ilustrasi |
MEDIA sosial kita ibarat sebuah kampung.
Ada banyak kelompok, grup, dan komunitas yang hidup bertetangga. Mereka lalu
membentuk grup, saling mendekatkan diri, lalu sama-sama membentuk ikatan. Sering
pula terjadi konflik dengan anggota grup lain, yang lalu berujung pada konflik
antara dua komunitas. Mereka saling libas.
Jika di dunia nyata ada mekanisme tawuran,
maka di dunia maya ada pula tindakan yang mirip tawuran. Orang menyebutnya cyber war. Kedengarannya cukup seram.
Iya, memang seram. Bayangkan, ada dua kelompok saling serang, saling maki, lalu
saling melacak data diri lawannya. Setelah itu provokasi dilancarkan hingga
berujung pada perkelahian di dunia maya. Memang, tak ada batu melayang. Sebab
yang ada adalah saling serang lewat kata-kata yang dijejalkan ke dalam ruang
kecil internet. Ketika nampak di layar laptop, peperangan jadi nyata.
Mereka yang membaca kalimat negatif di
duia maya, sering merasa tak nyaman. Aku adalah bagian dari mereka yang tak
nyaman itu. Aku tak suka membaca status atau tulisan yang isinya adalah
prasangka rasial, kebencian pada satu kelompok, serta sikap tertutup yang
selalu menganggap diri paling benar. Susahnya, kelompok ini susah diajak
komunikasi. Jalan terbaik adalah mematikan laptop, lalu mengurusi hal-hal lain
yang lenih urgen.
Ketika melihat kebencian yang disebar di
dunia maya itu, aku langsung teringat sahabatku Eni di Athens. Waktu itu, ia
lama menghilang dari media sosial. Ketika kutanya kenapa, ia hanya menjawab
singkat, “Ada banyak energi negatif di
media sosial.” Saat itu aku tak mempercayainya. Kupikir ia tak siap dengan
perbedaan pendapat. Belakangan aku mengamininya. Ternyata ada banyak konflik,
fitnah, saling menjelekkan, serta konflik antar kelompok di media sosial.
Braangkali, orang-orang butuh pelajaran
etika di dunia maya. Tak semua paham bahwa di dunia maya sekalipun, seseorang
tak boleh seenaknya menghakimi atau menjelekkan orang lain. Kampanye internet
sehat mesti digalakkan agar internet jadi kampung yang ramah bagi siapa saja.
Dunia maya juga butuh banyak polisi yang bisa mengingatkan orang lain agar
tidak sembarangan menyebar kabar yang tak etis. Saatnya mengampanyekan
pentingnya self editor yang
anggotanya bisa dari mana saja, yang kemudian berperan sebagai penjaga nilai demi
menjaga agar rumah di dunia maya bersih dari berbagai prangka.
Kali ini, aku yakin kalau pendapatku
benar.
0 komentar:
Posting Komentar