Transformers 3: Saat Fiksi Menjajah Fakta

KISAH fiksi kerapkali dijejalkan dalam fakta. Yang lahir kemudian adalah sebuah jalinan kisah yang menarik, menegangkan dan penuh teka-teki. Kita –yang hidup di zaman ini—menyebutnya kreatifitas sebab sebuah peristiwa yang telah lewat, diberi makna baru dan ditafsirkan ulang sesuai dengan konteks zaman sekarang. Namun, seringkali kreatifitas seperti ini membutuhkan jiwa besar untuk melihat masa silam tidak dengan cara pandang sejarah ilmiah yang kaku. Masa silam dilihat semacam puzzle yang kisahnya dibongkar dan disusun ulang mengikuti logika tertentu.

Kesimpulan ini saya buat setelah menyaksikan dua film yang sekarang lagi trend yakni Transformer 3 dan X-Man: The First Class. Persamaan di antara kedua film ini adalah sama-sama mengacu pada sebuah pristiwa yang pernah ada pada masa silam, namun ditafsirkan ulang dengan sudut penceritaan tertentu sehingga nikmat untuk dikunyah di zaman ini.

Realitas yang diacu dalam film Transformers 3: Dark of The Moon adalah realitas ketika beberapa astronot Amerika Serikat (AS) menginjakkan kaki di bulan. Pada masa itu, AS adalah negara yang amat ambisius untuk menjangkau langit. AS bersaing dengan Uni Soviet dalam pertandingan untuk menaklukan luar angkasa. Ketika seorang kosmonout (di Uni Soviet, seorang astronot disebut kosmonout) bernama Yuri Gagarin sukses mengorbit bumi, AS seakan kebakaran jenggot. Mereka lalu menyiapkan ekspedisi menginjakkan kaki di bulan melalui pesawat Apollo 11 yang diawaki Neil Amstrong, Edwin Aldrin, dan Michael Collins.

Dalam film Tranformer 3, misi para astronot lebih dari apa yang selama ini dianggap sebagai sejarah. Misi mereka adalah menemukan kapal asing yang mendarat di bulan dan mengambil sumber energi di kapal tersebut. Misi ini tidak diungkapkan kepada publik sebab dikhawatirkan akan mengundang reaksi yang berlebihan. Dalam film ini, para astronot itu hendak mengungkap sesuatu yang terkait dengan duel abadi para robot yang menginginkan kedamaian (disebut Autobot) melawan robot yang hendak menghancurkan bumi (Decepticon)

X-Men: The First Class

Lain lagi dengan film X-Men: The First Class. Film ini mengangkat setting usai Perang Dunia II di mana Amerika Serikat (AS) berseteru dengan Jerman. Kisahnya berpuncak ketika Uni Soviet memasang rudal di Kuba, dan dikhawatirkan akan menjangkau kota-kota besar di AS seperti Florida atau Miami. Seingat saya, dalam sejarah, peristiwa ini dicatat sebagai Cuban Missile Crisis yang memanaskan hubungan AS dan Soviet. 

Dalam film, beberapa kali muncul Presiden John F Kennedy yang menyatakan bahwa AS siap menghadapi invasi Uni Soviet yang saat itu dipimpin Presiden Nikita Kruschev. Logika yang dibangun dalam film X-Men: The First Class adalah konflik itu disebabkan para mutant –semacam manusia yang memiliki kekuatan super yang didapat secara genetis. Para mutant itu hendak mengobarkan peperangan sesama manusia, sehingga mengambil alih dunia. Sayang, rencana itu diketahui para mutant berhati baik yang membela nilai kemanusiaan. Krisis itu terelakkan. AS dan Soviet lalu memilih damai dan menghindari perang nuklir.

Optimus Prime, pemimpin para robot Autobot

Yang menarik buat saya bukanlah kecanggihan teknologi yang ditampilkan film ini berupa mobil-mobil robot-robot yang bisa beralihrupa menjadi robot tempur. Bukan pula pada manusia mutant yang memiliki kekuatan super. Yang menarik buat saya adalah kemampuan para pembuat film untuk menyelipkan fiksi ke dalam fakta-fakta tentang satu kejadian. Memang, jika dibandingkan film National Treasure yang dibintangi Nicholas Cage atau kisah Da Vinci Code karya Dan Brown, teka-teki dalam film ini teramat mudah dibaca. Tapi setidaknya, saya melihat ada upaya untuk terus menafsir ulang sebuah kejadian di masa silam, dan melapisinya dengan fiksi baru yang kemudian laku dijual di zaman ini. Dan kekuatan sebuah negeri seperti Smerika adalah memberikan imajinasi atas kejadian masa lamoau dan dijual ulang menjadi tontonan bagi manusia di zaman ini. Kisah masa silam bisa bernilai miliaran dollar ketika disajikan dalam sinema ala Hollywood.

Saya teringat sebuah buku berjudul Ethnography and Historical Imagination. Kata Comaroff –penulis buku ini—apa yang kita sebut sebagai sejarah atau catatan atas peristiwa masa silam tidak lebih dari imajinasi manusia masa kini yang dirangkai dari sejumlah bukti-bukti sejarah. Makanya, kita tak akan pernah mencapai kebenaran masa silam. Kita hanya menghampiri kebenaran tersebut melalui imajinasi yang ‘dijahit’ dari kumpulan fakta. Antara fakta dan fiksi bisa berkelindan sehingga sukar dibedakan. Fiksi sering menjadi fakta ketika dituturkan secara terus-menerus sehingga terlembaga dalam kesadaran kita.

Dalam kedua film itu, saya merasakan aura penceritaan tentang supremasi Amerika Serikat (AS)_ atas teknologi dan supremasi atas penegakan nilai kemanusiaan. Apakah benar demikian? Entahlah. Tapi kok saya ragu dengan kebenaran ini.(*)

0 komentar:

Posting Komentar