SEORANG sahabat sedang bersedih. Belum 100
hari, salah seorang terdekatnya meninggal dunia. Kemarin, ibunya juga ikut
meninggal. Ketika bertemu dengannya, ia lalu menyampaikan kesedihannya sembari
bertanya, dosa apa yang pernah saya lakukan hingga ditimpa kemalangan
bertubi-tubi?
Saya sempat terdiam ketika mendapatkan
pertanyaan itu. Bagi sebagian besar masyarakat kita, kematian selalu dilihat
sebagai kemalangan atau musibah. Kepergian seseorang yang terdekat dianggap
meninggalkan kesedihan yang kadang membuat kita larut. Kehidupan lalu jalan di
tempat. Kita sering kehilangan gairah dan semangat hidup. Tiba-tiba saja,
kehidupan serupa permainan yang kehilangan greget. Kehidupan jadi tak menarik.
Pertanyaannya,
mengapa kematian sering disebut sebagai musibah atau kemalangan?
Ini adalah soal sudut pandang atau
perspektif. Ketika mengambil kelas etnografi di bawah bimbingan Prof Gene
Ammarell, saya pernah ikut membahas ini dengan beberapa teman mahasiswa
Amerika. Ammarell menceritakan tentang peristiwa kematian, dan meminta
mahasiswa untuk mengemukakan opininya. Saya lalu mendengar banyak jawaban yang
mengejutkan.
Seorang mahasiswi berkulit hitam
mengatakan, “Saya tak pernah paham mengapa harus menangisi kematian. Menurut
saya, itu peristiwa yang biasa saja, sebagaimana kelahiran. Mengapa harus
bersedih? Apakah kesedihan itu akan bisa membangkitkan hidup seseorang?”
Seorang mahasiswa berambut pirang ikut
berkomentar. “Saya terheran-heran melihat orang mengirimkan bunga kepada
keluarga yang ditinggalkan dengan ucapan jangan bersedih. Padahal, mestinya
kematian itu harus disambut dengan gembira, sebab kematian telah membebaskan
seseorang dari segala penyakit, derita, serta luka-luka kehidupan.”
Dua komentar ini sangat menarik sebab
menunjukkan cara pandang atas kematian. Banyak warga Amerika, khususnya
generasi yang lebih muda, berpandangan demikian. Banyak yang melihat kehidupan
dan kematian sebagai siklus yang selalu hadir dalam kehidupan. Peristiwa itu
dilihat sebagai kemestian yang kelak akan merenggut jiwa semua orang.
Banyak yang tak ingin menganggapnya
sebagai musibah. Sebab peristiwa itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja
serta pada siapa saja. Kematian adalah sisi lain kehidupan. Akan tetapi, ada
juga yang beranggapan bahwa duka adalah hal yang wajar sebab seseorang yang
mengalami kematian adalah seseorang yang sangat dekat dengan diri. Kematian itu
telah merenggut kedekatan yang sudah dibina sekian tahun.
Hanya saja, muncul pertanyaan, sampai
kapankah seseorang harus tenggelam dalam kedukaan?
Di tengah perdebatan itu, saya sendiri
memilih untuk berada di titik tengah. Kedukaan itu penting sebab membuat kita
mengingat hal-hal baik pada seseorang. Ketika mengurai kedukaan itu, kita
sedang mengungkapkan hal-hal baik yang sekiranya bisa menjadi teladan untuk
mengurai kedukaan. Melalui kedukaan itu penting sebab bisa membuat kita
menghargai kehidupan.
Akan tetapi, kesedihan tak harus menelan
seseorang hingga kehilangan masa kini. Barangkali, kesedihan hanya perlu
dirasakan selama beberapa detik, selanjutnya seseorang harus bergegas untuk
memperkaya kehidupan di masa kini. Larut dalam kedukaan bukanlah hal yang baik
sebab membuat kita kehilangan hal-hal bahagia di masa kini.
Saya pernah mengenal seorang biksu. Ia
selalu mengajarkan untuk melepaskan segala duka dan derita. Konsep tentang
pelepasan duka ini selalu diingatkannya dalam segala perjumpaan. Katanya,
keterikatan atau kemelakatan atas sesuatu menjadi awal dari duka. Kita sering
terikat pada harta sehingga membuat kita terjebak pada lomba pencarian harta.
Kita sering pula terikat pada sesuatu yang sangat kita sayangi, sehingga
membuat kita mati-matian untuk mempertahankannya.
Kata sang biksu, ketika kita kehilangan
sesuatu yang membuat kita terikat, saat itulah kita mengaami duka atau
kesedihan. Ketika seseorang ingin kaya, akan tetapi hidupnya miskin. Saat
itulah ia merasakan derita. Cara pandangnya tentang kehidupan sekarang tidaklah
sesuai dengan apa yang hendak dikerjannya. Demikian pula ketika seseorang
melekatkan dirinya pada cara pandang orang lain. Ketika orang lain melihatnya
sebelah mata, ia akan merasakan duka atau derita.
Yang terbaik adalah melepaskan diri kita
dari segala hal-hal yang menghadirkan derita. Yang terbaik adalah memerdekakan
diri dari hal-hal yang akan membuat kita terpuruk. Kita harus berani menjadi
diri kita yang biasa-biasa, demi untuk menemukan pembebasan atas banyak hal.
Untuk itu, kita mesti mengubah cara
pandang dalam melihat duka. Tak harus menghadapinya dengan sedih, namun dengan
sikap menghargai kematian, serta sikap untuk menghargai kehidupan. Ketika kita
selalu menyerap hikmah atas semua kejadian, maka kehidupan akan menjadi lebih
bermakna dan membahagiakan.
Baubau, 28 Juni 2013
2 komentar:
Super sekali kak :D.
Semoga kita semua belajar memahami setiap hikmah.
thanks ugha.
Posting Komentar