Perisai Cinta untuk HARRY POTTER

poster film


PEREMPUAN tua itu mengacungkan tongkat sihir ke udara. Selarik sinar biru melesat ke angkasa dan menembus langit hitam yang penuh bintang-gemintang. Lelaki cebol di sebelahnya melakukan hal yang sama. Demikian pula beberapa manusia dewasa di sekitar tempat itu. Langit di atas kastil Hogwarth –nama sekolah sihir termasyhur itu-- tiba-tiba saja dipenuhi cahaya kebiruan yang menutupi kastil laksana kubah telah menyelubungi sekolah itu. Kubah itu serupa cangkang yang melindunginya dari sihir-sihir hitam. Kubah itu adalah perisai atas sihir hitam manusia tengik terjahat dalam dunia sihir yang memproklamirkan dirinya serupa Tuhan. Manusia bernama Lord Voldemort.

Usai melesatkan sinar biru ke langit, perempuan tua --yang bernama Professor Minerva Mc Gonagall-- lalu merapal beberapa mantra. Saat itu juga, beberapa patung batu yang selama ini bertebaran di berbagai pejuru Hogwart tiba-tiba bangkit berdiri. Mereka berbaris laksana armada dan menemui Mc Gonagall. Perempuan itu lalu memberi perintah. "Hogwart dalam serangan penyihir hitam. Tunjukkan dedikasi kalian untuk melindungi kastil ini." Tapi sekian detik kemudian, Mc Gonagall berbisik pada beberapa orang di samping sambil tersenyum, “Sejak dulu saya ingin mencoba mantra ini. Tapi kesempatan itu baru datang sekarang."

Adegan ini adalah bagian dari tayangan film Harry Potter: The Deathly Hallow Part 2 yang hari ini serentak ditayangkan di seluruh bioskop di Indonesia. Amat berbeda dengan edisi pertama Harry Potter and The Sorcerer’s Stone yang penuh gelak tawa khas anak kecil, film ini justru amat kelam. Memang, sesekali ada humor singkat seperti yang dilontarkan Mc Gonagal, tapi humor itu terlampau singkat untuk menghilangkan ketegangan yang sudah tercipta sejak awal. Sepanjang film kita terus-menerus disuguhi adegan pertempuran yang melibatkan para penyihir hebat dalam sejarah sihir dan selama ini malang-melintang, serta para mahluk-mahluk sihir yang menakjubkan seperti raksasa, peri, centaur, laba-laba, serta hantu-hantu. 

Tentu saja, mereka yang tidak mengikuti serial ini akan terbengong-bengong dalam bioskop melihat adegan klimaks pertempuran itu. Tapi buat yang mengikuti serial ini baik di versi novel maupun film, akan sama-sama paham bahwa dalam detail-detail kisah ini telah dihamparkan dalam tujuh film sebelumnya, ataupun dalam lembar demi lembar novel yang tercatat sebagai novel terlaris dalam sejarah perbukuan internasional. Sutradara tinggal menata pertempuran demi pertempuran serta menyisipkan kisah moral serta butiran makna-makna filosofis yang ditemukan lewat karakter-karakter unik yang kemudian menentukan titik berpijaknya dalam duel tersebut.


Film ini memang menampilkan pertempuran. Jika dalam bagian pertama, kisahnya lebih banyak menampilkan pelarian Harry serta usahanya menjawab teka-teki masa lalu Voldemort, maka kisah di bagian kedua ini justru memaksa Harry untuk berhadapan langsung dan menguji kesaktian. Kisah ini dimulai dari pencarian Horcrox –benda-benda yang menyimpan separuh jiwa Voldemort—di Bank Gringots. Bersama dua sahabatnya, Ron Weasley dan Hermione Granger, Harry mengambil horcrux setelah diserang para goblin, kemudian melarikan diri dengan menunggang naga. 

Klimaks dari pertempuran itu adalah pertempuran terakhir antara Pangeran Kegelapan, Lord Voldemort, yang berhadapan dengan Harry Potter, anak yang secara ajaib bertahan hidup dari sihir Voldemort di masa bayi. Anak itu telah tumbuh dewasa dan menyandang tugas suci untuk menyelamatkan dunia sihir. Inilah klimaks dari rangkaian panjang serial yang telah menyihir dunia sejak lebih sepuluh tahun silam. Sejak lahir, ia telah disiapkan sebagai prajurit untuk menghadapi penyihir jahat. Ia disiapkan oleh guru-gurunya untuk menyadari bahwa dirinya adalah Horcrux terakhir sehingga mesti menjemput kematian. Ia mesti menyelamatkan mereka yang hidup dan menghindari jatuhnya korban. Dan dengan penuh ketenangan serta keberanian, Harry lalu menjemput kematian tersebut. Apakah Harry akan tewas? Para pembaca novel sudah lama tahu jawabannya. 

Sutradara David Yates amat hati-hati menata adegan demi adegan sehingga kita bisa menyaksikan detail kisah ini bergulir. Ia menata adegan itu serupa sebuah panggung pagelaran musik klasik, yang awalnya adalah musik lembut, namun kian menyayat dan mengiris-iris perasaan hingga akhirnya klimaks. Sutradara menata adegan pertempuran dengan sangat kolosal berupa pertempuran antar penyihir. 

Kurang Kolosal

Tapi sebagai pembaca novelnya, saya menganggap adegan yang dilukiskan dalam novel jauh lebih kolosal. Banyak detail dalam novel yang tidak digambarkan dalam film, misalnya serbuan para raksasa yang dipimpin Gwarp (adik Hagrid) yang segera ditantang para raksasa lain, serangan para centaur yang dipimpin Bane dan Ronald dengan senjata ribuan anak panah, serta sebuan para peri rumah yang dipimpin Kreacher (peri rumah yang pernah mengabdi pada Regulus Black). Tapi, apapun itu, saya cukup puas dengan penggambaran dalam film ini. Melihat adegan klimaks dalam film ini, saya merasa tak sia-sia menanti-nanti kapan film ini akan ditayangkan. Juga tak sia-sia kesabaran menyaksikan alur kisah dalam serial film ini.

Tapi saya agak menyesalkan pendeknya dialog antara Harry dan arwah mendiang Albus Dumbledore, serta hilangnya dialog yang paling inspiratif antara Harry dan Voldemort. Dialog ini tidak saya temukan dalam film. Padahal dialog itu sangat penting untuk menarik benang merah moral serta etika di balik tindakan setiap karakter. Sebelum adegan pertarungan terakhir, Harry sempat masuk dalam pensieve atau genangan ingatan Severus Snape yang kemudian membuat terang pandangannya atas apa yang terjadi. Sayangnya, dalam film kita tidak menemukan adegan ketika Harry menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada penyihir jahat itu. Sejatinya, jelang pertarungan terakhir terselip satu dialog cerdas antara dua sosok ini. 

Severus Snape yang sering disalahpahami

Harry membuka tabir tentang sosok Professor Severus Snape, sosok yang dianggap Voldemort sebagai abdi setianya. Ia menunjukkan bahwa cinta yang dahsyat dari Snape tehadap ibunya ibarat kompas yang kemudian membawa Snape untuk bersekutu dengan Dumbledore, memainkan peran-peran jahat sehingga diterima penyihir jahat itu, namun tetap melakukan hal-hal heroik dari belakang layar untuk membantu Harry.  Snape adalah pencinta yang dahsyat. Ia terjerat cinta pada sepasang mata hijau milik Lily Potter sehingga bersumpah dnegan sepenuh jiwanya untuk melindungi satu-satunya warisan Lily yang tersisa yakni Harry Potter. Ia memainkan peran para penjahat, membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan makian dan cacian para penyihir, namun secara diam-diam ia telah melakukan tindakan luar biasa demi melindungi satu-satunya hal yang menautkan cintanya. Jika Dumbledore adalah pria paling bijaksana yang menyusun peta rencana dnegan detail mengagumkan, maka Snape adalah pencinta paling hebat hingga rela dibakar oleh api cintanya.

Usai menyaksikan film, saya berpendapat bahwa kejahatan memang amat mengerikan. Kejahatan memang amat memuakkan. Tapi kejahatan yang serupa mahluk jahat itu justru takluk oleh perisai cinta kasih. Kejahatan serupa batu karang yang kokoh, namun tak berdaya ketika dibatasi tetes demi tetes embun di setiap pagi. Sosok jahat seperti Voldemort akan kesulitan untuk memahami bahwa cinta kasih adalah energi yang tak habis-habis untuk bergerak. Ia tak bisa memahami bahwa banyaknya jiwa yang rela berkorban demi Harry justru dituntun oleh hasrat cinta kasih serta harapan untuk melihat dunia yang lebih baik. Ia tak paham bahwa cinta adalah mercu suar yang menuntun Harry untuk menemukan jalan cahaya dan hingga menjadi martir yang kemudian bangkit kembali.

“Sekarang apa yang kamu banggakan setelah semua orang berkorban untuk dirimu?” tanya Voldemort dengan suara mirip desis ular. Dengan wajah tenang, Harry menjawab, “Maaf, saya membanggakan cinta kasih mereka. Cinta kasih yang seperti cahaya telah menyelubungi saya, menjadi perisai dari segala gelap yang menikam, serta menjadi senjata untuk memadamkan gelap, dan mencipta cahaya agar kebenaran itu tetap terang.”

trio pemeran film Harry Potter

Apa jadinya Harry jika tidak menyadari cinta kasih tersebut. Sebagaimana kata Snape, Harry adalah seorang anak yang sedikit arogan dan merasa diri hebat karena masa lalunya. Pada dasarnya ia punya potensi menjadi jahat. Ia juga bukanlah yang terbaik di sekolah itu. Ia hanyalah seorang remaja yang meledak-ledak, penuh hasrat ingin tahu, serta sering melabrak aturan. Tapi Harry memiliki banyak sahabat dan guru-guru yang serupa perisai baja melindungi dirinya, dan menjadi kekuatan yang seperti air bah dan menjebol. Ia belajar banyak hal, mengeliminasi keangkuhan tersebut, dan menemukan kristal-kristal cinta kasih yang menyerap keangkuhan. Harry menemukan kedewasaan dalam dekapan cinta kasih yang seperti selubung cahaya. 

Bersama sahabatnya, Harry adalah tim yang lengkap. Ia mendapat amunisi kecerdasan dan keberanian hingga memungkinkannya menjalani misi berbahaya untuk menegakkan kebenaran. Bersama sahabat, guru, serta orang terkasih, ia menemukan selubung cinta, sesuatu yang menjadi senjata dan melindunginya dari segala kemungkinan, menjadi kekuatan yang tampak tampak hingga luput dari pantauan Lord Voldemort sang musuh abadi. Dan kekuatan cinta pulalah yang kemudian mengalahkan sang musuh abadi. 

Adegan terakhir dalam film ini amat menyentuh. Waktu bergerak ke masa 19 tahun berikutnya. Harry telah dewasa dan mengantar anaknya Albus Severus. Sang anak tiba-tiba saja khawatir kalau dirinya akan terlempar ke asrama Slytherin. Tiba-tiba saja Harry langsung berbisik, “Nak, namamu adalah Albus Severus. Keduanya adalah kepala sekolah yang berasal dari asrama berbeda. Albus adalah pria paling bijaksana dalam sejarah. Tapi Severus adalah pria paling berani yang pernah saya kenali. Tak masalah di manapun kamu berada, sepanjang dirimu adalah yang terbaik. Kita memang punya hak untuk memilih. Sepanjang dalam dirimu ada cinta. Yup, cinta kasih”


Makassar, 29 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar