aktivitas Makassar Berkebun (foto: Dg Gassing) |
SEBUAH pesan terkirim melalui situs
jejaring sosial. Pesan itu bertuliskan, “Kangen
Asmirandah. Dia butuh dibelai, disayangi, dan diberi minum.” Bagi yang tak
paham konteks akan mengira bahwa Asmirandah yang dimaksud adalah seorang
pesinetron jelita dan seksi yang namanya tengah naik daun. Sejatinya,
Asmirandah adalah nama sebuah tanaman kebun yang ditanam seorang siswa sekolah
dasar (SD). What?
Siswa itu memang kreatif. Ia memberikan
nama pada setiap jenis tanaman pada kebun yang ditanaminya sendiri. Ia
memperlakukan semua tanaman sebagaimana layaknya boneka, yang sering dibelai,
dicium, hingga panen menjelang. Jangan terkejut. Siswa itu tidak tinggal di
kawasan pedesaan. Ia berumah di jantung kota Makassar, di tengah-tengah
pemukiman padat.
Belakangan ini, beberapa siswa sebuah
sekolah yang cukup ternama di kota Makassar ikut dalam gerakan Makassar
Berkebun yang mengagas berkebun di tengah kota (urban farming). Gerakan sosial yang melibatkan banyak orang ini
digagas oleh sejumlah anak muda yang punya kepedulian tinggi pada lingkungan
serta ingin membantu menyelamatkan bumi dengan cara-cara sederhana. Mereka melakukan
langkah-langkah kecil yang bermakna. Mereka mengisi masa muda dengan memberikan
aura positif bagi lingkungan sekitar.
Saya mendengar langsung cerita tentang
“Asmirandah” dari Syva Fauzia, penggiat Makassar Berkebun. Ia mengisahkan
Asmirandah saat memberikan presentasi tentang Makassar berkebun pada acara yang
digagas Oxfam di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), beberapa waktu lalu. Dara
lajang berusia 21 tahun ini membagi pengalamannya saat ikut dalam gerakan ini,
kemudian mengampanyekannya kepada banyak orang.
Syva dan gerakan Makassar Berkebun adalah
oasis dari gambaran tentang mahasiswa Makassar yang garang saat berdemonstrasi.
Selama ini publik tanah air melihat mahasiswa di kota Anging Mammiri identik
dengan tawuran atau perkelahian antar fakultas. Di tengah wacana kenaikan harga
BBM, mahasiswa Makassar tampil pada garda terdepan, dengan mengenakan jas
almamater, lalu menyandera truk demi untuk dijadikan panggung orasi atau
dipakai konvoi.
aktivitas berkebun |
Syva Fauziah |
Tanpa disadarinya, Syva menunjukkan bahwa
di tengah aksi mahasiswa Makassar yang cenderung anarkis, terdapat pula embun
kesejukan lewat mereka yang melakukan hal-hal sederhana namun bermakna bagi
lingkungan. Gerakan ini menjadi cermin bagi banyak orang bahwa tidak semua
mahasiswa Makassar melakukan aksi anarkis seperti tutup jalan, menyandera mobil
tronton, atau membakar motor warga yang melintas.
Demi menyuarakan aspirasi, banyak
mahasiswa yang melakukan hal-hal kreatif sebagaimana Syva dan kawan-kawannya di
Gerakan Makassar Berkebun. Bersama jejaring sosial lainnya, mereka berusaha
menampilkan citra Makassar
Sayangnya, aktivitas ini masih sebatas
hobi. Aktivitas ini belum berkembang menjadi aktivitas yang kemudian menyebar
di semua warga kota. Aspek edukasi dan penyaluran hobi masih dominan di prgram
ini. Sementara asek ekonomi masih terabaikan. Pantas saja jika Syva kemudian
memperluas wawasan dengan cara menemui berbagai kota yang juga aktif dalam
gerakan berkebun.
***
DI Kupang, Syva belajar pada sekelompok
anak muda yang membuat gerakan Kupang Berkebun. Ia kemudian berdiskusi pada
anak muda yang tergabung dalam kelompok Pikul, yang merupakan singkatan dari
Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal.
Saya beruntung karena ikut bersama Syva
dalam proses pembelajaran di kelompok Pikul. Salah seorang penggiat Pikul,
Pantoro Tri Kuswardono, menjelaskan bahwa lahan kering serta terbatasnya lahan
di Kota Kupang adalah tantangan yang mesti ditaklukan. “Makanya, kami sengaja membuat gerakan ini demi untuk memenuhi
kebutuhan warga kota akan sayuran segar yang dipetik dari lahan sendiri. Kami
ingin memberikan kontribusi pada kemandirian warga,” katanya di Kupang.
Senada dengan Pantoro, fasilitator lainnya
Barnabas Bora Haingu mengajak kami semua mengunjungi kebun yang dibuatnya
sendiri. Saya melihat bahwa kebun ini memanfaatkan benda-benda yang saban hari
sering menjadi sampah di kota-kota, seperti gelas aqua, ban bekas, ataupun pipa
paralon. Bahan-bahan itu udah ditemukan, dan bisa dimaksimalkan untuk membuat
sebuah kebun kota.
tanaman di kebun yang dikelola PIKUL |
Saat menyaksikan presentasi serta melihat
langsung kebun kota di Kupang, mata saya terbuka lebih lebar. Betapa tidak,
anak-anak muda di Kupang ini menjadikan aktivitas berkebun sebagai gerakan
sosial yang menyentuh banyak warga kota.Mereka menyiasati ketiadaan lahan
dengan berbagai cara kreatif. Bahkan ketika hanya tersedia tembok, mereka bisa
menyiasatinya dengan membuat wadah untuk menanam di tembok tersebut.
Kelompok Pikul juga melatih para
pendamping yang akan mengajari warga. Materi yang diajarkan adalah pendekatan
berbasis aset (Asset Based Approach), Penyelidikan Apresiatif (appreciative
Inquiry), teknik fasilitasi, dan dasar-dasar teknik pertanian kota seperti
teknik vertikultur dan modifikasinya, penerapan teknik bertani yang hemat
tempat dan air serta teknik perawatan bebas pestisida yang selaras alam.
Mimpi besar yang mereka bangun adalah
membanun kemandirian. Mimpi itu bermuara pada keinginan untuk melihat warga
Kupang yang tidak tergantung pada berbagai produk sayuran yang didatangkan dari
luar. Dengan mengembangkan perkebunan dalam kota, warga kota bisa memenuhi
kebutuhannya akan sayuran segar serta menyehatkan. Mereka berkontribusi pada
upaya menjaga kesehatan warga, membangun ketahanan pangan di rumah tangga,
serta merawat bumi agar tetap subur dan memberikan kesegaran bagi lingkungan.
***
BAGI sebagian orang, gerakan Makassar
Berkebun dan Kupag Berkebun adalah hal yang sederhana. Akan tetapi saya melihat
bahwa anak-anak muda ini memiliki visi besar, idealisme, serta langkah-langkah
kecil untuk menggapai mimpinya. Ada ribuan anak muda di sekitar kita yang
justru menyerah pada keadaan dan tak tahu hendak berbuat apa. Ada banyak
anak-anak muda ini hanya bisa mengeluh dan menyalahkan banyak orang atau
pemerintah di sekitarnya.
Sementara sahabat-sahabat inspiratif di
Makassar dan Kupang telah mengetuk kesadaran banyak orang bahwa terdapat banyak
hal besar yang bisa dicapai, sepanjang kita memiliki hasrat untuk menggapainya
setapak demi setapak.
Saat bertemu anak-anak muda itu di Kupang,
saya memikirkan ulang rumusan sederhana Ideas
+ Actions = Change. Setiap perubahan selalu dimulai dari gagasan-gagasan
yang kemudian berkembang secara terus-menerus. Gagasan ibarat sebuah tanaman
rambat yang akan terus bergerak ketika terus disirami dan diperkaya dengan
tindakan-tindakan (actions) kecil
yang bermakna.
Tanpa tindakan, maka gagasan akan
kehilangan daya hidup hingga akhirnya meranggas dan mati perlahan. Namun ketika
gagasan itu diperkaya dengan tindakan sederhana yang kemudian menyebar menjadi sebuah
gerakan sosial, maka perubahan akan terjadi.
Gagasan anak muda di Makassar dan Kupang
itu tengah diuji dan dimatangkan oleh sejarah. Mungkin saja gagasan itu akan
menyebar dan membuat perubahan besar. Mungkin pula gagasan itu akan berhenti di
jalan sebab kehilangan daya kejut serta inspirasi. Akan tetapi, anak-anak muda
itu telah melakukan sesuatu. Mereka telah mengajarkan bahwa langkah-langkah
kecil untuk kebaikan adalah jauh lebih bermakna ketimbang sekadar mengeluarkan
sumpah serapah atas keadaan.
Mereka seolah mengiyakan kembali ajaran
Bunda Theresa bahwa ketimbang mengutuk
kegelapan, jauh lebih baik jika kita menyalakan sebatang lilin.
Baubau, 20 Juni 2013
0 komentar:
Posting Komentar