap-siap hendak pulang. Aku lalu mendekat dan mengajaknya kenalan. Namanya
Jasa. Ia berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Berbeda dengan para manusia batu
atau pemakai kostum unik di kota tua, ia mengaku bekerja sendirian. Ia tak
terikat dengan manajemen manapun. Ia mengembangkan beberapa trik, latihan
selama beberapa bulan, serta berlatih cara menghibur orang banyak, sebelum akhirnya tampil di Kota Tua.
“Kerja seperti ini butuh kreativitas tinggi. Gak mungkinlah orang-orang akan mendekat dan melempar uang ke keranjang jika tak ada hal unik yang kita tawarkan,” katanya sembari berkemas.
Ia berbicara tentang pentingnya
kreativitas. Aku ingat di beberapa seminar bisnis, para pemateri terus
mengampanyekan kreativitas. Rhenald Kasali, Hermawan Kertajaya, dan Mario Teguh
juga selalu bicara tentang pentingnya kreativitas. Namun pembahasan pria ini
lebih menarik. Sebab ia berbicara tentang hal-hal yang sederhana, serta
berbasis pada pengalaman. Melalui hal sedehana yang dilakukannya, ia lalu
membuat premis-premis tentang kehidupan. Jika rumus yang diyakininya gagal,
pastilah ia akan memunculkan strategi lain. Ia seorang pemikir sekaligus
manajer yang siap mengoperasionalkan gagasan.
Tiga kali kutanya tentang rahasia triknya yakni berbaring di udara. Tapi ia selalu menggelang. Ia tak mau mengungkap rahasianya. Ia hanya memberi sedikit clue atau petunjuk. “Saya butuh sekitar dua bulan untuk latihan. Itupun, otot-otot saya kaku. Untungnya, saya berhasil, Saya masih mengevaluasi trik ini. Kalau publik sudah bosan, saya akan menggantinya dengan trik lain,” lanjutnya.
Ia sangat bersemangat. Tiga tahun silam, ia
adalah pemain teater di Magelang, Jawa Tengah. Ia biasa tampil di panggung. Hingga
suatu hari, nahas menimpanya. Ia kecelakaan. Lebih tiga tahun, ia hanya tinggal
di rumah demi memulihkan kondisi fisiknya. Pada suatu hari, ia memutuskan untuk
ke Jakarta. Setelah mencoba beragam profesi, ia akhirnya memilih jadi pekerja
kreatif di lapangan depan bekas kantor Gubernur Hindia Belanda di Kota Tua. Di
situlah ia menemukan penghidupannya.
“Saya lagi mempersiapkan atraksi baru. Pasti akan heboh. Nanti, saya akan bisa terbang selama beberapa detik. Penasaran? Datang ke sini tiga bulan mendatang,” katanya.“Hebat. Apakah kamu mendapat penghasilan cukup dari atraksi di sini,” tanyaku.“Sebenarnya tak seberapa. Tapi saya bahagia menghibur orang lain. Bagi saya, tak perlu banyak duit. Yang penting halal dan bukan hasil korupsi. Yang penting, kehidupan tetap ngasih rezeki. Biarpun tak seberapa bagi orang lain, bagi saya itu sangat bernilai,” katanya lalu tersenyum.
Aku terkesima. Ternyata bangsa Indonesia
tak pernah kehilangan energi kreatif dan kearifan. Pada mereka yang bekerja di
jalanan ini, selalu ada elemen shock yang membuatku terus menghargai betapa
hebatnya masyarakat kita mengasah diri, lalu mengemas setiap pengalaman menjadi
nutrisi yang memperkaya kehidupan.
Pada lelaki seperti Jasa, aku menemukan
kearifan memaknai hidup, kejujuran dalam menghadapi hari-hari yang kadang
berat, serta keyakinan bahwa membahagiakan orang lain jauh lebih penting
daripada sekadar mengincar materi dan penghidupan yang layak. Pada dirinya, aku
menemukan cermin untuk melihat kehidupan dengan lebih positif dan lebih bening.
Ia adalah filsuf muda yang berpakaian unik demi menjaga agar nadi kehidupan
tetaplah berdenyut.
Jika kehidupan ini ibarat persimpangan
yang sering mempertemukan kita dengan orang lain, semoga kelak, aku dan dirinya
masih akan dipertemukan dalam satu resonansi gelombang yang sama. Setidaknya, di Kota Tua kami bisa bertemu dan
berbincang barang sepatah atau dua patah kata.
0 komentar:
Posting Komentar