Kisah Papua, AIDS, dan Gadis Diskotik


beberapa gadis Papua yang menyambut di bandara

BARU masuk di Bandara Sorong, Papua Barat, aku langsung menyaksikan sebuah papan bertuliskan pemeriksaan HIV secara gratis. Ini bandara lho! Jika di gerbang masuk sudah ada pengumuman tentang HIV, maka boleh jadi penyakit ini menjadi momok bagi seluruh masyarakat Sorong, Papua Barat.

Saat seorang pria menjemput kedatanganku untuk dibawa ke Hotel Royal Mamberamo, aku semakin yakin kalau asumsiku tak salah. Pria itu bercerita tentang banyaknya kasus HIV di tanah Papua Barat. Katanya, gadis-gadis penjaja seks yang tak lagi laku di banyak kota akhirnya membanjiri Papua. Mengapa mereka sampai membanjiri Papua?

Mungkin problemnya terletak pada kultur. Orang Papua menganggap seks bukan hal yang tabu, melainkan sebagai hal yang biasa saja. Selain itu, ada anggapan kalau perempuan dari luar daerah justru lebih menggairahkan. “Orang Papua menyukai paha putih,” kata lelaki yang menemaniku keliling Sorong sambil tertawa.

Berbagai lembaga internasional telah memasuki Papua Barat demi menekan angka penderita Aids. Namun rasanya, pendekatan mereka lebih ke arah memadamkan api yang sudah terlanjur berkobar. Jika saja pendekatannya lebih ke arah memadamkan api selagi masih kecil, barangkali mereka bisa mengatasi satu masalah besar di kemudian hari. Nah, seberapa sabarkah kita untuk bisa mengatasi hal kecil demi mencegah hal besar?

Papua Barat ibarat neon yang dihinggapi banyak laron. Sebagai daerah pelabuhan dan transit, ada banyak orang yang berlalu-lalang di kota ini. Penduduknya juga lebih heterogen. Uang mengalir laksana sungai. Wajar saja jika di kota ini, diskotek tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Wajar pula jika banyak ladies berdatangan dan berharap untuk mengeruk uang di sini. Tak hanya datang bekerja, beberapa di antara mereka justru menularkan virus ganas itu, atau boleh jadi, para perempuan itu justru ditulari oleh lelaki pendamba kenikmatan itu.

Data terbaru menunjukkan bahwa total penderita HIV – Aids di Papua Barat berjumlah 3.150 orang. Jumlah ini cukup besar mengingat populasi Papua Barat yang tak seberapa besar. Data ini tidak termasuk berapa banyak orang yang tewas akibat digerogoti penyakit itu.

Di sekitar hotel yang kutempati, banyak diskotik yang selalu ramai hingga dini hari. Ketika melongok ke situ, ada banyak gadis-gadis seksi yang mengajak masuk ke dalam. Aku lebih tertarik melihat banyaknya warga setempat yang dipekerjakan sebagai bagian keamanan atau pelayan diskotek. Melihat mereka, ada sebersit sedih merayap di hatiku. Barangkali suatu saat, Papua Barat bisa menjadi lahan konflik baru ketika warga setempat hanya bisa menjadi jongos dari sistem kapitalisme ini.

Aku memutuskan untuk tidak melakukan pengamatan di banyak diskotik. Rasanya aku lebih baik melepas lelah setelah lama menempuh perjalanan dari Jakarta. Tak kusisakan energi untuk melihat-lihat diskotik di sana. Ketika hendak pulang, aku masih sempat melihat sebuah lambaian, serta cium jauh dari seseorang salah satu diskotik. Ada senyum manis dari pemilik bibir merah merona yang nampaknya sedang menunggu. Ah, maafkanlah. Aku ingin istirahat.



2 komentar:

fhokast mengatakan...

Mantap kak, suka sekali berkunjung ke blog ta.. suka sekali baca tulisanta, salah satu inspirasi saya dalam blogwalking :)

jual hp mengatakan...

terimakasih banyak, tulisannya sangat menarik

Posting Komentar