SETELAH saya menanti selama lebih tiga
bulan, akhirnya saya membeli buku berjudul The True Secret of Writing yang
ditulis Natalie Goldberg. Buku ini baru saja diterbitkan, yakni Maret 2013. Menurut informasi, buku ini beredar sejak
tanggal 19 Maret, namun saya baru berkesempatan untuk membelinya.
Saya penggemar berat Natalie Goldberg
dalam hal kepenulisan. Di Amerika, ia dikenal sebagai motivator yang tak henti
mengajarkan bahwa semua orang punya potensi untuk menjadi penulis. Barangkali,
yang perlu dilakukan hanyalah keberanian untuk mendengarkan suara hati, lalu
membuka kanal untuk mengalir deras melalui tulisan.
Sebelum membaca Natalie Goldberg, saya
selalu takut ketika memulai tulisan. Saya tidak tahu hendak memulai dari mana.
Saya juga sering kehilangan percaya diri ketika sebuah tulisan dijelek-jelekin,
atau dianggap memuakkan bagi sebagian orang yang merasa bisa menulis dengan
cara lebih baik.
Akhirnya, saya menyadari bahwa sebuah
tulisan tak harus iberi label dengan sesuatu yang wah atau hebat-hebat. Tulisan
adalah pelepasan energi yang seringkali mengendap dalam ruang-ruang berpikir
kita. Jadi, maknanya bukan hanya berbagi, namun juga untuk diri kita sendiri,
untuk penyembuhan dan penguatan karakter.
Yang saya suka dari Natalie adalah
ajarannya bahwa rahasia terbesar dalam menulis bukanlah pada seberapa canggih
ada dalam berbahasa, atau seberapa banyak mengutip pemikiran orang lain.
Rahasianya bukan pada kekutsertaan pada berbagai training atau sekolah-sekolah
mahal. Bukan pula karena dilatih oleh para penulis hebat. Bukan juga karena
sering membaca tulisan orang hebat dan berpengaruh.
Rahasianya ada dalam diri setiap orang
yakni pada keikhlasan untuk mendengarkan suara-suara dalam diri, ketulusan
untuk memperhatikan kata-kata hati yang berseliweran, kemudian menjadikan
setiap tulisan sebagai sungai untuk mengalirkannya. Rahasianya ada dalam diri
semua orang, yang seringkali tak begitu diperhatikan karena terlalu mudah
terpesona pada gaya menulis orang lain.
Seperti kata Natalie, tak semua orang berkeinginan
untuk menghasilkan novel terhebat di dunia. Makanya, apapun aktivitas menulis
mesti mendapatkan apresiasi. Sebab apapun bentuk tulisan selalu memiliki makna
penting, yang tak hanya menjadi wahana untuk berbagi pengetahuan, akan tetapi
juga bisa menjadi sarana meditasi bagi penulisnya.
Meditasi? Kedengarannya aneh. Inilah yang
saya sukai dari Natalie. Sebab ia mengaitkan aktivitas menulis sebagai
meditasi, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut Zen atau spiritualitas
lainnya. Dengan duduk menulis selama beberapa saat, kita sedang menstabilkan
gelombang otak, sekaligus belajar untuk memahami suara-suara di dalam diri,
yang sering terabaikan. Kita belajar untuk mengenali diri sendiri.
Saya mulai rutin membeli buku Natalie
Goldberg sejak membaca buku pertamanya Writing
Down the Bones. Selanjutnya, saya membeli Wild Mind, Thunder and Lightning, hingga akhirnya The True Secret of Writing. Kesemua buku
ini memiliki satu benang merah yang saling bertaut dan menguatkan sebab
sama-sama bersandar pada pahaman bahwa menulis bukan saja arena kontemplasi,
namun juga rekreasi. Kita menenangkan diri, menemukan bahagia lewat kata-kata
yang mengalir, kemudian bergembira setelah tulisan itu selesai dan berbicara
kepada banyak orang sebagai wakil dari nurani kita.
Sayang, saya belum membaca buku terbaru
ini. Saya hanya memegang-megangnya, menimangnya ketika hendak tidur, serta
sesekali membuka halaman-halamannya. Saya berniat untuk menghabiskannya ada
penerbangan panjang menuju Indonesia, beberapa minggu lagi. Semoga perjalanan
ini bisa membawa berkah. Amin.
Athens, Ohio, 7 April 2013
7 komentar:
Inilah kesulitan terbesar sy dlm menulis kak..mulai dari mana bgaimana...hehe
Kpn selesai kak..??
Hehehe, saya juga suka begitu, tulisan saya jelek nggak ya? ada yang baca nggak ya?, wakaka ujungnya jd nggak nulis-nulis. Sekarang mah cuek saja, saya menulis ya karena ingin menulis..
ada cara mengatasinya yakni buat outline. bkin coretan-coretan atau rencana kelak hendak membahas dari mana, serta bagaimana arah tulisan itu.
setuju. gak usah peduli dengan komen. lepaskan saja smeua ide-ide dalam tulisan. mudah khan?
mantap gan
https://pemudamenulis.blogspot.co.id/2016/06/edisi-memaksakan-menulis-koreksilah.html
bagus nih ulasannya, jadi pengen baca bukunya :)
mampir ke blogku jg ya, jangan lupa follow, terima kasih infonya :)
Menulis untuk sebuah novel dan sejenisnya, yang sifatnya tidak baku mungkin ini menjadi suatu pandangan yang bagus untuk tidak ragu menulis sesuai suara pemikiran dan keinginan hati yang terlintas saat menulis, mengalir apa adanya dalam tulisan kita, tapi karena saya seorang pendidik dimana menuntut saya harus punya tulisan bersifat baku sesuai background keilmuan saya,...ini yang membuat saya terkendala karena saya harus memahami, membaca banyak buku tentang buku yang akan saya tulis, kemudian menuangkan dengan tulisan saya, dengan bahasa saya,... Disini kesulitan saya, mungkin saya agak lama untuk bisa menelaah suatu buku keilmuan 😁 Bagaimana menerapkan konsep menulis lepas sesuai suara hati dan pikiran jika buku text yang akan dibuat tulisan?
Posting Komentar