TAK kusangka, warga Jakarta adalah mereka yang punya daya tahan luar biasa.
Di tengah situasi yang tak nyaman, mereka tak pernah protes. Palingan mereka
hanya menggerutu. Namun sekian detik kemudian, mereka lalu tenang, seolah tak
ada apa-apa. Mereka sungguh hebat karena bisa tenang di tengah situasi yang tak
nyaman.
SEBULAN ini, aku lebih banyak di Jakarta
dan Bogor. Hari-hariku adalah perjalanan dengan kereta rel listrik (KRL) tujuan
Jakarta Bogor. Aku menjadi bagian dari ribuan orang yang menghabiskan waktu
demi menunggu kereta datang, berjejalan di kereta, lalu berkawan dengan bau
peluh dan keringat. Aku mesti siap sedia jika tiba-tiba kereta bermasalah
hingga tak bisa tepat waktu tiba di tujuan.
Dua hari lalu, aku naik kereta dari
Stasiun Duren Kalibata. Baru jalan beberapa meter, kereta tiba-tiba berhenti.
Ada pengumuman tentang masalah jaringan listrik di Stasiun Pasar Minggu. Kereta
tak bisa melaju. Di sebelahku, seorang perempuan muda sempat melepaskan napas
kekecewaan. Lelaki di ujung sana sempat menggerutu. Setelah itu keduanya lalu
diam dan meneruskan aktivitas dengan handphonenya. Mereka bisa dengan cepat
berpindah dari marah dan kecewa menjadi cuek dan tenang.
Aku teringat tulisan peneliti Jepang
Hisanori Sato. Katanya, warga Jakarta adalah warga paling hebat sedunia. Mereka
tak pernah protes terbuka atas kemacetan dan ketidaknyamanan pelayanan publik
di Jakarta. Mereka juga punya daya tahan karena meskipun didera ketidaknyamanan.
Mereka tetap melanjutkan kehidupan sebagaimana biasa.
Kupikir Sato benar. Sebagai warga baru
Jakarta, aku bisa merasakan ketidaknyamanan. Di beberapa negara, warga akan
mudah protes ketika ada pelayanan publik yang tidak memuaskan. Mereka bisa
membuat petisi, mengajukan protes, atau menggalang opini lewat media massa.
Namun di Jakarta, tak banyak warga yang memprotes.
Jangan-jangan ini terkait dengan budaya nrimo di kalangan warga kita. Dalam
banyak hal, kita lebih suka menerima keadaan secara apa adanya, tanpa hendak
memprotes dan mengajukan beragam pertanyaan kepada pemerintah. Padahal, dalam
satu negara demokrasi, adalah hal biasa jika seorang warga mempertanyakan
banyak ketidaknyamanan yang dialaminya kepada pemerintah.
Bisa pula kita mengatakan kalau kepasrahan
warga itu muncul karena paham bahwa tak ada gunanya marah dan kecewa. Lagian,
kalaupun hendak protes, maka diajukan ke mana. Apakah pemerintah mau mendengar?
Jangan-jangan malah dipimpong ke birokrasi, yang seiring waktu, suara protes
itu menguap entah di mana.
Aku memang harus belajar banyak pada warga
biasa Jakarta yang sedemikian tahan dnegan berbagai keidaknyamanan. Naluri
protes yang sering tumbuh dalam diriku mesti ditebas. Saatnya meluaskan hati,
menerima kenyataan bahwa Jakarta bukanlah kota yang nyaman. Saatnya menerima
kenyataan bahwa kereta yang kunaiki bisa macet kapan saja. Di titik itu aku
mesti bahagia dengan semua ketidakberesan. Hiks...
1 komentar:
Manusia adalah makhluk yg paling cepat beradaptasi ^_*
Posting Komentar