DI akhir tahun 1990-an, nama Budiman
Sudjatmiko dilafalkan dengan penuh kebencian oleh pemerintah berkuasa. Dahulu,
ia diburu, diburon, hingga akhirnya dibui karena mmimpin sebuah partai politik
yang diharamkan oleh negara. Hari ini, aku bertemu dengannya dalam sebuah
workshop tentang Undang-Undang Desa di kampus IPB Bogor. Ia masih memiliki satu
hal yang dahulu dibawanya ke mana-mana. Apakah gerangan?
RUANGAN IPB Convention Center itu ramai
dengan banyak aktivis dan akademisi. Semua orang datang untuk menghadiri
diskusi tentang Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Sebagai seorang peserta,
aku datang bersama beberapa teman. Kami ingin belajar banyak tentang UU Desa,
lalu belajar membaca masa depan ketika UU itu diterapkan. Saat itulah aku
melihat Budiman Sudjatmiko.
Ketika ia berbicara, aku tiba-tiba
membayangkan dirinya yang dahulu. Di tahun 1998, pernah kulihat fotonya di
sebuah majalah stensilan yang diedarkan secara gelap ke kampus-kampus. Di foto
itu, Budiman adalah seorang pemuda kurus, berkacamata, yang memakai ikat kepala
dengan gambar gigi roda sebuah mesin. Yup, itulah lambang Partai Rakyat
Demokratik (PRD) yang didirikan para aktivis kiri.
Foto itu bercerita tentang pemberian
penghargaan pada sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pada berita di media yang
sama, ada pula informasi tentang penyair Widji Tukul yang saat itu membawakan
puisi dengan kalimat yang serupa pedang elah merbek-robek hati anak muda.
Kalimat itu berbunyi, “Hanya ada satu kata. Lawan!”
Masa itu adalah masa-masa penuh perlawanan.
Mereka yang berani memilih jalan menjadi aktivis dan menantang rezim adalah
mereka yang punya nyali selangit. Mereka seolah punya nyawa kembar sebab berani
menghadapi popor senapan, serta ancaman penculikan. Nah, Budiman adalah satu
dari sedikit orang itu.
Selanjutnya, ia memag ditahan. Namun
setelah bebas, ia kemudian melenggang ke beberapa negara. Konon, ia kemudian
mengambil dua gelar master di Inggris. Dan ketika kembali ke Indonesia, ia lalu
bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) lalu menjadi
anggota parlemen.
Ia tidak sekerempeng dulu. Ia juga tidak
sekotor dan segarang dahulu. Kini ia sudah menjadi pemuda metropolis yang
nampak gagah. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Ia mulai fasih berbicara
di beberapa acara diskusi. Ia cukup percaya diri, meskipun seringkali ia tak
paham dengan konteks diskusi. Dengan cara itu ia belajar.
Hari ini, aku melihat Budiman. Semangatnya
masih seperti dahulu. Ketika menjadi pembicara, ia serupa motivator Mario Teguh
yang bisa menghipnotis lawannya. Di saat banyak orang membahas tentang
aspek-aspek teknis dan substantif dri UU Desa, ia berbicara tentang satu hal
yang sering diabaikan. Ia berbicara tentang bagaimana orang kota membingkai
orang desa sebagai mereka yang bodoh dan tak bisa apa-apa.
Untuk gagasan ini, aku setuju 1000 persen.
Kita memang terlampau sering melihat orang desa dengan cara pandang sebagai
orang kota, padahal kita sendiri lahir dan besar di desa. Ketika kita menuduh
orang desa itu bodoh, korup, ataupun tak cakap, maka kita sesungguhnya
memindahkan konsepsi kita tentang sisi gelap orang kota pada mereka yang di
pedesaan. Kita seringkali merasa lebih tahu tentang mereka. Padahal tidak
selalu demikian.
Tak semua gagasan Budiman kusukai. Aku tak
suka dengan contoh yang dipaparkannya tentang desa di Cina yang dijadikannya sebagai model. Bagiku, semua
desa memiliki karakteristik yang berbeda, yang harusnya dikenali, didalami,
lalu didekati dengan cara berpikir masyarakat pedesaan. Sungguh tidak bijak
jika ‘memaksakan’ pengalaman bangsa lain untuk diimplementasikan ke dalam
masyarakat sendiri.
Terlepas dari itu, aku melihat satu hal
yang tak hilang dari dirinya. Ia masih memelihara nasionalisme serta komitmen
pada rakyat pedesaan. Ia mempraksiskan nasionalisme itu pada gagasan untuk
mengawal lahirnya produk hukum yang diklaim memihak warga desa. Semoga saja
dirinya tetap setia menekuni wacana pedesaan hingga menghasilkan banyak hal
positif di masa depan.
Budiman memang tidak semeledak-ledak
dahulu. Ia juga tidak seagitatif dahulu ketika membakar emosi massa. Ia
mengingatkanku pada tumbuhan yang awalnya sebuah tunas lalu tumbuh membesar,
hingga akhirnya kokoh menghujam bumi dan ranting-rantingnya menjangkau langit. Ia mulai memijakkan
kaki di ranah yang disukainya yakni ranah rakyat pedesaan.Semoga saja ia benar-benar betah di ranah itu, dan selalu terbuka untuk diskusi tentang topik itu di masa mendatang.
Toh, sejarah akan mencatat seberapa konsisten dirinya di jalur itu. Kelak sejarah akan bertutur tentang dirinya, apakah ia konsisten bersama warga desa, ataukah justru terperangkap dalam kuasa modal dan dekapan para cukong. Entahlah.
0 komentar:
Posting Komentar