perahu Bugis yang dipamerkan di Alden Library, Athens, Ohio |
PRIA itu memperlihatkan beberapa replika
perahu layar Bugis yang terbuat dari kayu. Ia menjelaskan jenis perahu, makna,
serta filosofi di balik pembuatan perahu. Ia lalu menguraikan tentang keperkasaan
para pelaut Bugis ketika membaca perbintangan, menafsir semilir angin, hingga
membaca gelombang samudra. Jangan terkejut. Pria itu bukanlah seorang Bugis. Ia
bernama Gene Ammarell, warga negara Amerika yang sangat menguasai dunia
navigasi orang Bugis.
Seminggu silam, bertempat di Alden Library
di kampus Ohio University di kota kecil Athens, Amerika Serikat (AS), Gene
menjelaskan tentang perahu Bugis pada acara pameran perahu tradisional Bugis.
Saat acara tersebut, ia memakai kopiah serta sarung sebagaimana dikenakan oleh
tetua Bugis di kampung halaman. Ia menyapa satu per satu semua warga Indonesia
serta Amerika yang hadir dalam diskusi itu.
Ia memang sangat ramah. Sebagai profesor
bidang antropologi yang memiliki spesialisasi pada kajian Asia Tenggara,
Ammarell sangat menguasai topik tentang perahu layar Bugis. Maklum saja, ia
menulis disertasi tentang Navigasi Bugis di Yale University at Connecticut Demi
penulisan disertasi itu, ia lalu tinggal di Pulau Balobaloang yag terletak di
dekat Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Dengan bahasa Inggris ia menjelaskan
pengalamannya melakukan riset tentang navigasi serta ketertarikannya untuk
belajar navigasi Bugis. Mengapa tertarik belajar tentang Bugis? Ia hanya
menjawab satu kata yakni “serendipity”
atau kebetulan.
“Sejak
dulu, saya tertarik dengan perbintangan dan navigasi. Saya pernah bekerja
sebagai relawan di Peace Corps di Malaysia. Kebetulan, saya bertemu seorang kolega
yang pernah berlayar dengan perahu Bugis untuk studi post-doktoral. Saya lalu
bertanya, apakah orang Bugis menguasai navigasi? Kolega saya berkata Buginese people are good navigators,” tuturnya.
Setelah bercerita tentang pengalamannya,
ia lalu mengajak semua orang untuk melihat perahu-perahu. Di perpustakaan yang
dikenal sebagai salah satu perpustakaan yang menyimpan koleksi studi Asia
Tenggara yang terlengkap di Amerika Serikat, terpajang perahu-perahu Bugis yang
berukuran kecil. Perahu itu dibuat oleh penduduk Pulau Balobaloang.
saat Prof Ammarell membuka diskusi |
Ammarell lalu menjelaskan jenis-jenis
perahu, seperti lambo, bago, dan jolloro. Seorang kawan yang terlahir sebagai
suku Bugis hanya bisa terkesima. Ia sendiri tidak paham tentang detail-detail
dalam dunia laut orang Bugis. Sementara Ammarell yang terlahir sebagai warga
Amerika bisa menjelaskan segala hal dengan amat fasih.
Tak hanya perahu yang dipamerkan di
perpustakaan itu. Saya juga melihat jenis-jenis peralatan yang dipakai orang
Bugis saat membuat perahu. Saya juga melihat bahan untuk membuat layar, yang
setelah saya perhatikan, ternyata terbuat dari nilon, sebagaimana sering
dipakai untuk menyimpan beras.
Yang menarik, perahu-perahu itu ditata
dengan posisi yang snagat rapi, serta terdapat keterangan tentang jenis serta
maknanya. Dengan cara itu, setiap pengunjung bisa belajar banyak hal sambil
memperhatikan perahu. Di situ juga terdapat beberapa foto perahu yang digunakan
para nelayan di perkampungan Bugis.
Selama ini, saya hanya mengenal perahu
Bugis yang disebut phinis yang kemudian menjadi ikon Sulawesi Selatan Namun di
ruangan itu, saya belajar tentang banyak jenis perahu yang digunakan oleh para
nelayan dan pelaut Bugis untuk berbagai keperluan. Jika hendak memancing,
mereka akan jenis perahu tertentu, sedangkan saat berdagang, mereka memakai
jenis perahu lain.
Hal yang mencengangkan adalah kemampuan
navigasi orang Bugis. Sebagai pelaut, mereka tidak bergantung pada alat modern.
Mereka membaca bintang di langit, melihat tanda-tanda alam seperti gelombang,
arus laut, serta semilir angin. Seorang pelaut dibekali kemampuan mengenali
alam, sebagai pengetahuan yang diwariskan oleh generasi sebelunya. Inilah yang
kemudian dicatat Gene Ammarell dalam bukunya.
Saya sempat didera kepenasaranan. Mengapa
tertarik mengkaji navigasi Bugis? Apa bedanya dengan navigasi yang digunakan
orang barat? Ia menjelaskan dengan kalimat singkat. “Navigasi barat sangat matematis dan tergantung pada alat-alat mekanis
seperti Global Positioning System (GPS), kompas magnetik, dan lainnya. Ketika
alat itu tidak bekerja, pelaut tidak bisa berbuat apapun. Sedangkan navigasi
Bugis mengandalkan bintang, arah angin, cuaca, serta kemampuan membaca laut.
Bukankah itu menakjubkan?” katanya.
Kekuatan Tradisi
Di perpustakaan itu, saya hanya bisa
terkagum-kagum dengan indahnya tradisi serta pengetahuan nenek moyang yang
tersimpan rapi dalam catatan etnografis, dan kemudian mempesonakan bangsa-bagsa
lain.
Sejak ratusan tahun silam, nelayan Bugis
telah memiliki pengetahuan bagaimana menaklukan ombak, serta membaca semua
tanda-tanda alam. Pengetahuan itu sedemikian kaya sebab telah ditempa oleh
sejarah yang panjang dan diasah melalui pertautan dengan berbagai bangsa-bangsa
besar di dunia.
Pantas saja jika pelaut Bugis bisa berkelana hingga tempat-tempat yang jauh, bisa bergerak mengikuti apa yang dikatakan Raja Gowa, Sultan Alauddin, bahwa “Tuhan menciptakan darat dan laut, maka lautan adalah milik semua orang. Belum pernah saya dengar ada orang yang dilarang karena melayari lautan.”
perahu layar 1 |
perahu layar 2 |
Maka berkelanalah para pelaut Bugis dan
Makassar sejauh kapalnya terbawa angin. Di sepanjang pesisir itu, mereka
membangun peradaban, beranakpinak dengan penduduk setempat, dan menyebarkan
pengetahuan navigasi yang sangat kaya itu hingga bertahan selama beberapa
generasi.
Namun, di ruangan itu, saya juga mengkhawatirkan nasib tradisi yang kini seakan dilupakan oleh bangsa sendiri. Pengetahuan tentang tradisi yang kaya itu secara perlahan mulai tergerus karena ketakjuban kita pada pengetahuan ala barat. Pengetahuan lokal mulai ditinggalkan dan perlahan tersaput angin modernisasi. Mungkin kita terlalu takjub dengan kemewahan artifisial yang dipamerkan orang barat, dan di saat bersamaan kita mengabaikan kekayaan tradisi kita sendiri.
Saya membayangkan bahwa kelak generasi
baru Bugis Makassar akan kehilangan kemampuan navigasi serta kapal. Kelak,
generasi baru Bugis akan berkelana ke negeri-negeri yang jauh demi untuk
mempelajari pengetahuan yang dimiliki oleh nenek moyangnya. Mungkin kelak
mereka mesti ke Leiden, atau Ohio demi belajar pengetahuan itu. Di titik ini,
saya tak bisa berkata apa-apa. Saya langsung sedih.(*)
Athens,
Ohio, 22 April 2013
1 komentar:
Wah... Keren ya, kapan nih balik menetap di Indonesia Pak?
:D
Posting Komentar