Pengalaman Ikut Seleksi Beasiswa Arryman



DI tengah persiapan untuk menyelesaikan studi, saya menyempatkan diri untuk mengirimkan berkas untuk seleksi beasiswa Arryman. Saya benar-benar hanya iseng saja. Sering saya berpikir bahwa beasiswa ibarat sebuah lotere. Ketika mengirim aplikasi beasiswa, kita ibarat melempar tali pancing ke laut. Kalau dapat, tentu rezeki. Kalau tidak, tentu saja tak ada ruginya. Tak disangka, saya lolos seleksi hingga masuk tahap wawancara. Sayang, saya merasa amat gagal di tes wawancara.

Dibandingkan beasiswa lainnya, Arryman Fellowship adalah beasiswa yang paling ambisius. Jika banyak beasiswa lain bertujuan untuk menghabiskan uang korporasi agar dianggap memiliki kepedulian sosial, Arryman mengusung misi berbeda. Beasiswa ini memiliki target untuk mencetak para akademisi yang kelak bisa berkiprah di level dunia. Bisakah intelektual level dunia dicetak? Entahlah.

Para penyandang dana untuk beasiswa ini adalah barisan perusahaan top di Indonesia, seperti PT Djarum, PT Adaro, BCA, serta banyak lagi. Ada pula perusahaan asing yakni Ford. Dengan kuatnya penyandang dana, maka para penerima Arryman akan menerima beasiswa yang cukup besar hingga tujuh tahun di salah satu universitas top yakni Northwestern University at Evanston, Chicago.

Mereka akan menjalani training yang spartan demi menjadi intelektual yang kelak akan jadi akademisi di satu universitas yang akan didirikan di Jakarta oleh kampus-kampus besar dunia yakni Harvard University, Cambridge University, Northwestern University, dan Australian National University. Hebat khan?

Ketika menginformasikan tentang beasiswa ini ke beberapa dosen di Ohio, semua terheran-heran dengan skemanya. Beasiswa ini dianggap sangat prestisius sebab bersedia membiayai studi serta riset mahasiswa doktoral hingga tujuh tahun lamanya. D tengah situasi Amerika yang tengah krisis, rasanya tak ada beasiswa yang semewah ini dalam hal memanjakan penerimanya. Mungkin, hanya bisa disamai oleh beasiswa Ford Foundation yang saya terima sekarang. Hanya saja, Ford lebih banyak ditujukan buat para master.

Belakangan, saya mendengar ada suara sumbang tentang beasiswa ini. Seorang teman di Chicago memberitahukan bahwa penerima beasiswa ini adalah mereka yang secara personal dekat dengan profesor ilmu politik di Northwestern. Terlepas benar atau tidaknya, saya rasa wajar saja jika dalam seleksi beasiswa berlaku yang disebut nepotisme. Sebab yang hendak dicetak adalah para intelektual. Tentunya, kedekatan secara intelektual dengan seorang profesor penyeleksi bisa jadi jembatan untuk jadi intelektual.

Sayangnya, saya merasa gagal total saat wawancara. Ada beberapa hal yang bisa menjadi catatan. Pertama, saya tidak mempersiapkan diri untuk mempertahankan proposal di hadapan lima orang intelektual terkemuka tanah air. Para intelektual itu telah mencecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan teoritik demi menguji wawasan sang kandidat. Saya agak menyesal karena tidak mempersiapkan diri dengan matang. Saat itu saya berpikir bahwa para juri akan melihat banyak aspek, yang tidak sekadar wawancara. Sebagaimana kampus Amerika lainnya, hal paling penting adalah rekomendasi, kemudian track record atau rekam jejak demi melihat apakah san kandidat punya pengalaman melewati latihan spartan di level doktoral. Selanjutnya barulah isi kepala dan kemampuan menganalisis. Lagian, yang terakhir ini bisa diasah.

Bagi mereka yang kelak akan ikut wawancara dalam beasiswa ini, siapkan diri sebaik mungkin. Siapkan diri seolah hendak ujian meja. Para pewawancara ingin tahu sejauh mana kemampuan anda membaca pustaka lalu mencari gap di pustaka tersebut. Sebenarnya ini mudah, namun seringkali jadi masalah sebab tidak semua orang memiliki mental kuat untuk menghadapi ujian di mana orang itu harus kelihatan pintar di hadapan penguji. Dalam dunia beasiswa, kemampuan meyakinkan jauh lebih penting dari kemampuan akademik yang dibuktikan lewat CV.

Kedua, latar belakang para juri kebanyakan adalah ilmu politik. Mungkin saja karena penerima Arryman akan diharapkan untuk mengajar di School of Public Policy, makanya pertanyaan lebih banyak diarahkan ke ilmu politik. Pengalaman saya mengajarkan bahwa para teoritisi ilmu politik sangat fasih membahas teori-teori serta selalu ingin mencari arah-arah baru dalam penelitian.

Makanya, sebagaimana dibahas seorang ilmuwan, hampir semua riset politik selalu melihat sesuatu dari ketinggian, tanpa ada keinginan kuat untuk menjelajah di daratan realitas. Barangkali, hanya James Scott, ilmuwan politik yang berani berkubang di realitas demi menemukan pola-pola pengetahuan di masyarakat. Ini berbeda dengan ranah antropologi yang selalu ingin menyingkap misteri, serta melihat metodologi sebagaimana benang karet yang bisa fleksibel berdasarkan situasi di lapangan.

Bagi para antropolog yang belajar sejarah seperti saya, jelas sangat kesulitan menghadapi arah pertanyaan teoritik ala political science. Selama dua tahun di Ohio, saya belajar pada salah satu begawan sejarah Indonesia, Willliam Frederick, yang wajahnya selalu masam ketika kita membahas satu isu yang diawali teori. Saya juga terpengaruh dengan gaya antropolog Prof Gene Ammarell yang selalu mengajarkan kehati-hatian dalam memahami kenyataan. Ketika mahasiswa bahas teori di kelas, Ammarell akan berwajah biasa saja. Namun ketika membahas kasus yang unik dan data lapangan, matanya akan berbinar-binar.

Apa boleh buat. Saya telah melewatkan satu wawancara yang tanpa persiapan. Setidaknya saya bisa belajar banyak untuk mengenali berbagai tipe wawancara serta seleksi. Mungkin, saya akan gagal mendapat beasiswa ini, tapi setidaknya saya mendapatkan pelajaran berharga tentang pengalaman bagaimana dinilai dan dipahami hanya dalam 30 menit wawancara.


Selanjutnya, saya harus memikirkan hal-hal substansial yang kelak bisa saya lakukan. Saya sudah harus memikirkan kepulangan dari Ohio. Saya membayangkan tentang tantangan yang harus dihadapi di masa mendatang. Saya bahagia sebab bisa menjadi seorang bebas yang punya banyak pilihan untuk menentukan apa yang dilakukan di masa mendatang. Saya ingin menulis fiksi atau novel sebagai kanal untuk membiarkan imajinasi berlari kencang seperti kijang.

Andai saya menerima Arryman Fellowship, saya akan berhadapan dengan target serta tantangan dalam dunia akademik demi menjadi apa yang disebut intelektual. Bisakah kita mencetak intelektual? Entahlah. Saya bukan tipe yang menilai seseorang dari tempat belajarnya. Saya lebih percaya tentang kapasitas individu yang bisa mengasah diri jika punya rasa ingin tahu serta kuriositas yang tinggi. Saya bisa menyebut banyak contoh tentang mereka yang tak sekolah, namun punya pikiran secemerlang para profesor.

Jikapun gagal, saya akan mensyukurinya. Saya akan terbebaskan dari tekanan dunia akademik yang sering hendak melakukan cuci otak pada diri kita. Beruntunglah karena saya hanya menjalani proses itu selama dua tahun di Ohio, dan tak perlu menambahnya dengan tujub tahun di Chicago. Bersyukurlah bisa menjadi seorang bebas yang bisa memancing di tepi laut, tanpa harus terjebak dengan berbagai rutinitas bangku akademik. Ternyata, selalu ada sisi-sisi senang dari setiap jejak langkah kaki serta jalan yang terbentang di hadapan kita. Ternyata selalu ada bahagia di setiap pilihan. Ternyata selalu ada matahari yang menerangi setiap jejak langkah.

Ah, mungkin ini cuma apologi atas kegagalan. Setidaknya saya bisa menghibur diri. Hehehe...


Athens, Ohio, 20 April 2013

0 komentar:

Posting Komentar