PINDAH ke tempat baru tak selalu mudah
bagi banyak orang. Selalu saja ada tantangan yang harus diatasi demi sekadar
berdiri tegak dan memperkokoh pijakan kaki. Selama dua bulan tinggal di tempat
baru, aku belajar satu hal penting tentang bagaimana beradaptasi serta selalu
menyerap pengetahuan yang tercecer di mana-mana.
Bagiku, kehidupan serupa air yang terus
mengalir. Selama dua tahun ini, aku merasakan tinggal di tiga tempat berbeda.
Dua tahun lalu, aku tinggal di kampung Athens di Ohio yang tenang dan semua
penduduknya amat ramah pada siapapun warga baru. Setahun silam, aku kembali ke
Buton, kampung halaman yang permai dengan segala laut bersih dan langit biru.
Aku menjalani hari yang juga berbeda, dan menyaksikan bagaimana politik lokal
telah memecah-belah kerabat dan hubungan keluarga.
Di sana, waktu berjalan lambat. Kehidupan
seolah bergerak laksana adegan slow motion sebuah film. Tak ada ketergesaan.
Semua bergerak dalam ritmenya masing-masing yang pelan, dan tak seberapa ambisius.
Setiap hari adalah jalan-jalan, kuliner, dan bermain. Di pulau kecil itu,
kehidupan terasa berbeda. Tinggal di situ serasa berada di ruang hampa sejarah.
Tanpa terasa, setahun berlalu, dan tak banyak yang bisa dihasilkan. Ini pula
sebab, mengapa ketika ada tawaran keluar daerah, langsung kusambut dengan
antusias.
Dua bulan terakhir, aku bekerja di Bogor,
namun berumah di Jakarta. Dilihat dari sisi kultur, Jakarta amatlah berbeda
dengan dua tempat yang sebelumnya kutinggali. Jika di Athens dan Buton semua
orang masih saling mengenal dan berusaha menjaga hubungan persaudaraan, maka di
Jakarta, individualisme menjadi kitab suci banyak orang. Di jalan-jalan, atau
di berbagai tempat keramaian, orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing
dan tak saling mempedulikan.
Di kota ini, aku menjalani hari-hari
dengan ritme masyarakat perkotaan. Pagi hari berjejalan di kereta rel listrik
(KRL), kemudian di sore hari kembali berjejalan di kereta untuk perjalanan
pulang. Jakarta dan Bogor laksana ibu dan anak yang tabiatnya sama. Jika
Jakarta penuh dengan kemacetan, Bogor pun demikian. Di dua kota ini, raungan
kendaraan saling bersahutan dan menjadi orkestra yang memenuhi jalan-jalan.
Sekali ke Bogor, aku mesti menempuh dua
jam perjalanan. Jika ditambah dengan perjalanan pulang, maka total aku
menghabiskan waktu empat jam perjalanan dalam sehari. Namun secara perlahan,
aku mulai bisa beradaptasi. Aku berusaha untuk tidak ikut tergesa-gesa
sebagaimana orang lain. Aku mulai menikmati hari, memandang ketergesaan itu
sebagai pemandangan menarik, serta berusaha menyelipkan bacaan di perjalanan.
Aku mulai melihat celah dari ritme yang demikian padat.
Satu hal yang masih sulit kuajak berdamai
adalah cuaca. Mestinya, sejak awal aku paham bahwa Bogor ini adalah kota hujan.
Hingga sekarang, aku paling sering terjebak hujan sehingga basah kuyup. Setiap
hari, pastilah ada hujan yang turun membasahi kota. Mestinya, aku membawa
payung ke manapun, sebagaimana dahulu kulakukan ketika di Athens yang juga
sering hujan.
Di tengah kehidupan kota yang berlalu
cepat laksana kendaraan di lampu merah, aku seringkali merasa kesepian. Di kota
ini, semua orang bergerak dengan ritme. Sejatinya, aku berharap ada banyak
orang sepertiku yang sama-sama bisa saling tersenyum memperhatikan tingkah
masyarakat kota yang selalu bergerak, sama-sama lebih suka mengamati mereka
yang hendak memenangkan kehidupan dengan segepok materi di tangan. Namun
kuyakin kalau ada banyak orang sepertiku di kota sebesar ini. Aku meyakini
bahwa ada banyak sahabat yang siap sedia untuk
menemani dan berbagi secangkir kopi saat bercerita tentang hal-hal sederhana
yang melanda masyarakat kota.
Yang pasti, aku tak ingin berhenti belajar
untuk menemukan banyak vitamin bagi jiwa. Barangkali, ada banyak hal positif
untuk bisa mengayakan pengalaman dan memperkuat langkah-langkah kaki di masa
depan. Aku mengamini kalimat bijak yang tiba-tiba kuingat pada suatu malam ketika tengah terjebak hujan, “Life isn't about
waiting the storm to pass. It's learning to dance in the rain.”
Bahwa kehidupan bukanlah tentang menunggu hujan badai reda lalu melintas, kehidupan adalah belajar untuk menari di tengah-tengah hujan lebat.
6 komentar:
Mantap. Tetangga kita ya.. inspiratif
Mantap. Tetangga kita ya.. tulisan yg inspiratif
Mantap. Tetangga kita ya.. inspiratif
Mantap. Tetangga kita ya.. inspiratif
hallo mb Shantie. makasih atas komennya. bolehlah kita ketemu kapan2. kalau kamu ada waktu. thanks.
cerita'a bagus banget. Aku ga sengaja nemuin blog ini saat tanya mbah gugel tentang artikel d kompasiana... Ehhh malah nyasar ksini. Sungguh bagus blog'a.
Posting Komentar