satu sudut kantor World Bank (foto: Yuyun) |
BEBERAPA tahun silam, saya mengikuti demonstrasi yang dilakukan untuk menentang keras keberadaan Bank Dunia (World Bank). Saya tak terlalu paham apa yang terjadi. Tapi dalam berbagai literatur tentang pembangunan, Bank Dunia kerap dituding sebagai biang kemiskinan negara dunia ketiga. Benarkah?
Konon, Bank Dunia adalah instrument yang dibangun oleh negara maju untuk melakukan penghisapan kepada dunia ketiga. Bank Dunia memberikan pinjaman dengan tarif tertentu kepada negara berkembang, kemudian menagihnya secara periodik. Sebagaimana adagium bahwa tak ada sesuatu yang gratis, maka Bank Dunia kerap meminta agar ada langah-langkah ekonomi dan politik yang ditempuh sesuai skema yang mereka susun. Maka dimulailah mata rantai penindasan dan ketergantungan.
bersama teman-teman di depan World Bank (foto: Rashmi Sharma) |
Saya terseret arus berpikir yang melihat Bank Dunia laksana setan yang menjarah. Sejak dulu, saya penasaran seperti apakah sekretariat lembaga yang berdiri sejak 27 Desember 1945 tersebut dan ketap menjadi sasaran kritik para aktivis. Makanya, ketika singgah ke Washington DC, saya menyempatkan diri berkunjung ke markas Bank Dunia. Saya ingin melihat langsung jantung imperium ekonomi tersebut.
Dan ketika berkunjung, saya tak menemukan jejak pengisapan tersebut. Bangunan Bank Dunia adalah bangunan bertingkat yang tak terlalu menyolok jika dibandingkan gedung sekitarnya. Saat masuk ke dalam, saya menjalani pemeriksaan yang cukup ketat. Tas diperiksa. Seorang satpam bertanya-tanya tentang siapa yang hendak ditemui di gedung itu. Ketika kita tak bisa menyebutkan hendak bertemu siapa, maka dengan segara akan dilarang masuk ke gedung tersebut.
Saya tak jadi masuk ke dalam. Saya lalu singgah ke toko buku dalam kompleks gedung tersebut. Di sinilah saya banyak menyaksikan buku-buku tentang kemiskinan yang kemudian banyak dipakai sebagai formula untuk menyelesaikan problem di negara berkembang. Uniknya, banyak buku di toko itu yang dibolehkan untuk dibawa pulang secara gratis. Saya tak terlalu tertarik untuk memilikinya. Saya membayangkan tas saya yang kecil dan agak berat itu akan dipenuhi buku-buku.
Ketika hendak beranjak, saya agak tersentak ketika melihat tumpukan CD musik. Salah satu CD bergambar seorang pria berbaju Makassar dan terdapat tulisan Tradisi Musik Makassar. Saya lalu menemui kasir dan bertanya, “Apakah CD musik di situ juga gratis?”
0 komentar:
Posting Komentar