KEMARIN, ada bom yang meledak di Boston,
Massachussets. Tadinya, saya belum tahu apa yang terjadi. Jelang sore, saya
mendengar banyak sekali berita di media massa serta internet. Beberapa teman
mahasiswa Amerika mengabarkan tentang berita sedih itu. Kembali, negeri ini dirundung duka. Luka Boston adalah luka Ohio, dan luka seluruh negara bagian di Amerika. Saya
terdiam dan menggumam, bahwa ini jelas bukan yang pertama.
Jarak Ohio dan Boston cukup jauh. Jika
ditempuh dengan bus Greyhound, maka jaraknya sekitar enam atau tujuh jam. Tentu
saja, saya berada di tempat aman. Namun, saya tiba-tiba saja melihat waktu
menjadi sedemikian cepat serta dijalari kekhawatiran akan sesuatu yang sukar
diprediksi di masa depan. Ada kepanikan yang saya rasakan ketika melihat
orang-orang terpaku di hadapan televisi di dekat satu gedung kuliah. Ada
kekhawatiran yang memenuhi udara. Ada ketakutan bahwa bisa saja peristiwa itu
hadir di tanah Ohio, tempat saya berpijak.
Saya tak ingin tahu berapa jumlah korban.
Saya tak ingin terjebak dengan hitungan matematis tentang jumlah dan
angka-angka korban. Sebab bagi saya, sebuah bom adalah tragedi atas
kemanusiaan. Tak peduli berapapun korbannya, pelaku bom harus dikutuk dan
dikecam sebagai pelaku yang mencabik-cabik nurani kemanusiaan.
sebuah buku yang dijual di stasiun |
Di kota Boston, sebuah kota yang heroik
dalam sejarah Amerika, sebuah tragedi kembali mencekam. Dahulu, sebuah tragedi
kekerasan pernah terjadi di kota ini, yang kemudian memicu revolusi Amerika.
Setahun silam, saya datang ke kota ini dan menelusuri peristiwa Boston
Massacre, yang terjadi pada tanggal 5 Maret 1770, ketika pasukan Inggris
membunuh lima warga sipil. Peristiwa ini lalu memantik murka publik, yang
kemudian menjadi awal dari benih pemberontakan. Dan Amerika Serikat (AS)
kemudian berdiri beberapa tahun berikutnya.
Kemarin, sebuah kekerasan (messacre)
kembali menikam kota ini. Lewat televisi, saya menyaksikan bagaimana Presiden
Obama berusaha untuk membangkitkan solidaritas publik untuk saling membantu. Ia
memastikan bahwa negara hadir untuk memadamkan semua kesedihan rakyat, serta
menjadi embun yang membasuh derita. Ia berhasil menghadirkan negara ketika
rakyatnya sedang membutuhkan bantuan.
Diluar kepanikan itu, saya tiba-tiba
saja memikirkan sesuatu yang lain. Saya memikirkan bahwa dalam kurun waktu dua
tahun di Amerika, saya beberapa kali melihat paniknya warga Amerika ketika
dihantam tragedi bencana. Sebelumnya, ada tragedi penembakan di Virginia.
Kemudian peristiwa Colorado, ketika seorang mahasiswa PhD menembak rekannya di
pemutaran film Batman. Ada pula tragedi Connecticut, ketika sejumlah siswa
sekolah dasar ditembak oleh seorang remaja.
Mungkin, peristiwa-peristiwa itu hendak
memberikan pelajaran bagi negeri ini. Bahwa di balik klaim-klaim kebesaran dan
kegagahan sebagai negeri superpower, ada lapis-lapis sosial masyarakat yang
kemudian menjadi korban atau merasa dikorbankan. Mungkin, ada harga yang
terlalu besar untuk membayar semua biaya untuk menjaga keberlangsungan sebuah
imperium bernama negara.
Bahwa, sebagaimana dikatakan sahabat saya
Mark Ruffalo, ada satu lapis sosial baru yang kaya-raya sedang menguasai dunia,
dan kemudian memaksa orang lain untuk tunduk di telapak kaki mereka. Ada lapis
sosial korporasi, pemilik rekening dengan angka miliaran dollar, yang
bergerilya ke semua negara demi mengeruk sumber daya, lalu memperkaya dirinya.
Maka jargon-jargon negara menjadi milik para kelompok kaya itu, yang jumlahnya
hanya sekitar satu persen tersebut.
stasiun Boston |
Sedangkan, 99 persen rakyat lainnya harus
menjadi korban, yang kemudian menjadi sasaran bom, atau malah menjadi pelaku.
Sebuah kesal sering menjadi energi yang menyulut api lalu membunuh orang lain.
Dengan cara itu, pelaku bom sedang mengirim sinyal pesan ke mana-mana, yang
mesti dipahami tidak dalam paradigma bahwa mereka adalah teroris, namun melihat
peta sosial masyarakat yang kian mengerucut, di mana mereka yang di lapis bawah
semakin berjejalan, sedang yang diatas makin sedikit.
saat menyentuh sepatu John Harvard |
Yang menarik, bom itu meledak di saat saya
sedang belajar di kelas Politics of Developing Area. Di kelas itu, kami sedang
mendiskusikan tentang bagaimana sulitnya Amerika Serikat membangun citra
positif di mata dunia internasional. Saya agak tersentak ketika seorang
mahasiswa Amerika keturunan Yahudi bernama Ross, tiba-tiba saja mengkritik
negaranya sendiri. Katanya, salah satu problem besar adalah ketika ada
kemenduaan praktik antara negara dan korporasi di panggung internasional.
Negara tunduk pada korporasi, dan korporasi tunduk ada hukum bisnis. Maka murka
warga akan meledak ketika mereka jadi sasaran kemarahan sesama warga yang sedang
melempar bahan peledak.
Saya tak ingin mendiskusikannya lebih
jauh. Biarlah itu dibahas oleh para pakar-pakar ekonomi di Boston sana. Di kota
itu, terdapat hampir semua kampus-kampus terbaik di Amerika. Mereka tak
kekurangan orang untuk menemukenali kenyataan. Tahun lalu, saya berkunjung ke
kampus besar seperti Harvard University demi untuk menyentuh sepatu John
Harvard. Pada saat itu, saya menggumam, bahwa barangkali dunia tak butuh banyak
orang hebat yang kemudian akan jadi sekrup-sekrup dari kuasa serta kian
kekarnya negara.
Barangkali dunia membutuhkan
manusia-manusia berhati bening, yang memiliki misi mulia untuk membangun
perdamaian dan peadaban yang lebih baik. Dunia membutuhkan orang-orang baik,
yang tak mengejar harta, serta memiliki misi untuk menyebar kedamaian dan
persahabatan. Dan kebaikan itu, tak akan mungkin bisa diajarkan di
kampus-kampus seperti Harvard, yang terletak di jantung kota Boston.
Hingga hari ini, sehari ketika bom meledak di Boston, saya masih memegang pendapat itu dengan kukuh.
Athens, Ohio, 16 April 2013
0 komentar:
Posting Komentar