SEMBAB seolah tak hendak lepas dari wajah wanita tua yang keriput itu. Ia tiba di kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dini hari tadi. Melihat foto di dekat satu peti mati, ia tiba-tiba saja meraung-raung. Ia berteriak sekuat tenaga sambil meneriakkan nama pemilik tubuh muda yang terbaring di peti itu sambil terbakar. "Sondang.. Kalau ibumu ini tidur, siapakah yang kelak akan mencabut uban di kepala ibumu ini?"
Perempuan bernama Saur Dame Br Sipahutar itu terus sesunggukan. Ia masih sempat mengucap lirih di hadapan peti mati itu, "Pergilah kau anakku. Lihatlah mamakmu ini," katanya. Ia memang tak paham mengapa anaknya nekad membakar diri di depan Istana Merdeka, rumah yang menjadi kediaman pemilik supremasi kekuasaan negeri ini. Ia tak paham politik.
Ia hanya paham satu hal bahwa Sondang adalah putra terkasih yang ketika dirinya tidur kan mencabuti uban di rambutnya. Bahwa Sondang adalah harapan besar yang kelak akan menyandang nafkah keluarga. Ia membayangkan akan hadir di saat-saat terpenting hidup Sondang. Baik itu saat pernikahan hingga saat penting ketika anak itu mencatatkan sesuatu di lembar sejarahnya. "Tega kau Sondang, anakku baik-baik pergi. Gantengnya kau anakku Sondang. Kenapa begini Sondang, apa yang ada di pikiranmu Sondang, anakku," ceracau sedihnya.
Revolusi memang telah memangsa anak-anaknya sendiri. Perempuan itu tak paham kalau anaknya seorang Sukarnois sejati yang besar dengan kisah-kisah perlawanan. Puluhan tahun silam, Marx pernah berujar kalau ideologi bisa menjadi kesadaran palsu (false consciousness) yang membutakan seseorang atas realitas. Ideologi memang palsu dan melenakan seseorang. Boleh jadi, Sondang kehilangan kesadaran kritis untuk menalar apa yang sedang terjadi di hadapannya. Hantu-hantu revolusi telah membangkitkan ketakutannya untuk berbuat sesuatu dan segera mengenyahkannya. Mungkin ia benar terbius oleh virus ideologi. Tapi mesti dicatat bahwa ideologi juga bisa menggerakkan. Ideologi bisa menjadi api yang membakar semua semangat oang-orang untuk bergerak laksana air bah dan menjebol semua kekuatan yang menghambat. Pada titik inilah Sondang sedang berpijak.
Sondang Hutagalung saat aksi |
Kita menatap sedih. Satu lagi generasi muda telah gugur sebelum memekarkan kembang bangsa yang semerbaknya tercium hingga bangsa-bangsa yang jauh. Satu lagi anak muda yang mencatatkan drinya pada baris terdepan mereka yang menyalakan perlawanan. Sejarah kita mencatat nama Arief Rahman Hakim, selanjutnya para korban Trisakti, Soe Hok Gie, Sondang, dan entah siapa lagi yang kelak akan mencatatkan namanya.
Sondang memang seorang aktivis muda yang belum lama dipanggang bara semangat revolusi. Ia aktif di kelompok Sahabat Munir, yang setia meneriakkan keadilan untuk almarhum Munir, satu-satunya aktivis yang membuatnya merinding. Sebagai mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK), ia jelas paham jargon revolusi, nasionalisme, dan demokrasi yang dicita-citakan Bung Karno. Mungkinkah ia bersedih saat menyadari negeri ini berjalan amat jauh dari kereta besar kebangsaan yang pernah dirakit oleh pendiri negeri ini?
Apapun itu, Sondang hendak menyatakan sesuatu. Kematian hanyalah satu metode demi menggemakan pesan yang didengarnya di berbagai tempat diskusi. Ketimbang melakukan deminstrasi terus-menerus dan penguasa tetap lalim, jauh lebih baik jika berbuat sesuatu yang kelak akan menghebohkan seluruh negeri.
Saya yakin, ia tak bermaksud mencatat namanya dengan tinta emas di lembar sejarah. Ia hanya ingin menyatakan sesuatu di hadapan tembok kuasa yang setiap saat bisa abai pada apapun yang hendak disampaikannya. Aksinya memang heboh. Semua orang sedih. Dan pesannya dengan segera mendengung di telinga banyak orang bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Anak-anak muda lahir dengan kecemasan tentang nasib bangsa ke depan, sementara barisan tua tetap setia menimbun kekayaan dari hasil bumi bangsa ini. Anak-anak muda hidup dengan kecemasan hendak bekerja dan hidup di mana, sementara generasi tua sibuk merusak tubuh bangsa ini.
solidaritas atas Sondang di Jakarta |
Sondang memang tewas. Tapi ia tidak benar-benar tewas. Misi suci para mahasiswa idealis telah ditunaikannya. Ia menyandang tugas martir sebagaimana pernah disandang Rasul ketika menumbangkan kepongahan dan keserakahan. Semangatnya ibarat cahaya lilin yang mengarahkan ke mana hendak bergerak. Ia sedang menyulut nyala revolusi pada negeri-negeri yang rakyatnya tertindas. Ia berteriak dengan segala daya hingga melepaskan tubuh yang dimilikinya. Tapi mungkinkah ia sedang tersenyum di sana saat melihat seluruh anak bangsa sedang menyadari bahwa negeri ini sudah tiba pada titik kritis? Mungkinkah ia sedang menjelmakan dirinya sebagai malaikat yang sedang sedih melihat gerak bangsa ini?
Athens, Ohio, 11 Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar