PEREMPUAN Jepang itu tertunduk malu dengan
pipi bersemu kemerahan. Ia datang menemuiku di sudut kampus demi menyerahkan
sebuah undangan untuk menghadiri Sakura Festival. Sejujurnya, aku tak dekat
dengannya. Namun, ia memaksaku untuk menerima pemberiannya. Aku pernah
membantunya untuk mengitari kampus ini. Bagiku, tindakan itu biasa saja. Tapi
tidak baginya.
Perempuan itu datang bersama sekitar 89
orang mahasiswa Jepang dari Chubu University, Jepang, yang hendak memperdalam
kebudayaan Amerika, serta bahasa Inggris. Mereka datang berombongan, dan selalu
ke mana-mana bersama-sama. Aku paham benar bahwa di negara yang serba asing
ini, bahasa telah menjadi kendala yang paling besar. Wajar saja jika mereka
selalu bersama.
Pertama kali, kulihat perempuan bermata
sipit itu sedang kebingungan di depan Baker Center. Dengan niat membantu, aku
lalu menyapanya. Mulanya ia kesulitan untuk berbicara. Ketika kutanya dalam
bahasa Inggris, ia menyodorkan kertas kecil. Dengan tangan yang menunjuk ke kertas,
ia memintaku menuliskan apa yang hendak kutanyakan. Setelah itu, ia lalu
mengambil kamus elektronik di tasnya, lalu menerjemahkan pertanyaanku ke dalam
bahasa Jepang. Ia lalu tersenyum. Pipinya merona, lalu memberikan jawaban lewat
tulisan di kertas.
Sejak saat itu, ia seakan menungguku
melintas di depan gedung itu setiap hari. Dan setiap kali melintas, aku juga
berharap bisa melihat senyum manisnya yang serupa kembang Sakura yang mekar di
tepi sungai Chigoridafuci di tepi kota Tokyo. Kadang kami saling menyapa. Akan
tetapi lebih sering kami diam, mata kami bertaut, alu sekian detik berikutnya
aku melihat seulas senyum di wajah itu, yang diikuti rona merah di pipi.
Di kampus ini, mahasiswa asal Asia sering memiliki
kendala bahasa. Maklum saja, bahasa Inggris tidak menjadi bahasa pergaulan di
Asia. Aku pun termasuk salah satunya. Namun seriring waktu, aku mulai bisa
memahami percakapan. Bukan paham detail kata per kata, namun aku bisa
mengetahui arah pembicaraan.
Kondisi ini sangat beda jauh dengan
mahasiswa asal Afrika. Rata-rata, mahasiswa Afrika sangat fasih berbahasa
Inggris. Negara Ratu Elizabeth itu mewariskan pengetahuan bahasanya pada
kawan-kawan di benua hitam itu. Bahkan, rata-rata lagu kebangsaan di Afrika
menggunakan bahasa Inggris. Pantas saja jika para intelektual Afrika bisa
dengan mudahnya menembus level dunia, lalu menjadi intelektual terkemuka di
Amerika. Sungguh beda dengan kondisi intelektual di negeriku yang hanya menjadi
jago kandang.
Namun, apakah adil jika melihat sesuatu dengan tolok ukur penguasaan bahasa Inggris?
Bagiku, ini jelas amat tak adil. Di kelas Politics of Developing Area, yang diasuh
Dr Clemente, intelektual yang menguasai Amerika Latin, aku belajar banyak
tentang keajaiban negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Cina, dan Korea.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Afrika atau Amerika Latin, maka semuanya
jelas lewat.
Negara Asia Timur adalah contoh dari hebatnya
kemajuan serta semangat Asia yang dikobarkan melalui inovasi, kemajuan, serta spirit wirausaha.
Ajaibnya, kemampuan bahasa Inggris warga Asia, khususnya Asia Timur, tidaklah
sehebat teman Afrika. Tapi, tetap saja negara-negara Asia amat hebat dalam
membangun negaranya menjadi imperium bisnis yang hebat. Dan mahluk manis di
hadapanku ini adalah salah satu dari manusia-manusia hebat yang terlahir di
Asia Timur, mahluk manis yang tiba-tiba datang untuk menyodorkan tiket.
“Kamu harus datang,” pintanya dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.“Entah. Saya sibuk mempersiapkan ujian.”“Usahakan datang,” pintanya.
Ia seakan merajuk. Makin cantik dirinya.
Aku hanya bisa memandangnya sekilas, kemudian memutuskan untuk segera berlalu
menuju Alden Library. Hari-hari belakangan ini, aku sedang sibuk mempersiapkan
ujian serta kepulangan. Hari-hariku adalah berpindah-pindah dari satu topik ke
topik lain. Aku kehilangan nikmatnya saat-saat bersantai sambil menulis blog
atau sekadar melepas lelah di tepi The Ridges, salah satu tempat indah di
Athens.
Hampir setiap tahun, komunitas Jepang di
Athens merayakan Sakura Festival. Biasanya, festival ini dilakukan ketika
bunga-bunga sakura mulai mengembang di tepi Hocking River. Orang-orang akan
datang lalu duduk di bawah pohon sakura sambil menengadah, menyaksikan mekarnya
sakura di musim semi, sembari berbincang-bincang dengan banyak kolega.
Tahun ini, musim semi seakan tak mau
singgah. Musim dingin jadi terlampau panjang sehingga dengan sangat terpaksa,
mahasiswa Jepang merayakan sakura di tengah musim salju lebat. Sakura terpaksa mekar di tengah salju. Namun ada yang
beda di tahun ini. Di pamflet Sakura Festival yang kulihat di tepi
perpustakaan, kubaca informasi kalau tahun ini ada seorang penyanyi Jepang yang
juga hadir. Ah, aku tak ingin hadir. Aku memilih berkarib dengan sunyi di
perpustakaan.
***
RASA lelah masih menyergap tubuhku ketika
tanpa terasa tertidur selama beberapa jam. Aku lalu bangun sambil merapikan
buku-buku. Seorang sahabat datang ke Alden Library demi menjemputku untuk
menghadiri Sakura Festival. Aku tak sadar kalau hari festival itu akan datang
juga.
Dengan malas-malasan, aku lalu mendatangi
gedung Baker Center. Seorang MC membuka acara, kemudian diikuti banyak
penampilan. Aku melihat judo serta beladiri kendo yang keras bagai batu karang,
lalu tarian yang lembut memikat degan penghayatan yang mengalir sebagaimana air
di sungai.
Tiba-tiba saja, festival itu memasuki
bagian paling penting. Pemandu acara memperkenalkan penyanyi terkenal yang akan
datang. Aku tak begitu tertarik. Ketika suara bening itu mengalun, aku mulai
terpesona. Semua orang di sekitarku ikut terpesona. Ketika tatapan kuarahkan ke
panggung, aku langsung tersedak. Tenggorokanku seakan tercekat. Perempuan muda
yang sedang menyanyi itu laksana titisan dewi-dewi kahyangan. Kuperhatikan
dengan teliti. Ternyata, ia adalah perempuan yang memberikan tiket pertunjukan,
perempuan yang pipinya merona merah, perempuan yang senyumnya sanggup untuk
melumerkan gunung es di dasar hatiku.(*)
Athens, 28 Maret 2013
0 komentar:
Posting Komentar