Perempuan Bugis di Tepi Pantai



TAK pernah kudengar kisah yang semengharukan itu. Suatu hari, di tahun 1943, embun masih basah ketika perempuan Bugis itu menuju pasar dengan menenteng kepiting untuk dijual. Usianya belumlah 20 tahun. Ia adalah anak tertua. Di kota, pergolakan antara pejuang kemerdekaan dan Belanda sedang berlangsung. Tapi tidak di desa kecil bernama Maroanging di pedalaman Sulawesi sebelah selatan.

Meski Belanda masih menduduki Indonesia di tahun itu, namun desa kecil itu seakan tak tersentuh oleh peperangan. Bapak dan ibunya hidup sebagai petani dan nelayan. Adik lelakinya berangkat ke kota untuk bersekolah. Sedangkan ia hanya menetap di desa.

Perempuan itu harus bekerja. Meski telah menikah, ia tetap harus membanting tulang. Di kampung itu, para perempuan menikah di usia muda. Tugas mereka adalah berkeluarga, melahirkan anak, merawat suami dan bekerja di sawah. Perempuan itu pernah mengandung. Sayang, bayinya meninggal saat hendak dilahirkan. Kehilangan calon bayi adalah kesedihan yang harus ia tanggung bersama keluarganya. Itu bukan sekali. Di tanah di samping rumah kayu miliknya, telah berjejer tiga nisan kecil.

Perempuan itu menyimpan kisah-kisah tentang kerja keras. Hidup adalah patahan episode tentang kesedihan yang kemudian berganti bahagia. Ia akhirnya melahirkan bayi lelaki. Ia akhirnya seberuntung ibunya yang juga melahirkan di tahun yang sama.

Ia dan suaminya membangun rumah sendiri di dekat laut, di tempat yang diterpa semilir angin. Semuanya berjalan indah sebagaimana kisah-kisah klasik bangsa Bugis. Sayang, tuntutan ekonomi memaksa suaminya untuk massompe atau merantau. Para lelaki berangkat ke negeri seberang demi rupiah. Maka dimulailah episode baru dalam hidupnya.

Saat itu, ia sedang hamil muda. Anak lelakinya telah berusia lima tahun yang juga harus ia jagai. Suaminya sering tak mengirim uang. Tapi ia tak mengeluh. Ketimbang meratapi dan mengutuk keadaan, ia melakukan sesuatu.

Dengan perut yang makin membuncit, ia menuju pantai. Dengan alat tradisional berupa kayu panjang dan jala di ujungnya  ia menyusuri pantai mencari kepiting. Diikatnya capit-capit kepiting yang ia tangkap, lalu dijual ke pasar. Hasilnya lumayan. Beberapa tahun kemudian, ia menyekolahkan anaknya.

Perempuan itu tak pernah mengeluh. Meski suaminya jauh, tapi ia tetap berpegang pada keyakinan akan sebuah pertemuan. Ketika rindu mulai memenuhi dadanya, ia lalu duduk di tepi pantai sambil melihat di kejauhan.

***

HARI itu, di tahun 2008. Aku menyaksikan perempuan itu sedang tertatih dengan segelas kopi di tangannya. Ia tidak muda lagi. Garis-garis ketuaan telah merayapi wajahnya. Tubuhnya mulai bungkuk, dan matanya mengabur. Tapi tidak dengan keikhlasan, serta cinta kasih yang terpancar dari sorot matanya.

Hari itu, ia meletakkan gelas kopi di samping lelaki kurus di sampingnya. Usia mereka hampir 90an tahun. Mereka pernah terpisah, namun akhirnya dipertemukan oleh takdir.

Aku datang berkunjung ke rumah itu bersama ayah. Aku sempat terharu ketika perempuan tua itu menyapa suaminya dengan bahasa Bugis yang amat halus untuk menyeruput kopi.

“Macenning mua (Apakah cukup manis)?”
“Iye. Pa iko membui (Iya. Karena kamu yang buat)” kata lelaki tua itu.

Adegan itu memang singkat. Tapi aku membayangkan tahun-tahun ketika perempuan itu bekerja keras untuk membesarkan anaknya. Aku membayangkan saat-saat ketika lelaki itu menyambung hidup sebagai buruh perkebunan di Malaysia. Aku membayangkan saat-saat pertemuan yang mengharukan, ketika perempuan itu mengenalkan anaknya yang sudah mulai dewasa. Ada bahagia yang memancar ke angkasa, serta pribadi-pribadi yang dimatangkan oleh jalan hidup yang sering tak terduga.

Aku melihatnya dengan mata basah. Di sampingku, ayah juga menyeka air mata. Ayahku, yang dahulu ditinggalkan lelaki tua itu saat berusia lima tahun. Kini ia seorang profesor yang penuh bangga mengajakku menemui ibunya, perempuan yang pernah menyekolahkannya dengan cara berjualan kepiting di pasar, perempuan yang pernah menanti di tepi pantai.(*)



Athens, Ohio, 12 Maret 2013
sebagaimana ditulis Dwiagustriani

10 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

Kisah yang indah :)

Dewi Ayu Saraswati Ishaq mengatakan...

mama... Ara cantik nya jadi model :)

Ihan Sunrise mengatakan...

terharu membacanya

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih dwi

Yusran Darmawan mengatakan...

iya sih. itu foto waktu muda...

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih..

Reza Yogaiswara mengatakan...

bagus bang ! catatan ringan yang dalam dan menutrisi ^___^

Unknown mengatakan...

tetti wae matakku' bacai artikelta daeng.

Unknown mengatakan...

meloka teri' daeng,bacai artikelta.

Unknown mengatakan...

meloka teri bacai :'(

Posting Komentar