bersama para penari di Papua Barat |
ENTAH kenapa, dari sekian banyak sahabatku
di Papua, semuanya kocak-kocak. Mereka tak ingin banyak pusing atau stres.
Mereka amat produktif menciptakan banyak humor-humor yang sanggup membuat perut
sakit saking seringnya tertawa. Pada mereka kutemukan kebahagiaan serta pandangan
bahwa hidup ini tak usah dibuat terlalu serius. Hidup ini harus dilihat secara
simpel, dari sisi yang paling kocak. Iya khan?
Dua hari lalu, aku berkunjung ke kota
Sorong, Papua Barat. Aku ikut dalam rombongan kementerian. Kami menggelar rapat
bersama aparat pemda beberapa kabupaten di Papua, serta beberapa tokoh
masyarakat. Kami hendak memantapkan persiapan Sail Raja Ampat yang akan
diadakan sebulan lagi.
Sejak pertama tiba, aku sudah membayangkan
situasi yang berbeda. Rombongan Jakarta dipimpin oleh seorang pejabat yang
sangat serius. Ketika rapat dimulai, sang pejabat itu kembali serius. Ia tak
pernah mengemukakan kelakar. Biasanya, semua orang, terutama para stafnya, akan
lebih banyak diam dan mendengarkan. Pejabat itu sangat suka menjelaskan
beberapa hal jlimet, dengan bahasa yang ilmiah. Saat bahas kebijakan serta visi
kementeriannya, ia sangat fokus. Mungkin saja keseriusan itu akibat dari
tingginya volume pekerjaan serta keinginan untuk berprestasi. Entahlah.
Lain halnya dengan teman-teman dari Papua.
Sejak pertama datang, mereka sudah sibuk membahas hal-hal yang lucu, sembari
tertawa. Ketika mengikuti rapat, mereka hanya fokus selama 10 atau 15 menit,
dan selajutnya diisi dengan membahas hal-hal yang tak perlu. Namun aku justru amat menyenanginya.
Pejabat itu menjelaskan tentang
perntingnya tanaman maskot. Ia meminta agar semua daerah di Papua menyiapkan
tanaman maskot, yang nantinya akan ditanami oleh Presiden SBY dan Ibu Ani saat
Sail Raja Ampat. Ketika ditanya tentang tanaman maskot, sahabat-sahabat dari
Papua itu menjawab dengan lelucon.
“Bapak-bapak harus punya tanaman maskot. Apa bapak dari Manokwari sudah
punya tanaman itu?” tanya sang pejabat.
“Sudah ibu,” kata lelaki asal manokwari itu dengan yakin
“Apa tanamannya?”
“Namanya daun bungkus. Itu maskot Papua,”
Mendengar kata Daun Bungkus, semua orang
Papua terpingkal-pingkal. Aku pun ikut tertawa keras. Sementara sang pejaat itu
tetap serius. Malah, ia mencatat usulan dari orang Papua itu tentang daun
bungkus sebagai maskot daerah. Pejabat itu tak paham bahwa daun bungkus adalah
jenis daun yang berfungsi untuk memperbesar kemaluan. Khasiat daun itu serupa
ramuan Mak Erot yang cukup legendaris di Jawa Barat sebab dianggap bisa
memperbesar kelamin pria.
Apakah daun bungkus adalah maskot Papua?
Ternyata sahabat yang mengusulkan itu
hanya bercanda. Ketika semua orang selesai tertawa, ia lalu menyebut beberapa
tanaman. Di antaranya adalah pohon matoa, buah merah, serta sukun. “Kabupaten
Raja Ampat terkenal dengan sukunnya. Kalau ada sukun enak di Papua ini, pasti
langsung diblang dari Raja Ampat,” kata seorang warga.
koteka |
lukisan dinding |
anak kecil yang sedang memancing |
Sepuluh menit selanjutnya, diskusi mulai
serius. Namun ketika membahas tentang perlunya mendatangkan duta wisata dari
beberapa daerah yang pernah mengadakan Sail Indonesia yakni Wakatobi dan
Manggarai, kembali seorang sahabat mengajukan ide kocak.
“Kalau Wakatobi, tidak usah datangkan duta wisata. Bikin habis ongkos.
Lebih baik jemput orang Buton di pasar, terus kasi pake baju adat. Murah khan?”
katanya.
Semua orang tertawa sebab menyadari
tentang betapa banyaknya orang Wakatobi, maupun Buton di Papua Barat. Beberapa
orang setuju dengan alasan itu. Daripada jauh-jauh mendatangkan duta wisata
dari Wakatobi, lebih baik meminta warga Papua asal Wakatobi yang berpakain
adat. Idenya cukup cerdas.
Sayangnya, sang pejabat itu tak juga bisa
menemukan bagian lucu dari saran sahabat di situ. Pejabat itu masih tetap serius.
Ia lalu bertanya dengan serius.
“Apa masih ada tanaman maskot lain?” tanyanya.
“Ada ibu. Namanya daun gatal,” kata seorang peserta diskusi.
Kembali semua orang tertawa, ketika sang
pejabat itu hanya diam. Aku pun ikut tertawa keras. Seusai diskusi, aku
mencatat hal penting. Bahwa para sahabat dari Papua itu mengajariku sesuatu
yang sederhana, namun amatlah penting dalam menata kehidupan. Bahwa di tengah
kompleksitas masalah serta kesibukan yang bertubi-tubi, rasa humor harus tetap
dijaga demi menjaga mood serta
menjalin keakraban.
Selagi sesuatu bisa dihadapi dengan
bercanda, lantas kenapa pula harus sangat serius? Bukankah dengan bercanda
segala hal menjadi cair? Bukankah pula rajin tertawa, sebagaimana sahabat dari Papua itu, amatlah menyehatkan bagi tubuh?
0 komentar:
Posting Komentar