Buku Antropologi Terbaru dari Tony Rudyansjah


HARI ini saya membeli buku Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi; Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori Sosial Budaya. Buku yang ditulis Tony Rudyansjah --saya cukup mengenal beliau sebagai pengajar di Departemen Antropologi UI-- berisikan telaah atas asal-muasal, perkembangan, dan percabangan dalam teori-teori sosial. Melihat sampul dan daftar isi, saya langsung tertarik sebab membayangkan ada uraian tentang sejarah perkembangan teori-teori sosial, khususnya antropologi. Apalagi, ada pula endorsement atau komentar dari beberapa orang ahli sosial. Maka semakin semangatlah saya untuk membelinya.

Saya memberikan apresiasi yang dalam atas karya ini. Entah kenapa, belakangan ini, amat jarang ditemukan satu buku komprehensif menyangkut teori antropologi yang ditulis oleh para akademisi antropologi. Selama ini, mereka (para akademisi itu) seakan berumah di atas menara gading dan tidak memberikan pencerahan kepada khalayak tentang dinamika sosial budaya yang ditilik dari tinjauan antropologi. Makanya, ilmu ini seakan nyanyi sunyi di tengah gegap gempita wacana ilmu pengetahuan yang silih berganti hendak menafsir realitas sosial. Ini bukan berarti ilmu antropologi tidak sanggup menjelaskan sebuah gejala. Saya melihatnya lebih pada ketidakmampuan para ahli antropologi untuk mengambil peran, khususnya dalam hal memberikan pencerahan kepada masyarakat. Lantas, apa sajakah yang dilakukan para ahli antropologi? 

Tony Rudyansjah memberikan jawabannya melalui buku ini. Ia menunjukkan bahwa selama ini ia konsisten membangun pemahaman atas ranah teoritik yang digelutinya sebagai pengajar teori. Ia tidak berada di atas menara gading pengetahuan. Ia memberikan penjelasan kepada masyarakat luas –melalui buku—tentang jagad teori yang selama ini ditekuninya. Membaca buku ini saya tiba-tiba memahami bahwa sebuah teori sosial atau teori budaya ibarat jurus silat yang dikuasai seorang pendekar. Jurus itu bisa jadi diwariskan oleh pendekar sebelumnya, atau merupakan refleksi atau pengingkaran atas sebuah jurus silat lainnya. Sebuah teori lahir dari proses persilatan gagasan yang dipengaruhi konteks sosial, latar psikologis seorang pemikir, hingga kondisi-kondisi sejarah yang kemudian mempengaruhi lahirnya teori tersebut.

Sayang, saya belum menuntaskan buku ini. Saya hanya membacanya sekilas, kurang lebih sekitar dua jam. Setelah membolak-balik hingga lembar terakhir, saya merasa bahwa buku ini ditujukan untuk para expert atau mereka yang ahli dalam bidang antropologi, atau minimal sering membaca ragam teori-teori sosial. Makanya, mesti dicamkan baik-baik bahwa isi buku ini bukanlah sesuatu yang mudah dicerna dan ditelan. Sebelum membaca buku ini, sebaiknya kita mesti memiliki pahaman tentang jagad teori sosial sehingga bisa berdialog secara kritis terhadap satu pemikiran, sebagaimana ditampilkan Tony dalam buku ini. Buat para pemula (beginner) sebaiknya jangan membaca buku ini sebab akan mengerutkan kening saking ‘beratnya’ gagasan yang ditampilkan. Saya sendiri –yang nota bene berlatar antropologi—tetap saja kesulitan memahaminya.

Entah kenapa, para ilmuwan sosial kita gemar menulis dengan bahasa yang demikian sulit dan sering berpretensi bahwa pembacanya memahami gagasan tersebut. Mungkin saja karena bahasan dalam buku ini mengarah ke persoalan filsafat. Tapi, saya banyak membaca buku filsafat, dan ssaya beberapa kali menemukan bacaan filsafat yang mudah dipahami. Salah satu contoh yang sering saya kemukakan adalah The Sophie’s World karya Jostein Gardner. Buku ini membahas sejarah perkembangan filsafat, namun gaya bahasanya sangat renyah hingga pembaca senior dan junior bisa memhamai gagasan yang dituliskan. Kita membaca sejarah pemikiran mulai Plato hingga Karl marx dengan pahaman sebagaimana para pembaca novel. Memang berkerut kening, tapi amat mudah dipahami sebab banyak ilustrasi dan contoh-contoh.

Apapun itu, saya tetap mengapresiasi mas Tony Rudyansjah. Dengan cara menuliskan buku ini, ia sudah selangkah lebih jauh dari para seniornya di UI yang hingga kini tak juga menghasilkan satupun karya. Saya tak perlu menyebut nama, namun para antropolog muda di UI tahu betul betapa langkanya karya-karya akademik para senior antropolog yang menjelaskan gejala social. Ini sangat berbeda dengan para sosiolog yang cukup produktif membuat tulisan tentang perkembangan ilmu social. Sekali lagi saya ucapkan selamat buat mas Tony Rudyansjah. Mudah-mudahan saya bisa menuntaskan buku ini, meskipun dengan kening berkerut saking susahnya memahami gagasan di sini. 


0 komentar:

Posting Komentar