salah satu bangunan di kampus Ohio University |
KETIKA kelas mahasiswa pasca-sarjana berakhir,
Omar bergegas keluar. Omar, lelaki asal Nigeria itu, menyegerakan langkahnya.
Ia menuju dining hall, aula besar di
asrama mahasiswa yang menjadi tempat untuk makan. Di sana, Omar lalu bersalin
dengan pakaian para pekerja kantin. Mulailah ia menjalankan tugasnya sebagai
pekerja demi membiayai kebutuhannya selama di kota kecil Athens, Ohio, Amerika
Serikat (AS).
Omar tak sendiri. Saya banyak bertemu
mahasiswa-mahasiswa asal Afrika yang pekerja keras sebagaimana Omar. Mereka
berusaha untuk survive, memenuhi
kebutuhannya sendiri, lalu membiayai biaya kuliah. Mereka juga brilian di
kelas. Mereka bisa menunjukkan prestasi hebat, padahal mereka mesti bekerja
yang menyita banyak waktu.
Amerika memang menjadi land of dream. Kadang disebut land of opportunity. Warga dunia
berdatangan ke Amerika laksana semut-semut yang merubungi gula. Di dunia
akademik, banyak yang datang dengan hanya membawa kenekadan, lalu bertarung
dengan kehidupan, mengasah segala potensi, kemudian memenangkan kompetisi.
Ada banyak kisah tentang mereka yang
sukses menggapai doktor berkat kerja keras di kampus. Malah, banyak yang
menggapai gelar profesor dan menempati posisi akademik terhormat di negara ini.
Saya mengenal seorang profesor asal Ghana, yang dahulu menjadi sopir taxi di
satu negara Eropa.
Selama hampir dua tahun di Ohio, saya
menyaksikan bagaimana etos kerja banyak orang dari berbagai negara. Keberadaan
para mahasiswa itu merepresentasikan negaranya masing-masing. Mahasiswa yang
hidup mewah, biasanya berasal dari Cina dan negara-negara Arab. Merekalah yang
memenuhi Athens dengan membawa mobil mewah. Ada yang datang dengan beasiswa
negaranya yang sangat besar, namun jauh lebih banyak yang datang dengan membawa
biaya sendiri.
Baker Center, salah satu gedung di Ohio University |
Saya tak pernah kagum dengan mereka yang
bermobil mewah. Saya amat kagum pada mereka yang datang dengan membawa semangat,
lalu sukses menggenggam keberhasilan. Saya melihat semangat itu pada mahasiswa
asal Afrika dan India. Mereka bisa bertarung dengan situasi yang serba baru dan
asing jika dibandingkan dengan negaranya.
Biasanya, mereka mengembangkan jaringan
pertemanan yang kuat. Sewa apartemen memang mahal. Tapi mereka bisa
menyiasatinya dengan tinggal bersama-sama di satu apartemen. Mereka
melakukannya secara sembunyi-sembunyi, tanpa harus diketahui, kemudian mereka
bekerja di kampus.
Mereka diuntungkan dengan penguasaan
bahasa Inggris yang amat baik. Rata-rata mahasiswa Afrika sudah bisa berbahasa
Inggris sejak masih kecil. Mengapa? Karena bahasa Inggris menjadi bahasa ilmu
pengetahuan yang dipakai di sekolah-sekolah. Ketika menghadiri perayaan
kemerdekaan Ghana, saya agak kaget kalau ternyata lagu kebangsaan Ghana
menggunakan bahasa Inggris. Pantas saja jika mereka bisa survive di negara-negara
berbahasa Inggris. Demikian pula dengan
para sahabat asal India. Tak semua datang dengan modal ekonomi yang kuat.
Banyak yang pas-pasan, lalu menyiasati hidup dengan bekerja di kampus.
Kampus-kampus di Amerika memang
menyediakan banyak kesempatan kerja. Di tanah air, kampus diisi oleh para dosen
serta pegawai administrasi yang diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Di
Amerika, situasinya berbeda. Dosen adalah akademisi yang digaji tinggi, yang
kemudian menjalani jenjang karier di kampus. Sedangkan para pekerja di kampus
adalah mahasiswa yang kemudian mendapatkan beasiswa berupa gaji bulanan serta
biaya kuliah.
Selain itu, mahasiswa juga dipekerjakan
sebagai asisten pengajar, yang biasanya mendapat tugas untuk mengajar di
program S1, atau menjadi asisten peneliti yang menopang kerja akademisi. Banyak
pula mahasiswa yang menjadi petugas perpustakaan atau petugas laboratorium.
Yang pasti, pekerjaan itu tersedia cukup banyak di kampus.
Mengapa Tak Banyak Orang Indonesia?
Sayangnya, kita di Indonesia tak banyak
tahu tentang kesempatan kerja ini. Di Indonesia, calon mahasiswa hanya berusaha
mengejar beasiswa dari banyak lembaga, tanpa tahu bahwa sesungguhnya semua
kampus juga menyediakan beasiswa kerja. Kita sering hanya mengejar beasiswa, tanpa
mencari tahu kesempatan bekerja di kampus. Padahal, peluang beasiswa itu sangat
kecil di negara kita yang penduduknya sekitar 240 juta orang.
beberapa mahasiswa asal Afrika di kampus Ohio |
Apakah
ini karena kita tak begitu pintar? Saya menentang asumsi itu. Selama dua tahun di Amerika, saya belajar bahwa
kemampuan teman-teman di Indonesia adalah di atas rata-rata. Di Indonesia,
pendidikan di level sarjana didesain dnegan begitu berat, di mana seorang
mahasiswa sudah diperkenalkan dnegan teori-teori di level filosofis. Malah, di
level sarjana, seorang mahasiswa sudah ‘dipaksa’ menyusun skripsi, padahal di
Amerika, mahasiswa tidak diwajibkan membuat skripsi. Mereka dianggap masih
perlu banyak belajar tentang mengenali lapangan, lalu menuliskan pengalamannya.
Mungkin, kita warga Indonesia tak memiliki
hasrat untuk menaklukan dunia serta merentangkan sayap di negeri-negeri yang
jauh. Daya jelajah rantau kita hanya sebatas yang kita kenali. Sementara warga
India, Bangladesh, Srilangka, serta warga Afrika berani merambah ke Amerika
hanya dengan membawa modal nekad. Dengan kerja keras serta kemampuan menghadapi
tantangan, banyak di antara mereka yang kemudian sukses menancapkan kaki di
negeri lain, kemudian kembali ke negaranya membawa berlian-berlian pengetahuan.
Pada akhirnya, ilmu pengetahuan bisa
menjadi kaki-kaki untuk bergerak, sekaligus menjadi berlian yang bisa menerangi
negeri. Namun berlian pengetahuan itu tak akan sanggup digali jika tak ada
ikhtiar serta semangat yang menyala-nyala. Semangat itu punya daya ledak, daya
penghancur, serta daya untuk merubuhkan segala tantangan dan halangan yang
menghadang.
Di tanah Athens, saya sedang mengeja
aksara pengetahuan dan semangat. Keduanya saya temukan pada banyak
saudara-saudara hebat yang datang ke mari demi prestasi serta pengharapan akan
kehidupan yang lebih baik. Kelak, mereka akan membawa pulang berlian
pengetahuan.(*)
Athens, Ohio, 28 Maret 2013
1 komentar:
Dulu saya punya mimpi untuk bisa keluar negeri untuk kuliah, mengejar ilmu, lambat laun saya merasa sangat cukup tidak "kehausan" lagi, saya puas dengan apa yang saya miliki dan tempat yang saya pijak ._. Mungkin itu berarti kehilangan ambisi? Mungkin saja tapi toh saya bahagia, kurang apa lagi?
Hasrat mengelilingi dunia tentu masih ada, tapi tidak untuk belajar di akademinya lagi... Hanya berjalan mengenal manusia dan kebudayaannya dan kembali pulang :)
Posting Komentar