PERNAHKAH Anda mengalami bagaimana merancang demonstrasi di Amerika Serikat (AS) tentang situasi di negerimu yang jauh sana? Saya sudah mengalaminya. Dua minggu silam, kami merancang aksi solidaritas untuk seorang aktivis Sondang Hutagalung yang tewas karena aksi bakar diri.
Apapun kata orang, saya mengagumi aktivis muda itu. Ia luar biasa sebab telah memilih jalannya, di saat banyak orang termangu dan tak tahu hendak melakukan apa. Ia tahu hendak melakukan apa dan pada saat bagaimana. Banyak yang menyebutnya konyol. Tapi saya tidak akan sebodoh itu dalam melemparkan tuduhan atasnya. Tindakan apapun yang dilakukan seorang aktivis adalah kerikil-kerikil yang kelak akan menggiring sebuah rezim ke tepi jurang kehancuran.
Mungkin kita terlampau lama dicuci-otak bahwa sejarah adalah sebuah letupan dahsyat yang menggetarkan alam. Kita sering menganggap bahwa bola sejarah digelindingkan para panglima perang atau para kaisar. Kita tak menghargai hal-hal yang dianggap kecil, namun amat menentukan bangunan besar bernama sejarah. Bangsa Indonesia pernah mengenal kata reformasi. Tak banyak yang menyadari bahwa reformasi itu justru disangga oleh sejumlah peristiwa sederhana baik itu menyangkut hak asasi manusia (HAM), keadilan, ekonomi, hingga hak-hak dasar warga negara. Semuanya dimulai dari satu peristiwa biasa, namun menjalar sebagai virus yang membangkitkan bara perlawanan di mana-mana. Maka pekik berkumandang. Revolusi lalu menjadi keniscayaan sejarah.
Demi menghargai aktivis muda itu, saya dan teman-teman menggelar aksi. Kami beruntung berada pada satu negara di mana semuanya dimudahkan. Di sini tak banyak prosedur atau izin kaku yang seringkali serupa pasung atas hak-hak demokratis sebagai warga. Saat itu, tujuan kami cuma satu yakni memberikan pengumuman bagi bangsa Indonesia bahwa kami di sini sedang memikirkan bangsa kami. Mereka harus tahu bahwa kami bukanlah sejumlah anak kecil yang hanya bisa duduk manis saat membahas negara. Kami ingin berbuat banyak, memberikan kontribusi, dengan langkah-langkah kecil yang kami miliki.
Demonstrasi itu akhirnya terlaksana dengan sukses. Kami hanya membentangkan spanduk, mengajak diskusi, dan saling berbagi pengalaman dengan siapapun yang melintas dan bertanya ada apa gerangan. Saya dan teman-teman amat bahagia karena merasa telah melakukan sesuatu yang kemudian menjadi wacana publik. Media sekelas Kompas, Seputar Indonesia, Okezone, hingga koran-koran lokal justru memberitakan berita itu. Kami hanya ingin menghangatkan bara diskusi sekaligus memberikan alarm bagi pemerintah kalau ada sesuatu yang salah di tanah air kita. Ada semacam praktik diskursif yang membuat wacana ini tenggelam dan dipelintir menjadi isu akidah. Maka betapa senangnya ketika media massa justru bersedia membantu kami.
Sungguh! Bukannya publisitas yang kami cari. Yang selama ini kami harapkan adalah wacana yang kami usung bisa didengar banyak pihak, menggugah wacana bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Kami hendak menyasar substansi, sesuatu yang mungkin selama ini diabaikan. Lewat substansi itulah kami menyatakan diri bahwa kematian Sondang bukanlah hal yang sia-sia. Ia tahu hendak melakukan apa dan saat bagaimana. Ia adalah martir yang mengorbankan dirinya untuk tegaknya nilai. Ia adalah lilin kecil yang ikhlas mengorbankan dirinya untuk sebuah nyala terang. Andaikan saya bisa bertemu dengannya, saya ingin bertanya, "Bisakah kamu mengajari saya agar berani dalam mengambil sebuah keputusan?"
Pittsburgh, 28 Desember 2011
Foto: Yazid Sururi
0 komentar:
Posting Komentar