seorang nelayan bersama anaknya |
JIKA di Timor Leste dan Aceh terdapat
kampung janda, maka di Pulau Barrang Lompo, yang terletak tak jauh dari Kota
Makassar, terdapat lorong Janda. Jika di dua daerah sebelumnya, para suami
tewas dalam suasana konflik sehingga meninggalkan banyak janda, di Barrang
Lompo, para suami adalah para nelayan yang tewas saat menyelam. Jelang pilpres,
apakah para capres kita sempat memikirkan banyaknya nelayan yang tewas di
lautan ganas?
LEMBAYUNG senja nampak di ufuk barat.
Perempuan itu tengah duduk di atas perahu yang diparkir di pasir putih Pulau
Barrang Lompo. Di pulau kecil itu, ia seolah menunggu seseorang dari lautan. Di
tengah suara ombak yang berdebur, matanya sangat peka menyaksikan siapapun yang
datang. Bahkan hingga matahari seakan
ditelan oleh lautan, ia tak juga bertemu apa yang dicarinya. Ia lalu kembali ke
perkampungan.
Keesokan harinya, kembali aku menemukan
pemandangan yang sama. Perempuan itu selalu menghilang di lorong yang sama.
Belakangan, beberapa penduduk mengisahkan bahwa perempuan itu tinggal di Lorong
Janda, yang merupakan sebutan bagi sebuah lorong yang didiami banyak janda
nelayan. Konon, lebih 100 nelayan tewas saat hendak menyelam untuk mengambil
teripang di dasar laut.
Mereka yang tewas itu meninggalkan
istri-istri yang harus tetap hidup untuk menafkahi keluarganya. Tak semuanya
berhasil menemukan jodoh lagi. Sisanya harus hidup dan menjalani peran sebagai
ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Merekalah yang kini mendiami lorong
janda.
Mengapa sampai tewas saat menyelam? Koordinator
Nasional Destructive Fishing Watch (DFW), Muhammad Abdi, yang kutemui di dekat
lokasi selam, menuturkan bahwa para nelayan itu tidak menyelam dengan alat
selam canggih, sebagaimana yang disaksikan di acara-acara televisi. “Mereka menyelam
dengan menggunakan kompresor, atau alat penyembur oksigen. Jelas sekali, alat
itu bisa berbahaya bagi mereka saat di laut,” katanya.
Selama ini, aku hanya mengenal kompresor
sebagai alat yang sering digunakan oleh tukang tambal ban demi mengisi angin di
tepi jalan raya. Biasanya, alat itu berwarna merah. Bagaimana dan mengapa
digunakan untuk menyelam?
“Selang kompresor dibawa oleh nelayan
turun ke dasar laut. Biasanya, mereka jepit alat itu di mulut untuk kemudian
dipakai bernapas,” kata seorang penyelam yang kutemui di dekat areal
penyelaman. Tentu saja, udara yang dihasilkan pasti kotor. Para nelayan itu
sedang bermain-main dengan bahaya. Namun, apakah mereka punya pilihan yang
lebih baik untuk meningkatkan kegiatan ekonominya?
Biasanya, kompresor disambung dengan
selang sepanjang 150 meter, lalu digunakan tiga penyelam sekaligus dengan cara
dipasang bercabang. Para penyelam lalu masuk ke dalam laut dan mencari teripang
di pasir atau yang terapung sepanjang jangkauan selang mereka. Mereka memakai kaca
mata atau masker plastik yang menyuplai udara dari kompresor melalui mulut.
Pakaian mereka seadanya, padahal semakin dalam, maka semakin dingin pula suhu.
Mereka sering kehilangan panas tubuh yang kemudian menimbulkan keram atau
kesemutan.
Di pulau kecil itu, aku juga bertemu
dengan Daeng Reka, seorang nelayan pencari teripang yang lumpuh sejak enam
bulan terakhir. Lelaki yang memiliki tiga anak ini dahulu mencari teripang
dnegan cara menyelam dengan kedalaman hingga 20 meter selama setengah jam demi
mengumpulkan banyak teripang. “Mengambil teripang itu sulit, apalagi kalau
hanya andalkan kompresor. Saya juga ingin sekali pakai alat selam. Tapi mau
beli pake apa?” katanya sambil memperhatikan kakinya yang kini tak bisa
bergerak.
gerbang selanat datang di pelabuhan Barrang Lompo |
anak-anak pulau sedang bermain dengan ikan Nemo |
ikan Nemo di dalam gelas plastik |
Sejak teripang menjadi komoditas yang
mahal, para nelayan berusaha untuk mendapatkannya. Jika hanya menjadi nelayan
biasa, penghasilan mereka hanyalah sekitar 70 ribu per hari atau sekitar 2 juta
per bulan. Sementara ketika menjadi peyelam teripang, mereka bisa mendapatkan
penghasilan hingga 2 juta dalam sepuluh hari. Di saat kebutuhan nelayan kian
meninggi, serta keinginan untuk menyekolahkan anaknya ke kota-kota, mereka lalu
tergiur untuk menjadi penyelam teripang.
Daeng Reka hanya bisa tersenyum kecut.
Sejak dirinya menderita lumpuh, Daeng Reka tidak pernah ke dokter. Untuk
mengobati kedua kakinya agar tidak terasa sakit sehingga ia hanya menggunakan
obat tradisional yang diracik oleh keluarganya. Mungkin ini pula yang
menyebabkan angka kematian nelayan terus meningkat.
Data yang dihimpun sebuah lembaga swadaya masyarat (LSM) beberapa tahun silam menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk pulau sebanyak hampir 4.000 orang, ada sekitar 800 orang yang menderita kelumpuhan. Banyak di antaranya yang menderita lumpuh sejak menjadi penyelam teripang.
***
DI Lorong Janda itu, aku melihat satu
sketsa kehidupan yang menggiriskan. Para nelayan itu adalah para pejuang
kehidupan yang mengerahkan segala daya demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Mereka pun ingin menggapai zona nyaman, menyekolahkan anak-anaknya ke kota
besar, serta memiliki rumah bagus, lalu menggapai gelar haji.
Mereka menempuh berbagai risiko berbahaya
demi orang-orang di sekitarnya. Mereka adalah para lelaki yang memilih untuk
bertarung demi memenangkan kehidupan. Demi menggapai kehidupan yang lebih
nyaman itu, mereka mempertaruhkan nyawa, lalu meninggalkan para istri yang
terpaksa harus menghidupi keluarganya dalam situasi yang serba terbatas.
berpose di perahu nelayan |
menuju Barrang Lompo |
Sayangnya, pengetahuan yang terbatas serta
kurangnya pehatian dari pemerintah dan lembaga terkait menjadi penyebab kian
banyaknya nelayan yang tewas saat menyelam. Malah, pemerintah sering tak
menawarkan solusi ketika melarang nelayan mengambil teripang. Di beberapa
kepulauan seperti Natuna, aku mendengar informasi bahwa para nelayan membuat
konsensus untuk berhenti menyelam dengan kompresor. Hanya saja, tak semua pulau
memiliki kesepakatan seperti itu. Para nelayan akhirnya terpaksa menyelam demi
kehidupan yang lebih baik, sebagaimana yang disaksikannya di berbagai televisi.
Di Lorong Janda itu, aku menyaksikan satu
keping kegetiran. Daeng Reka tak tahu harus menjawa apa ketika kutanyai tentang
pemilihan presiden. Ia hanya menjawab dengan suara lirih, “Saya ingin presiden
yang punya kepedulian pada nelayan. Saya ingin yang bisa membantu masyarakat
nelayan. Saya tak ingin yang hanya bisa berkoar-koar, tanpa ada bukti.”
Aku terdiam. Sementara di televisi, ada
tayangan tentang seorang calon presiden yang datang mendaftar dengan iringan
ribuan massa yang berteriak-teriak Allahu Akbar. Hey, apakah ada nelayan di barisan itu?
0 komentar:
Posting Komentar